Mohon tunggu...
Beti.MC
Beti.MC Mohon Tunggu... Relawan - Menulislah Selayaknya Bertutur, Mengalirlah Energi Kebaikan

Berbagi pengalaman, kesempatan dan cerita sehari-hari.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menggerakkan Literasi Digital dengan Jurnalisme Warga

23 April 2022   04:01 Diperbarui: 23 April 2022   04:14 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

'Kami memohon dengan sangat supaya di sini diusahakan pengajaran dan pendidikan bagi anak-anak perempuan, bukanlah karena kami hendak menjadikan anak-anak perempuan menjadi saingan orang laki-laki, melainkan karena kami yakin akan pengaruh besar yang mungkin datang dari kaum perempuan."

Surat Kartini kepada Tuan Prof. Dr. G.K. Anton dan Nyonya pada 4 Oktober 1902.

Kutipan surat yang sangat bagus, menyiratkan gagasan kuat Eyang Kartini akan peran perempuan. Bagaimana peran perempuan dilekatkan pada pengasuhan di zaman itu telah ditambahkan gagasan baru oleh beliau untuk belajar dan memperoleh pendidikan. Sebuah keinginan yang mahal karena harus ditempuh dengan terjal untuk meyakinkan kepada orang tua, saudara, kerabat bahkan perempuan sebayanya.

Kartini tidak lelah untuk belajar walaupun dalam ruang yang terbatas sudah seharusnya menjadi model belajar bagi kaum perempuan di zaman now. 

Pandemi yang tak kunjung selesai sebenarnya menjadi penjara baru bagi pergerakan manusia. Pergerakan yang dibatasi hampir serupa dengan yang dialami Eyang Kartini, bahkan beliau lebih sempit ruang geraknya. Akan tetapi apakah beliau menyerah? Tidak kan, ruang itu dibuka dengan menyantap pengetahuan dan tetap menghidupi menulis. 

Sesuatu yang dilakukan Kartini muda untuk menyampaikan pemikirannya, keluar dari bilik yang mengekangnya. Kegiatan menulis yang dengan mudah saat ini dilakukan berkat teknologi. Lantas apa susahnya bagi kaum muda saat ini, termasuk perempuan untuk maju literasinya?

Kemudahan zaman dan ketersediaan perangkat rupanya belum dimaknai sebagai media belajar, baru sekadar mengisi kesenangan semata, belanja, pamer status, atau hanya media mengirim tugas. Hal yang terakhir itu sebenarnya autokritik untuk proses belajar saat ini. Sangat dimaklumi bahwa teknologi masih diberdayakan untuk kemudahan transaksi, belum menjadi media inovasi untuk meningkatkan literasi. 

Dengan terbukanya mesin pencari informasi, kini berita yang dicari dan terpampang hanya yang viral, menarik netizen. Usaha untuk menggunakan media digital belum sepenuhnya untuk belajar dan pendidikan. Bandingkan dengan Eyang Kartini yang senang sekali menemukan harta karun, buku di zaman itu. Perangkat teknologi masih lebih banyak digunakan untuk transaksi cepat.

Gerakan menghidupkan kecintaan akan literasi bukan sekadar mau dan mampu menulis tetapi juga lebih dari itu, menyampaikan pemikiran baru. Menulis sebagai bagian dari literasi harus dijadikan kebiasaan yang dibudayakan. Sudah terlalu banyak ucapan yang lebih didengar daripada kata-kata dan bacaan yang menjadi referensi. 

Surat-surat Kartini menjadi "hidup dan bermakna" karena telah dibukukan. Saya dapat membaca dan mengulang-ulang pesan kuatnya, selalu menjadi daya tarik karena untaian katanya mampu menghadirkan diri kita di situasi saat itu. Mungkin itu karena saya model individu yang lebih menyukai tulisan daripada suara. Bisa saja surat itu dibacakan, hadir dalam bentuk audio, tetapi saya tetap memilih bacaan ini sebagai media belajar. Lebih afdol rasanya membaca surat beliau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun