Mohon tunggu...
Betarix polenaran
Betarix polenaran Mohon Tunggu... Buruh - Penulis dan Pencinta Sastra

Penulis lahir di Watobuku, 20 Juni 1995

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki Bermata Senja

3 Mei 2019   09:48 Diperbarui: 3 Mei 2019   10:10 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masih kental terlintas di benakku tentang pantai dan deburan ombak yang melupakan waktu. Hari itu ulang tahunku yang ke dua puluh tiga tepat tanggal dua puluh Juni. Aku sengaja melupakan tanggal itu, hanya ingin dia mengingatnya. Karena bagiku-dia adalah lelaki bermata senja yang selalu hadir dalam tidur malamku, sebelummnya. Lelaki itu bernama Cornel. Cornelson, kira-kira begitu nama lengkapnya.

Pada sebuah senja, ia mengajakku menuju pantai. Langkah kaki yang semula malu-malu pada ribuan mata yang menatap, memberanikanku melangkah dengan pasti lantaran tanganku digenggamnya erat. Dibisikannya sepotong kalimat di telingaku "jangan malu".

Perjalanan yang cukup jauh, akhirnya tibalah di pantai dengan sekelompok ibu-ibu pembeli ikan sedang menunggu nelayan berlabuh di pantai. Wanita-wanita perkasa itu, datang dari rumahnya pagi-pagi buta dengan bersempangkan gairah untuk hidup, menunggu perahu dan nelayan yang masih mencari ikan di tasik. Tidak ada kata lelah untuk menunggu. Anak-anak dan suami menunggu dengan setia, kepulangan wanita-wanita itu. Senja kemerah-merahan bersembunyi di balik bukit, sesekali tenggelam.

Lelaki bermata senja itu menatapku denga tajam. " Ina, relakan aku pergi" bicaranya pelan agar aku bisa mengeja maksud kalimat itu. "Mungkinkah suatu saat nanti engkau akan kembali untukku?" tanyaku penuh harap. "Entalah, Ina" jawabnya.

Bagiku, cinta kepadanya seumpama memeluk angina tanpa perasaan. Harapanku untuk senantiasa berada di dekatnya hanyalah harapan senja yang lekas pergi ke peraduannya.

Aku selalu berada pada posisi tersulit. Menginginkan ia berada di sisiku dalam waktu yang singat ataukah membiarkannya pergi dengan waktu yang cukup lama dan selamanya.

"Cornel, coba engkau perhatikan, jemari wanita itu. Begitu taat pada panggilan hidupnya menjadi seorang pembeli ikan, dengan pisau kecil di tangan kanannya dibersihkannya ikan yang didapatinya satu jam yang lalu", aku mengalihkan pembicaraan. Ketangguhan wanita penjual ikan itu sejenak memberikanku sebuah arti tentang panggilan hidup. Hidup itu pilihan. Hidup juga merupakan panggilan. Aku semakin paham bahwa panggilan Cornel menjadi seorang misionaris, adalah pilihan hidupnya. Akhirnya, kami bersepakat untuk saling mendukung.

Malam semakin larut, setelah kisah panjang tak berujung di pantai yang melupakan waktu, aku membayangkan bahwa esok kisah itu akan berulang. Di sudut meja belajarku, ada setumpuk buku-buku fiksi karya penyair-penyair legendaris yang berani membahasakan kesepian lewat sepotong sajak. Dengan hati yang tulus, kuraih pena dan mulai menulisnya. Entah sajak, entah cerita pendek, entah puisi, entah novel, yang pasti ungkapan kesepian diri setelah berjumpa Cornel. Pukul dua belas tengah malam buta, dengan kopi hitam diiringi lagu-lagu patah hati dan sajak-sajak kesepian yang kutulis, tiba-tiba pintu kamarku digedor-gedor ibu. Aku membuka pintu dan merelakan ibu masuk ke kamar.

"Mengapa ibu menggangguku. Tidak tahukah ibu bahwa aku sedang menulis?"tanyaku ingin tahu alasan ibu. "Ibu khawatir, nak. Mengapa tengah malam seperti ini, engkau belum istrahat?" tanya ibu sedikit hati-hati. Setiap ibu pasti khawatir dengan anaknya. "Tapi, seharusnya ibu tidak perlu khawatir berlebihan atas apa yang menimpa diriku setelah kuceritakan siang tadi, tentang kisah cinta antara aku dan lelaki bermata senj a itu", aku membathin. Kesepian dan jatuh cinta menjadi bagian dari proses pematangan diri setiap orang muda. Olehnya, berbijak dalam memahami proses itu adalah hal yang paling penting.

Lama berselang, ibu meninggalkanku dan seisi kamar. Konsentrasi kualihkan kembali ke atas meja belajar dan sebuah pena yang senantiasa menulis. Menjelang subuh, aku hanya hanya bisa terbengong dengan tulisan demi tulisan yang belum sampai ke ending cerita. Perutku mengeluarkan bunyi pertanda lapar. Segelas kopi telah kuhabiskan. Makanan pun tidak ada yang tersisa di balik tudung saji. Yang masih tersisa yakni jagung titi yang diditih oleh ibu kemarin sore untuk keperluan arisan. Tanpa berpikir lama, jagung titi kuhabiskan dalam hitungan jam.

Keesokan harinya, petugas pengantar surat mendatangi rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun