Mohon tunggu...
Beryl Lumenta
Beryl Lumenta Mohon Tunggu... Guru - Belajar menulis

Husband, father, teacher, friend, in that particulair order

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bijak Memaknai Kata "Pribumi" di Pidato Anies

17 Oktober 2017   22:23 Diperbarui: 17 Oktober 2017   22:39 4499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kata pribumi memang kata yang sensitif. Pemakaian kata ini cukup kontroversial sehingga Presiden Habibie merasa perlu mengeluarkan Inpres no 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan penggunaan istilah "pribumi" dan "non pribumi" dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. 

Belakangan kata "pribumi" kembali marak diperbincangkan, berkaitan dengan penggunaan kata ini di pidato politik perdana Anies Baswedan sebagai Gubernur Jakarta. Sebenarnya apakah arti kata "pribumi" di sini? Dalam konteks apakah Anies Baswedan menggunakan kata ini? Apakah sudah tepat penggunaan kata tersebut? Bagaimana dengan kata-kata serupa yang dipakai  Menteri Susi? Artikel ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Pengertian Pribumi

Kata "pribumi" mungkin berasal dari bahasa Jawa, yang berarti wong asli ing tanah kono (Baoesastra Jawa Purwadarminta)  dalam bahasa Indonesia diterjemahkan : Penduduk asli tempat tersebut. Bahasa sunda juga mengenal istilah pribumi yang artinya : nu boga imah; nu boga daerah; nu boga nagara (Kamus Umum Basa Sunda LBSS) dalam bahasa Indonesia diterjemahkan : yang punya rumah (tuan rumah), yang punya daerah, yang punya negara.  (diambil dari artikel Ajip Rosidi dengan beberapa penyesuaian)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, pribumi berarti penghuni asli; yang berasal dari tempat yang bersangkutan. Siapakah penghuni asli? Penghuni asli adalah orang yang lahir dan besar di tempat tersebut. Jadi menurut asal katanya, dan menurut kamus besar bahasa Indonesia Online, kata "pribumi" merujuk makna yang serupa, yaiutu penduduk asli.

Latar Belakang Pemakaian Istilah Pribumi

Pertanyaan selanjutnya, siapakah penduduk asli Indonesia? Dalam UUD 1945 pasal 6 ayat 1 sebelum amandemen juga menyebutkan salah satu syarat presiden adalah orang "Indonesia asli" Siapakah orang Indonesia asli yang dimaksud? Mengapa pasal ini mencantumkan istilah orang Indonesia asli?

Menurut Faiz, Pan Mohammad 2017 dalam artikelnya  Tafsir Konstitusi "Orang Indonesia Asli" mengatakan :

"Berdasarkan pembahasan terkait kewarganegaraan tersebut maka ketentuan Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan "Presiden ialah orang Indonesia asli" sebenarnya dari perspektif politis hanya diperuntukkan selama masa transisi kemerdekaan. Dalam konteks ini, Soekarno menyebut UUD 1945 sebagai UUD kilat atau UUD revolusi (revolutie grondwet) yang harus disempurnakan kembali.

Selanjutnya, ketentuan tersebut juga dimaksudkan agar tidak terbuka kesempatan bagi orang Belanda ataupun Jepang untuk menjadi presiden Indonesia. Rasionalitas dan suasana kebatinan ini saling berkelindan manakala analisis perbandingan konstitusi dilakukan antara UUD 1945 dengan Konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950."

Jadi jelaslah di sini bahwa pemakaian kata "Orang Indonesia asli untuk mencegah orang Belanda atau Jepang menjadi Presiden Indonesia.

Sebelumnya di artikel yang sama, beliau juga mengatakan:

"Dalam sidang BPUPKI telah terdapat pandangan yang sama bahwa orang-orang peranakan harus diakomodasi menjadi bagian dari warga negara Indonesia. Karena itu, muncul usulan agar ketentuan mengenai kewarganegaraan cukup memuat frasa "orang-orang bangsa Indonesia" tanpa menggunakan kata "asli".

Usulan tersebut sebenarnya hampir disetujui. Namun, Soepomo mengingatkan bahwa akan terdapat masalah yuridis dalam hukum internasional apabila orang-orang peranakan langsung memperoleh status warga negara Indonesia. Sebab pada saat itu, di antara orang-orang peranakan masih ada yang mempunyai status sebagai warga negara lain sesuai Nederlandsch Onderdaan. Dengan demikian, Soepomo ingin mencegah agar tidak terjadi permasalahan dubbele nationaliteit di kemudian hari (AB Kusuma 2004: 388).

Karena itu, Soepomo mengusulkan supaya harus ada orang-orang yang untuk pertama kalinya dapat langsung menjadi warga negara Indonesia dengan mengatakan, "mesti ada satu group yang lebih terang". Sedangkan peranakan lainnya secara de jure akan disahkan menjadi warga negara dengan undang-undang.

Akhirnya, Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 disepakati dalam sidang PPKI dengan ketentuan, "Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara"."

Di sini tersirat bahwa memang ada golongan yang di sebut Indonesia asli, yang bukan orang-orang peranakan. Siapakah mereka? Untuk mengetahui lebih lanjut tentang hal ini kita perlu tahu latar belakang sejarah jaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

Pemerintah Kolonial Hindia Belanda waktu itu menggolongkan penduduk Hindia Belanda kedalam 4 golongan sebagai berikut:

1. Golongan Eropa

2. Golongan Indo (keturunan Eropa dan penduduk asli)

3. Golongan Timur asing (keturunan Cina/Arab/India)

4. Golongan pribumi

Golongan ke-4 adalah golongan yang paling rendah derajatnya dimata pemerintah Hindia Belanda. Jadi jelas di sini yang dimaksud orang Indonesia asli mengacu pada golongan ke-4, yang bukan peranakan.

Pemakaian Istilah Pribumi dalam Perkembangan Selanjutnya.

Dalam perkembangannya, istilah "pribumi" sering di kontraskan dengan istilah "non pribumi". Istilah non pribumi, mengacu pada warga keturunan cina (istilah "cina" selanjutnya diperhalus dengan istilah "tionghoa") Ini bisa kita lihat dalam kerusuhan Mei 98 yang kental dengan isu pribumi-non pribumi, dimana yang dimaksud non pribumi adalah keturunan tionghoa. 

Kemudian dalam kasus penolakan Ahok oleh sekelompok massa ketika ia hendak dilantik jadi Gubernur Jakarta menggantikan Jokowi, juga kental dengan isu Ahok non pribumi.  Perkembangan terakhir, menjelang Pilkada DKI 2017, istilah pribumi non pribumi juga muncul, dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang menggunakan politik identitas di pilkada tersebut.

Pemakaian istilah ini memperuncing kesenjangan antara kaum "Pribumi" (bukan keturunan Tionghoa) dan "Non pribumi" (keturunan tionghoa) di kedua belah pihak. Di satu sisi kaum "pribumi" merasa ditindas secara ekonomi oleh kaum "non pribumi", dan di sisi lain, kaum "non pribumi" merasa tidak mendapat hak yang sama dengan kaum "pribumi" di bidang-bidang lain di luar ekonomi, misalnya di bidang politik (kasus Ahok yang ditolak karena "non pribumi" misalnya).

Konteks Kata "Pribumi" di Pidato Anies

Lantas, kata "pribumi" dalam konteks apa yang dipakai Anies? Sepintas kita cenderung untuk memaknai istilah "pribumi" yang dipakai Anies sebagai lawan dari kata "non pribumi" yang berarti keturunan tionghoa ("pribumi" berarti bukan keturunan tionghoa). Mengapa? Mengingat selama Pilkada, kubu Anies kerap mengusung politik identitas dengan mempertentangkan "pribumi" dan "non pribumi".

Kalau benar demikian, tentu sangat disayangkan, karena Anies harusnya menjadi Gubernur buat semua golongan, seperti yang sering didengung-dengungkannya dalam pidato-pidatonya yang retoris. Dan bukan hanya berpihak pada satu golongan "pribumi".

Untunglah Anies segera melakukan klarifikasi :

Anies menegaskan, istilah "pribumi" yang dia maksud konteksnya masa kolonial itu. Jika istilah itu kemudian dianggap rasial, dia menuding ada media online salah menangkap isi pidatonya.

Jadi jelas yang dimaksud Anies adalah istilah "pribumi" dengan konteks massa kolonial. Kalau kita lihat penjelasan di atas, istilah "pribumi" pada massa kolonial mengacu pada golongan ke-4. Mari sekarang kita cermati isi pidato Anies pada bagian yang kontroversial itu:

"Jakarta ini satu dari sedikit kota di Indonesia yang merasakan kolonialisme dari dekat. Penjajahan di depan mata itu di Jakarta. Selama ratusan tahun (betul tidak sekalian). Di tempat lain penjajahan mungkin terasa jauh. Tapi di Jakarta, bagi orang Jakarta, yang namanya kolonialisme itu di depan mata. Dirasakan sehari-hari. Karena itu, bila kita merdeka maka janji-janji itu harus terlunaskan bagi warga Jakarta. Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan, kini telah merdeka. Kini saatnya kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai, Jakarta ini seperti yang dituliskan dalam pepatah Madura Itik se atellor, ajam se ngeremme. Itik yang bertelor Ayam yang mengerami. Kita yang bekerja keras yang untuk merebut kemerdekaan, mengusir kolonialisme, kita semua harus merasakan manfaat kemerdekaan di ibu kota ini."

Perhatikan kalimat yang di garis tebal. Kata "kita" mengacu pada "pribumi" Berarti kalimat tersebut bisa dibaca seperti berikut:

Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan, kini telah merdeka. Kini saatnya kita pribumi menjadi tuan rumah di negeri sendiri

Di kalimat tersebut Anies menarik batas yang tegas antara mereka yang di tindas, dengan penindasnya dengan kata PRIBUMI. Pribumi adalah golongan yang tertindas, dan yang menindasnya tentu mereka yang BUKAN pribumi. Siapa golongan BUKAN pribumi itu? Golongan ke-1, ke-2 dan ke-3. Termasuk keturunan CINA/ARAB/India! (lihat penjelasan di atas).

Jadi Anies sebenarnya juga tidak pantas menjadi Gubernur Jakarta, karena dia termasuk golongan ke-3, jadi tidak pantas menjadi TUAN RUMAH. Itukah maksud Anies?

Beberapa orang berusaha berbaik sangka dengan mengatakan bahwa yang dimaksud "pribumi" adalah penduduk asli Jakarta, atau warga Jakarta, yang ber KTP Jakarta. Baiklah kalau maksudnya demikian. Namun sebagai seorang yang terdidik, Anies seharusnya PEKA dan tidak menggunakan istilah yang rawan di salah mengerti. Terlebih dia sendiri bilang hendak "merajut kembali tenun kebangsaan yang terkoyak". Dengan menggunakan kata yang salah, dia bukannya merajut kembali, tetapi malah merobek tenun kebangsaan itu. Bukankah dulu dia pernah bilang ke Ahok saat debat pilkada:

"Jangan hanya kita bicara kebhinekaan, yok kita bicara persatuan, yok kita bicara tentang bagaimana pihak lain kalau mendengar apa yang saya katakan, bagaimana kita membayangakan pihak lain apa yang kita dengar," paparnya.

Buat Anies Baswedan, bijaklah menggunakan kata-kata. Kata-kata dapat merajut tenun kebangsaan, kata-kata juga dapat mengoyak tenun kebangsaan yang sama.

 Salam Persatuan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun