Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hari Buku Sedunia, Puisi Dibicarakan, Bukunya Belum Laku Juga

23 April 2018   09:27 Diperbarui: 23 April 2018   18:39 2419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: ilustrasi/uppercasmagazine.com

Setiap 23 April diperingati sebagai World Book Day atau Hari Buku Sedunia. Peringatan itu digagas oleh UNESCO, Badan PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya, yang tujuannya mempromosikan minat baca, aktivitas penerbitan buku, dan sekaligus upaya mendukung penghormatan atas hak cipta penulis di seluruh dunia.

Setiap tahunnya, puluhan ribu judul buku diterbitkan di berbagai negara. Di Indonesia jumlahnya sekitar 18.000 sampai 20.000 judul buku setiap tahunnya. Itu untuk semua genre, baik fiksi maupun nonfiksi. Bukan hanya buku baru, tetapi juga cetakan ulang, baik yang direvisi atau diperbaiki edisinya, maupun yang sekadar cetak tambahan saja Jumlah itu tergolong rendah dibandingkan negara-negara lainnya. Republik Rakyat Tiongkok misalnya bisa mencapai 400.000 judul buku setiap tahunnya, Amerika Serikat sekitar 300.000 sampai 310.000 buku, lalu Inggris sekitar 180.000 sampai 200.000 buku tiap tahunnya.

Negara-negara lain yang bisa dicatat antara lain Rusia (100.000), India (90.000), Jepang dan Jerman di kisaran sama (82.000), Italia (60.000), lalu Korea Selatan, Spanyol, Turki, dan Prancis yang hampir sama jumlah terbitannya (sekitar 42.000 sampai 40.000).

Di antara buku-buku yang diterbitkan, buku fiksi masih menempati yang paling banyak dibeli. Ini tentu saja kalau kita mengesampingkan kewajiban membeli buku pelajaran seperti di Indonesia. Baru setelah itu, buku-buku nonfiksi, baik berupa dokumentasi sejarah maupun karya-karya ilmiah dan lainnya.

Dari buku-buku fiksi, tentu saja yang paling diminati adalah cerita bergambar (komik), novel, baru setelah itu kumpulan cerpen. Lalu bagaimana dengan buku kumpulan atau antologi puisi? Sayangnya jumlahnya masih terbatas.

Sewaktu berlangsung acara festival suatu penerbit besar di Jakarta, sempat terjadi tanya jawab dengan pihak penerbit dengan seorang penulis yang ingin memasukkan naskahnya berupa kumpulan puisi, agar dapat diterbitkan oleh penerbit tersebut.

"Kalau puisi untuk sementara kami tidak terima, karena kami hanya sedikit sekali menerbitkan seperti itu. Dalam setahun hanya sedikit sekali (kumpulan puisi) yang kami terbitkan, karena pasarnya sangat terbatas," ujar wakil dari penerbit itu.

Sejumlah buku kumpulan puisi yang terbit di Indonesia baru-baru ini. (Foto: BDHS)
Sejumlah buku kumpulan puisi yang terbit di Indonesia baru-baru ini. (Foto: BDHS)
Bisa jadi, itulah sebabnya para penyair Indonesia sekarang lebih memilih menerbitkan kumpulan puisi secara indie atau ke percetakan-percetakan yang dapat mengerjakan print on demand, mencetak berdasarkan jumlah yang dipesan. Sedikit pun bisa dicetak, dan sang penulis atau penyair mengeluarkan biaya sendiri.

Adakalanya sejumlah penyair menerbitkan antologi puisi bersama. Ini pun biayanya patungan antarsesama penyair. Diterbitkan secara indie ke penerbit dan sekaligus percetakan yang bisa mengurus pula nomor International Standard Book Number (ISBN). Ini adalah penomoran sekaligus identifikasi unik terhadap buku yang diterbitkan dan diakui secara internasional, dan juga memudahkan perpustakaan-perpustakaan di seluruh dunia untuk melacak keberadaan buku tersebut.

Sebenarnya akhir-akhir ini ada momentum menarik di masyarakat luas tentang keberadaan puisi. Simak saja ramai-ramai membicarakan puisi yang dibacakan Sukmawati, puisi Gus Mus yang dibacakan Ganjar Pranowo, sampai puisi Linda Djalil yang dibacarakan Setya Novanto dalam persidangannya.

Sayangnya, ramai-ramai soal puisi masih sebatas saling memaki dan saling menyerang saja. Belum lagi ditumbuhkan kecintaan untuk membaca puisi dengan membeli buku-buku puisi yang beredar saat ini. Meski ramai dibicarakan soal puisi, tetapi buku-buku puisi yang ada belum laku juga dibeli. Lebih mengenaskan lagi bagi seorang penyair, apalagi kalau dia baru mulai menerbitkan kumpulan puisi, alih-alih dapat menjualnya, malah sebagian besar habis untuk promosi dibagi-bagikan ke sana ke mari untuk memperkenalkan keberadaan dirinya dan kumpulan puisi karyanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun