Mohon tunggu...
Besse Herdiana
Besse Herdiana Mohon Tunggu... Dosen - Its me

Saya perempuan yang selalu gagal menghibur diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tradisi Baju Lebaran, Antara Kesadaran Sinis dan Membeli Simbol

28 Mei 2020   17:40 Diperbarui: 28 Mei 2020   17:53 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lebaran telah usai, menyisakan corona yang tak pernah usai. Tulisan ini pun harusnya usai maksud saya selesai jauh hari sebelum perayaan lebaran yang selalu menjadi momentum yang dirindukan. Kepada setiap pembaca yang menyediakan waktu membaca tulisan ini, terima kasih dan maaf.

Beberapa waktu waktu lalu dalam sebuah diskusi daring yang dilaksanakan oleh perpustakaan supiati dengan menghadirkan narasumber penulis buku dari “Zizek subjek dan Sastra”. Ada hal menarik yang menjadi topik diskusi, yakni munculnya istilah “sinisme masyarakat”. Pada tulisan singkat ini saya tidak akan berbicara tentang sastra tetapi lebih kepada gagasan zizek terkait dengan konteks sosial khususnya yang berhubungan dengan istilah “sinisme masyarakat”.

Apa yang menjadi kecemasan belakangan ini selain dari bertambahnya kasus positif covid setelah rapid tes yang dilakukan secara massal oleh beberapa daerah? “Kelonggaran PSBB dan melonggarnya kecemasan subjek individu”. Sejumlah asumsi kemudian menjadi warna-warni yang menghiasi media kita, mulai dari asumsi-asumsi positif sampai pada yang negatif, tentu hal ini bukanlah wajah baru lagi dengan dunia media. Sebagai penikmat informasi tentu kita butuh menyediakan saringan yang kuat terhadap apa yang disajikan oleh media, analoginya seperti penikmat kopi yang bisa memilih jenis kopi apa yang akan dipesan kepada barista.

Kelonggaran PSBB membawa dampak pada terbukanya ruang-ruang sosial yang semula diisolasi kemudian membuka diri secara lebar dan luas. Katakanlah orang-orang dengan penuh kesadaran datang, berbondong-bondong memenuhi ruang sosial (di mall, pasar, dan lain-lain). seberapa pentingnya memakai baju lebaran dengan kemungkinan terjangkit virus mematikan? Kemungkinan-kemungkinan yang tak pernah menjadi prioritas diganti dengan kesibukan untuk untuk membeli symbol. Saya bahkan selalu gagal mengedukasi kerabat/keluarga di kampung untuk tetap berdiam diri di rumah. Baju-baju lebaran selalu menjadi simbolik dan ritual yang tak pernah tidak hadir dalam prosesi menyambut lebaran, seperti halnya “nasu likku” yang harus dihidangkan setiap malam perayaan lebaran di keluarga. Saya bahkan gagal paham korelasi antara baju baru dengan lebaran. Hal inilah yang coba saya lihat dengan istilah “kesadaran sinis” atau “sinisme masyarakat”.  

Sinisme masyarakat yang oleh Zizek dimaknai sebagai bentuk pemalsuan dari realitas. Pemalsuan realitas ini menurut Aprinus salam adalah bentuk keadaan dimana “subjek” mengetahui  segala bentuk realitas tetapi masih melakukannya. Apa yang membuat subjek melakukannya adalah adanya semacam bayangan visual yang menopang subjek untuk tetap melakukakannya. Tentu gagasan ini jika dihubungkan dalam konteks kultural akan bermuatan ideologi. Lalu pertanyaannya ideologi macam apa yang dihadirkan oleh penerapan PSBB dan kemudian tiba-tiba dilonggarkan?? Ideologi kepuasan untuk subjek, saya merujuk pada gagasan Zizek bahwa ideologi adalah hal apa yang kita lakukan. Para subjek individu ramai mengunjungi ruang sosial, sebut saja pasar B* di kota M*, dan parahnya mereka membeli simbol, akan lebih berterima jika yang mereka kunjungi adalah para penjual sayur, ikan, beras dan lain-lain. Mereka melakukan penolakan akan pengetahuan realitas yang menunjukkan bahwa virus covid 19 akan mudah menyebar di tempat keramaian.  

Saya tidak begitu yakin keluarga saya atau bahkan subjek individu yang lain tidak paham dengan bahaya covid 19. Toh setiap pagi, siang dan malam mereka selalu disuguhi dengan jumlah pasien yang meninggal. Pada kenyatanya ritual berbelanja baju-baju lebaran jauh lebih penting untuk pemenuhan “kepuasaan”. “they know but they do it” mereka tahu tapi mereka melakukannya. Situasi ini disebut oleh Aprinus sebagai banalisme menuju fatalisme. Fatalisme yang lebih cenderung kepada “kesadaran sinis”.

(Sengkang, 24 Mei 2020)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun