Cerpen Betrix Aran
Siswa-siswi kelas VII E dalam bingkai kreatifitas
Hari masih subuh. Warga dusun Bawalatang di bawah lereng gunung Lewotobi masih setengah sadar menunggu pagi menjemput, sepoi angin basah membungkus tubuh.
Dusun bawalatang terletak tiga kilometer dari lembaga pendidikan Sekolah Menengah Pertama Negeri Satu Wulanggitang. Anak-anak sekolah pun tidak ingin kehilangan kesempatan untuk belajar. Primus, salah seorang siswa membangunkanku ketika mimpi malam masih memenuhi lorong ingatanku.Â
Kali ini, mimpiku bukan tentang siswa dan keriangan yang tidak lekas pudar, melainkan tentang kegeraman orang tua siswa usai pulang sekolah. Barangkali, anaknya dipukul guru ataukah guru melupakan tugasnya lalu pergi entah kemana. Keringat membasahi tubuh dan selimut.Â
Otakku mendadak panas. Ketakutan demi ketakutan meleleh, terkadang menukik diamku. Air mata mengalir dari kelopak bening.
" Aku tidak boleh takut dengan mimpi sunyi, sebab mimpi terkadang menyesatkan logika", aku berbicara sendiri.
Dari balik jendela, dengan semangat yang masih tersisa, kuraih sikat gigi dan langsung menuju kamar mandi. Tubuh yang semula dingin, perlahan-lahan surut di air yang dingin. Primus menunggu dengan setia di sebuah lorong persis di depan rumahku.
Bagiku, Primus adalah sosok siswa yang perkasa. Ia pantang menyerah. Ia pun tidak ingin menyesal suatu hari nanti, jika tidak mempergunakan masa mudanya dengan mengisi pengetahuan dan budi pekerti. Baginya, apa yang akan diperolehnya di sekolah itulah proses yang tidak serta-merta menjadikannya sukses dan hebat sekaligus keberaniannya untuk menempuh jarak menuju sekolah menjadi komitmen dasar yang terus dipegangnya.
" Perjuangan butuh proses, begitu pula cita-cita. Kita harus bersahabat dan berdamai dengan masa kini. Berbahagialah kita yang masih diberi kesempatan oleh orang tua untuk menggapai mimpi-mimpi kita yang berserakan", aku sedikit ceramah sekedar menghibur para siswa di sepanjang jalan. Perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan, hanya ada kata semangat untuk berjuang sampai seribu tahun lagi.
Setahun silam, ayah Primus meninggal di Malasya. Ayahnya membawa sebuah truk pengangkut kayu lalu menabrak tiang listrik. Mata Primus berkaca-kaca setelah mendengar nasihatku. Sesekali ditenggelamkannya perasaan hanya ingin mengelabui penglihatanku.