Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kalung Bermata Berlian untuk Winda

17 Februari 2017   18:58 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:31 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kalung berlian CZ by Kenneth Jay. (Foto: pinterest.com)

Winda menutup buku bacaannya. “Ciliwung, Alur Kehidupan Jakarta” begitu judulnya, suatu buku yang diterbitkan oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Tidak ada angka tahun terbitnya, tapi Winda memperkirakan buku itu diterbitkan akhir 2015 atau awal 2016. Di dalamnya, ada sambutan kepala badan tersebut, Dr. Tinia Budiati, tertanggal 2 Desember 2015. Tebakan Winda, pastinya buku tersebut diterbitkan sesudah sambutan kepala badan itu ditulis.

Semuanya gara-gara hujan deras yang mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Setelah satu dua tahun ini tidak ada lagi banjir, hari ini Winda mendapat kabar dari sahabatnya alumnus SMA Negeri 8 Jakarta, sekolah tempatnya kebanjiran lagi. Ya, kebanjiran lagi. Dulu, setiap hujan deras selalu banjir, tetapi setahun kemarin tidak lagi. “Eh, tahun ini kok datang lagi. Kangen kali ya banjirnya sama sekolahku,” ujar teman Winda lewat telepon.

Gara-gara hujan deras itu juga, Winda jadi membuka buku yang diterimanya beberapa waktu lalu. Pamannya, seorang arkeolog yang ikut menjadi tim penulis buku tersebut, memberikan kepada Winda. “Ini buatmu, karena saya tahu kamu suka dengan sejarah,” tutur sang paman ketika memberikan buku itu pada Winda.

Sebenarnya yang disebut paman, bukanlah paman dalam arti betul-betul segaris keturunan dalam keluarga besar Winda. Paman yang disebut Winda adalah teman ibunya dulu. Sejak ibu Winda meninggal karena terseret arus saat tsunami melanda Aceh pada akhir Desember 2004, praktis Winda tak mempunyai orangtua lagi. Dia tinggal bersama neneknya, dan lelaki yang disebut paman itulah yang membantu membiayai hidup Winda dan sang nenek.

Winda memang tak mempunyai ayah. Ibunya memberitahu bahwa sang ayah meninggalkan keluarga mereka untuk mencari nafkah di luar negeri. Menjadi Tenaga Kerja Internasional atau TKI, isilah kerennya. Tapi bertahun-tahun, tak kembali ke rumah. Hanya pada tahun-tahun pertama, sang ayah rajin mengirim uang untuk keluarganya yang tinggal di Bogor. Setelah itu, seolah ditelan bumi, tak ada beritanya lagi.

Ibu Winda terpaksa menghidupi keluarganya. Keterampilannya sebagai penjahit dan perajin barang-barang dari kain, cukup membantu kebutuhan hidup keluarganya. Suatu ketika, sang ibu diundang ke Aceh pada awal Desember 2004. Di sana dia diminta membantu perajin-perajin lokal untuk memanfaatkan perca dan kain-kain bekas.

Malang nasibnya, gempa bumi disusul gelombang tsunami meluluhlantakkan Aceh. Ibu Winda termasuk dari lebih 200.000 jiwa yang hilang dan meninggal dunia. Mendengar kabar duka itu, lelaki yang kini dipanggil paman oleh Winda segera membantu. Ibu Winda memang pernah menitipkan kartu nama lelaki itu lengkap dengan nomor telepon selulernya. “Kalau ada apa-apa, atau kamu ada perlu dan ibu tidak ada, hubungi saja nomor ini,” ujar sang ibu ketika memberikan kartu nama itu pada Winda.

Kaget, kalut, sedih, bercampur-aduk dalam diri Winda mendengar kabar tsunami dan tahu ibunya sedang berada di Aceh. Saat itu, usia Winda baru sembilan tahun. Memang, keluarga ibunya termasuk sang nenek segera membantu Winda. Tapi gadis kecil yang baru duduk di kelas tiga sekolah dasar itu, masih tetap syok. Teringat kartu nama yang diberikan ibunya, Winda pun menghubungi nama dan nomor telepon seluler yang ada di sana.

“Pak Benyamin, tolonglah saya,” tutur Winda sambil menangis saat menelepon.

‘Panggil saja saya paman,” balas lelaki tadi lewat telepon.

Itulah asal muasalnya, Winda memanggilnya lelaki itu dengan sebutan paman, tepatnya Paman Benyamin atau Paman Ben. Seorang lelaki yang akhirnya menjadi bagian hidupnya, menolong diri dan keluarganya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun