Mohon tunggu...
Betrika Oktaresa
Betrika Oktaresa Mohon Tunggu... Administrasi - Full time husband & father. Part time auditor & editor. Half time gamer & football player

Full time husband & father. Part time auditor & editor. Half time gamer & football player

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Cegah Informasi Hoaks, Pahami "Risk Attitude" Bermedsos!

11 Oktober 2018   16:16 Diperbarui: 11 Oktober 2018   16:22 1361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada Kuartal kedua tahun 2018, populasi dunia diperkirakan mencapai 7,6 miliar penduduk dengan jumlah pengguna internetnya sebesar 4,2 miliar, dan 2,23 miliar dari jumlah tersebut merupakan pengguna aktif di Facebook.

Dengan jumlah yang sangat besar tersebut, menciptakan traffic informasi yang luar biasa padatnya, sehingga sering digambarkan sebagai era badai atau tsunami informasi. Spesifik di Indonesia, Indonesia, pada periode yang hampir sama memiliki jumlah pengguna Facebook aktif yang mencapai 130 juta pengguna atau enam persen dari keseluruhan pengguna dunia.

Angka yang tinggi tersebut mendorong Indonesia bertengger di posisi empat dunia sebagai negara yang menyumbang pengguna Facebook terbesar di dunia.

Namun masalahnya adalah traffic tinggi atas arus informasi di negeri ini tidak atau belum dibarengi dengan kedewasaan dalam menggunakannya.

Fakta berbicara, Direktur Informasi dan Komunikasi Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Purwanto menyebut konten-konten media sosial di Indonesia ternyata didominasi informasi bohong atau hoaks.

Bahkan komposisinya telah mencapai 60 persen dari konten media sosial di Indonesia saat ini adalah informasi hoaks.

Kasus hoaks Ratna Sarumpaet yang masih ramai menjadi pembicaraan di negeri ini seakan menjadi puncak gunung es dari jutaan informasi hoaks yang memenuhi jagad media sosial di Indonesia sampai saat ini.

Fakta ini tentu tidak dapat dilihat sebagai kondisi yang wajar, mengingat kabar yang tidak benar itu kadang dipercaya dan diamplifikasi menjadi tindakan-tindakan yang tidak seharusnya dilakukan.

Lalu langkah apa yang seharusnya bisa kita dilakukan?

Dalam hal ini, penulis akan mencoba melihat fenomena ini melalui kacamata risiko (meskipun penulis tidak menggunakan kacamata ya).

Dalam sebuah penelitian Chena dan Sharma (2013), dijelaskan bahwa keputusan seseorang untuk menggunakan media sosial dipengaruhi oleh sikap orang tersebut dalam memandang risiko atau risk attitude.

Artinya, semakin tinggi persepsi orang tersebut melihat adanya risiko dalam menggunakan media sosial, akan membentuk sikap risiko orang itu, menjadi seorang risk averse.

Sebaliknya, jika orang itu mempersepsikan bahwa risiko penggunaan media sosial adalah rendah, maka akan cenderung membentuk sikap risiko orang tersebut menjadi risk taking.

Sebelum jauh melangkah, tentu kita harus memiliki pemahaman yang sama atas istilah risk attitude, sehingga secara singkat akan coba penulis jelaskan, disimak ya.

Risk attitude atau sikap risiko sangat bervariasi karena berbentuk spectrum, namun terdapat tiga tipe risk attitude yang diketahui dan telah didefinisikan secara luas, yaitu risk averse, risk neutral, dan risk seeking/risk taking. Jika anda adalah seseorang yang menghindari risiko (risk averse) maka anda akan merasa tidak nyaman dengan ketidakpastian, hanya memiliki sedikit toleransi terhadap ambiguitas (dalam konteks ini, ambiguitas memiliki arti adanya sudut pandang atau perspektif yang beragam dalam mengevaluasi apakah atas hal yang dilakukan akan diperoleh dampak negatif atau apakah suatu risiko dapat ditoleransi atau bahkan diterima), dan mencari keamanan dalam menghadapi risiko.

Anda akan cenderung lebih memilih opsi yang kurang menguntungkan namun tidak/kurang berisiko. Seseorang yang menghindari risiko lebih memilih mendapatkan jumlah nilai tertentu yang pasti (certain value) pada situasi yang berisiko tinggi.

Sebaliknya, seseorang yang risk averse lebih rela membayar premi atas risiko (risk premium) untuk mengurangi risiko, contohnya adalah ketika anda membeli asuransi untuk mengurangi risiko.

Berkebalikan dengan risk averse, seseorang yang risk seeking cenderung cepat beradaptasi dan tidak ragu-ragu untuk bertindak.

Orang yang bertipe seperti ini akan sangat antusias untuk menangani ketidakpastian, namun kadang antusiasme itu malah dapat menghalangi pandangannya terhadap potensi bahaya, menyebabkan keputusan dan tindakan yang tidak tepat.

Risk seeking person melihat ancaman dan peluang secara terbalik, cenderung meremehkan ancaman, baik terhadap probabilitas dan konsekuensinya, dan menilai terlalu tinggi pentingnya sebuah peluang, yang dapat memancing orang tersebut untuk mengejar peluang dengan sangat agresif dan bersedia menoleransi kemungkinan hasil yang merugikan.

Sebaliknya, bagi risk averse person, akan cenderung bereaksi berlebihan terhadap ancaman dan kurang dapat merespon terhadap adanya peluang.

Di antara risk-averse dan risk-seeking, ada risk neutral. Seperti karakteristik dari kata 'netral', risk neutral berarti tidak terpolarisasi ke salah satu kutub, yaitu risk-averse dan risk-seeking.

Seorang yang netral (risk neutral person), memiliki strategi untuk mendapatkan keuntungan. Dalam menghadapi ancaman dan peluang, orang yang berisiko netral sangat dewasa, hanya akan mengambil tindakan saat secara jelas memiliki potensi untuk memberikan manfaat.

Nah, setelah memahami konsep risk attitude dan tipe-tipenya, maka akan coba kita kaitkan dengan sikap orang dalam menggunakan media sosial. Yang utama harus dipahami, tentu tidak kemudian secara mutlak berarti bahwa seorang risk averse tidak akan menggunakan media sosial.

Kenapa? karena masih ada faktor-faktor lain yang akan memengaruhinya. Sebaliknya, seorang risk taking juga belum tentu secara otomatis akan dengan mudah memutuskan untuk menggunakan media sosial.

Yang harus dipahami adalah mengetahui sikap kita terhadap risiko akan memudahkan kita menilai kesesuaiannya dengan keseharian kita dalam bermedia sosial.

Misalnya, jika setelah dinilai kita ternyata adalah seorang risk taking, maka kita perlu menilai kembali, secara natural berarti kita berani mengambil risiko, sehingga dalam mengambil keputusan dalam interaksi media sosial harus lebih berhati-hati.

Tapi, seorang yang risk averse juga bukan berarti positif lho, karena terlalu takut mengambil risiko akan menyebabkan kita ragu menggunakan media sosial, yang padahal juga memiliki banyak sisi positifnya.

Jadi, sikap ideal dalam memandang risiko adalah sikap netral, atau risk neutral. Lalu bagaimana membentuk pribadi yang risk averse ataupun risk taking menjadi risk neutral? Caranya adalah dengan meninjau faktor Internet risk.

Faktor ini dapat diminimalisasi dengan peningkatan pengetahuan pengguna tentang internet dan media sosial.

Lalu perlu juga meningkatkan kesadaran terkait cognitive bias sehingga dalam menilai risiko menjadi lebih akurat dan tidak bias yaitu menilai risiko yang seharusnya rendah menjadi tinggi atau sebaliknya.

Lalu, bagaimana mengetahui sikap risiko anda?. Anda dapat menggunakan dua tes dibawah ini:

untitled-5bbf1478c112fe2a55681b58.png
untitled-5bbf1478c112fe2a55681b58.png
Jika dari 10 pilihan di atas anda memilih option A sebanyak empat kali, maka anda dapat dikategorikan sebagai risk neutral. Lalu, jika anda memilih option A kurang dari empat kali, maka anda merupakan seorang risk seeking.

Sebaliknya, jika anda lebih banyak memilih option A yaitu lebih dari empat kali, maka anda adalah seorang risk averse.

Alat ukur lain yang dapat anda gunakan untuk mengetahui apakah risk attitude anda adalah menggunakan variabel personality yang sudah sangat populer di dunia yaitu Myers--Briggs Type Personality Indicator, yang bisa anda dapatkan di sini https://www.16personalities.com/free-personality-test.

Melalui hasil tes tersebut, anda dapat mengukur apakah risk attitude anda. Seseorang yang memiliki skor sensing/judging yang tinggi, cenderung merupakan orang yang risk averse.

Sebaliknya, orang yang memiliki skor yang tinggi intuition and prospecting cenderung merupakan tipe orang yang risk seeking.

Nah, kaitannya dengan informasi hoaks, seorang yang risk averse tentunya secara natural akan sangat berhati-hati dalam menggunakan media sosial, termasuk membagikan informasi.

Namun masalahnya, terlalu berhati-hati juga bisa berarti mengurangi potensi pertukaran informasi di media sosial, dan kerugian bagi orang lain jika sebenarnya informasi yang dimiliki ternyata merupakan informasi yang valid dan bermanfaat.

Sebaliknya, seorang risk taking akan cenderung secara natural mudah dalam membagi informasi, dimana mungkin saja akan lemah dalam melakukan validasi informasi dan check-and-recheck, sehingga malah menyebarkan informasi yang tidak akurat atau tidak benar.

Idealnya, pengguna media sosial merupakan seseorang yang risk neutral, dimana ketika ada informasi yang ada di hadapannya, orang tersebut akan melakukan validasi keakuratannya, menilai manfaatnya, baru membagikannya jika hasil penilaiannya menunjukkan bahwa informasi tersebut benar dan bermanfaat bagi orang lain.

Akhirnya, mari perangi penyebaran informasi hoaks dengan cerdas dalam bermedia sosial, dimulai dari diri kita sendiri.

Salam sadar risiko. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun