Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Djuanda ke Joko Widodo dan Susi Pudjiastuti: Di Lautan (Seharusnya) Kita Jaya

13 Desember 2016   07:47 Diperbarui: 13 Desember 2016   08:42 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar prangko peringatan| Sumber: Senayanpost

Hari ini Selasa, 13 Desember, tercatat sebagai salah satu tanggal penting dalam sejarah nasional Republik Indonesia (RI). Pada 13 Desember 1957 Perdana Menteri RI, Ir. Djuanda Kartawidjaja mencetuskan suatu deklarasi yang kemudian dikenal dengan nama “Deklarasi Djuanda”. Di dalam deklarasi itu, Djuanda secara tegas mengumumkan bahwa laut Indonesia termasuk di dalamnya adalah laut di sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia, semuanya menjadi kesatuan wilayah RI.

Itu berarti, contohnya laut antara Pulau Sumatera dan Kalimantan, keseluruhannya adalah bagian tak terpisahkan dari wilayah RI. Hal ini sangat berbeda dengan posisi Indonesia sebelumnya, ketika sebelum deklarasi tersebut wilayah RI masih mengacu pada peraturan dari zaman penjajahan Hindia-Belanda, yaitu  Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie yang ditetapkan pada 1939. Dalam peraturan tersebut, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Jadi kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut, tanpa perlu izin dari Pemerintah RI.

Djuanda dalam deklarasinya juga menyatakan bahwa  Indonesia menganut prinsip negara kepulauan (archipelagic state) yang pada saat itu masih ditentang oleh sejumlah negara. Lewat deklarasi tersebut, Djuanda menyatakan bahwa semua laut di antara pulau-pulau yang termasuk wilayah RI, adalah bagian dari wilayah RI juga.

Jadi kalau saat ini ada ungkapan, “laut bukan pemisah, namun justru menjadi pemersatu RI”, kita boleh berterima kasih kepada Djuanda yang sudah mengawali dengan Deklarasi Djuanda tepat 59 tahun lalu itu. Walaupun tentu saja upaya menjadikan RI sebagai “negara kepulauan” bukan hal yang mudah.

Deklarasi tersebut setahun kemudian dijadikan Undang-Undang Nomor 4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia, yang isinya mengadopsi pernyataan Djuanda. Tetapi masih banyak negara lain yang tak mau mengakui hal tersebut. Bisa jadi karena negara-negara itu berkepentingan memanfaatkan laut di dalam wilayah Indonesia.

Pemerintah RI kemudian mengajukan hal tersebut kepada Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Barulah pada 1982 atau 27 tahun kemudian, Deklarasi Djuanda diterima dan ditetapkan dalam sidang Konvensi Hukum Laut PBB yang dikenal dengan nama United Nations Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS). Keberhasilan itu kemudian dipertegas lewat Undang Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 yang menyatakan RI adalah negara kepulauan.

Bertahun-tahun kemudian, tepatnya pada 1999, Presiden Abdurrahman Wahid mencanangkan 13 Desember sebagai Hari Nusantara, yang segera dipertegas oleh Presiden RI berikutnya, Megawati Soekarnoputri, lewat Keputsan Presiden RI Nomor 126 Tahun 2001 tentang Hari Nusantara.

Hari ini, 13 Desember 2016, peringatan Hari Nusantara dipusatkan di Lembata, Nusa Tenggara Timur. Presiden Joko Widodo tadinya dikabarkan akan menghadiri acara peringatan tersebut, namun karena ada tugas kenegaraan ke luar negeri, Presiden berhalangan hadir.  Walaupun demikian, tetap penting untuk dicatat bahwa memang ada kesinambungan antara Djuanda dan Joko Widodo, serta berikutnya dengan Susi Pudjiastuti, yang menjadi salah satu menteri dari Joko Widodo.

Ketiga orang ini – tanpa bermaksud melupakan tokoh-tokoh lainnya – memandang penting peran laut Indonesia. Ketiganya sepakat bahwa laut bukanlah pemisah, melainkan justru pemersatu wilayah Indonesia.

Itu sebabnya, ketika Joko Widodo terpilih dan menjabat sebagai Presiden ke-7 RI, maka masalah kelautan atau maritim ini menjadi penting. Terbukti dengan ditunjuknya seorang Menteri Kordinator Bidang Kemaritiman. Joko Widodo juga menegaskan visinya untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Seperti yang diungkapkannya ketika memberi sambutan pada Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur di Myanmar setahun lalu.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi besar menjadi poros maritim dunia. Poros maritim merupakan sebuah gagasan strategis yang diwujudkan untuk menjamin konektifitas antar pulau, pengembangan industri perkapalan dan perikanan, perbaikan transportasi laut serta fokus pada keamanan maritim.

Dikatakan lagi oleh Joko Widodo sebagaimana dikutip dari laman resmi Presiden RI (Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia), “Indonesia memiliki potensi besar menjadi poros maritim dunia mengingat Indonesia berada di daerah equator, antara dua benua Asia dan Australia, antara dua samudera Pasifik dan Hindia, serta negara-negara Asia Tenggara. Untuk dapat menjadi poros maritim dunia maka sistem pelabuhan di Indonesia harus dimodernisasi sesuai dengan standar internasional sehingga pelayanan dan akses di seluruh pelabuhan harus mengikuti prosedur internasional”.

Seorang pembantu Presiden RI, yaitu Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, telah membuktikan cara menegakkan kedaulatan RI di wilayah laut Indonesia. Kapal-kapal asing tanpa izin yang seenaknya memasuki wilayah RI, ditangkapi satu-persatu. Bahkan kapal-kapal pencuri ikan dari laut Indonesia, ada juga yang dihancurkannya.

“Untuk mewujudkan visi Indonesia sebagai poros maritim dunia, harus segera dijawab dengan upaya membangun kembali sektor kelautan dan perikanan Indonesia berdasarkan pilar kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan,” ujar Menteri Susi saat menerima gelar doktor honoris causa dalam bidang kelautan dan perikanan dari Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, awal Desember 2016.

“Dengan menegakkan kedaulatan dan menjaga keberlanjutan, peluang pengelolaan perikanan dalam mewujudkan kesejahteraan nelayan (prosperity) terbuka lebar. Saat ini, stok ikan semakin banyak, investasi asing di sektor penangkapan ikan juga telah ditutup. Nelayan Indonesia mulai dapat menikmati kekayaan laut Indonesia dan menjadi tuan di negeri sendiri setelah berpuluh-puluh tahun dijarah oleh kapal ikan asing melalui cara yang legal maupun illegal,” jelasnya lagi.

Sebagaimana motto Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL), “Jalesveva Jayamahe” yang berarti “Di Lautan Kita Jaya”, Deklarasi Djuanda yang kini diperingati sebagai Hari Nusantara tiap 13 Desember seharusnya mengingatkan pula agar kita harus selalu menjaga laut-laut dalam wilayah RI, dan menjadikannya sebagai bagian dari kejayaan republik tercinta ini. Di lautan, seharusnya kita memang jaya.

(Ditulis di hari ulang tahunku, 13 Desember 2016).  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun