Mohon tunggu...
Badrul Gudsy
Badrul Gudsy Mohon Tunggu... Guru - Biarkan Apa Adanya

AKU Ini pahlawan Tanpa tanda tangan dari Tempatnya mudah dibuang Biar pena Mengotori Kemejaku Aku datang tanpa ragu Receh disaku, Motor penuh debu. mengobarkan api semangatku

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pahlawan Tanpa Tanda Tangan

13 Juni 2019   16:12 Diperbarui: 13 Juni 2019   16:39 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

.            Mata hari datang lebih awal ke balik bukit di belakang Surgaku, mengalahkan jalan pulang ke pintu rumah reot yang telah dinanti Istri dan Anak tercantikku di pinggiran kaki gunung tanpa jalan beraspal. Joki kecilku diatas Roda sepeda Tua, (Cetol) kata orang kampungku menyebutnya, dengan bunyi baut-baut longgar dan sok Bocor yang lebih garang dari aungan harimau Onderdil sepeda idolaku itu, aku tiba dengan sambutan senyum dari istri dan sapaan manja dari anakku.

.             Sekolah tempatku bekerja memang tak jauh se jauh Monas ke menara eiffel, namun dekatnya cukup ditempuh 2 jam jika cepat. tapi jarak bagiku tak melumpuhkan semangat untuk sekedar menjadikan mereka tak jadi penebus dosa bangsa, paling tidak jd pengamat mereka yg menggerakkan bangsa. hidup bertiga di istana anyaman bambu sudah sangat mewah bagi kami. namun selain hari minggu kami tak bisa melepas rindu bertiga. menjelang larut tiba tak cukup rinduku, anakkupun tertidur " ahh, begitu cepatnya malam" kataku.

.            Disudut pintu, ku pandangi sepasang sepatu usang yg tak ada tandingannya dengan sepatu lain, dialah dua sejoli yg tak pernah mau diganti posisinya melindungi telapak kakiku, bukannya keramat, bukanlah warisan namun ia bagian terpenting bagiku jika saja ia ku ganti maka seminggu kami harus tidak makan. ku bersihkan dengan hati-hati walau sol sepatu telah dikombinasi terbelah di bagian bawah. tak selesai ku belai sepatu, istriku datang kembali memberikan rayuannya " Besok tetangga sebelah Slametan, dan kita di undang" akupun terhanyut dalam rayuannya dan mengambil selembar sisa uang sisa beras yang tak cukup kubeli 2 kg tadi, lalu kembali kulanjutkan membersihkan sepatuku.

.           Berganti ku lihat sepeda Exsotis yg Slalu Extreme bila ku tunggangi yg sedang cemburu pada dua sejoli sepatuku, ku lap ia dengan kain basah dan ku tambah olinya dengan tambahan oli sisa sepeda baru milik  tetanggaku. memang tak jarang dalam perjalanan ke tempat kerjaku mereka anak-anak didik menyapaku sopan dengan klakson fariasi terbarunya dan mendahului laju sepeda Clasikku dengan sepeda Plat putih yg mereka kendarai. namun demikian, tak  pernah sekalipun aku terkunci diluar pagar sekolah tempat kerjaku karna "tak tau waktu" seperti kata pimpinanku jika ada Siswa dan anak buahnya yg terlambat.

.            malam tambah larut dan aku harus istirahat entah mengapa malam itu aku tak tenang, mataku tak lelah menatap seragam itu, seragam yg ku pakai TANPA TANDA TANGAN pemerintah, yang hanya tanda tangan itu kudapat dari sekolah saja, aku coba terlelap tapi sulit, entah apa yg ada di fikiranku, duduk kembali ku lihat sekeliling hanya samar-samar. tapi ada satu tanya padaku dari diriku " apa Aku telah lelah dan putus asa?" aahhh... tak bolehh, kataku pelan. "kanan kirimu telah merantau dan mereka bahagia" terbesit lagi merayu, namun akhir fikiranku "biarlah" aku tak kan meninggalkan mereka, aku tak mau mereka diajari sulap kekuasaan seperti mereka, bahkan aku merasa lebih bahagia melihat penerus bangsa nantinya LEBIH JUJUR dan BIJAKSANA. walaupun nantinya tetap aku tak bisa, paling tidak aku mencoba.

Bet Gudsy

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun