Mohon tunggu...
Bertram Budiharto
Bertram Budiharto Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Politik dan Ekonomi

Pelajar kelas 10 SMA. Senang mengikuti berita-berita politik dan gemar menganalisanya terutama yang menyangkut masalah domestik dan internasional. Membaca buku tentang sejarah ekonomi dan politik menjadi hobi utama saya.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Nasib Hong Kong dan Bahaya Manuver Tiongkok

3 Juli 2020   13:58 Diperbarui: 3 Juli 2020   13:55 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendemo Hong Kong turun ke jalan memprotes serangkaian tindakan sepihak Tiongkok. Aljazeera.com

"Otonomi telah berakhir!", teriak salah satu aktivis Demosisto, Joshua Wong. Iya, betul, dengan pemberlakuan UU Keamanan Nasional pada tanggal 1 Juli kemarin oleh Tiongkok, banyak pengamat politik dunia mengatakan bahwa itu secara efektif menghilangkan hak otonomi daerah yang seharusnya dirasakan oleh Hong Kong hingga tahun 2049 sesuai perjanjian penyerahan kembali Hong Kong dari tangan Inggris ke pihak Tiongkok. Hari itu telah menjadi bagian dari sejarah berakhirnya sistem politik Tiongkok yang mengadopsi kebijakan 'Satu Negara, Dua Sistem' untuk menghormati kebebasan yang telah lama dirasakan masyarakat Hong Kong.

Pemimpin kota itu, Carrie Lam, berkali-kali menegaskan bahwa undang-undang itu hanya menargetkan sebagian orang yang melanggar aturan subversi dan pemisahan diri, bukan pihak oposisi secara keseluruhan. Dengan begitu, ia berargumen bahwa kebebasan berpendapat masih dijamin oleh otoritas setempat. Sampai dengan saat ini, sudah ada lebih dari 180 orang yang ditangkap karena melanggar undang-undang baru itu. Namun, tetap saja. Keberanian Beijing untuk secara nekat melakukan hal itu membuktikan bahwa elit Partai Komunis Tiongkok adalah orang-orang yang penuh tipu daya dan karena itu tidak bisa dipercaya sama sekali janji-janji dan omongannya. 

Jauh sebelum kejadian kontroversial ini, ketegangan antara Amerika dan Tiongkok kembali semakin memanas. Yang teranyar dari sisi bisnis dan finansial, Kongres AS secara bipartisan meloloskan sebuah RUU yang intinya mendaftarhitamkan sebagian perusahaan asal Tiongkok termasuk korporasi platform e-commerce Alibaba dari Bursa Efek Wall Street jika perusahaan-perusahaan tersebut tidak mematuhi dan mengikuti aturan yang ditetapkan oleh pihak Amerika.

Beberapa dari aturan itu adalah dokumen keuangannya harus siap diaudit oleh auditor independen asal Amerika dan menyatakan secara tertulis bahwa tidak ada intervensi atau campur tangan dari elit Partai Komunis Tiongkok. Sudah bukan rahasia lagi bahwa setiap perusahaan di Tiongkok harus mendapatkan pengawasan dari elit partai komunisnya, dengan memasukkan sebagian kader dalam jajaran direktur perusahaan. Contoh lain dari ketidak transparansi laporan keuangan perusahaan Tiongkok adalah sebuah kedai kopi yang bernama Luckin Coffee, yang dalam satu hari saja aset sahamnya hancur sebanyak 90% sehingga menyebabkan investor Amerika rugi bandar. 

Menurut saya, dengan upaya susah payah untuk mencaplok Hong Kong kembali ke tangan Beijing, ini merupakan sebuah langkah balasan atas keputusan Amerika yang keras itu. Pembalasan yang dilakukan Amerika untuk mencabut status kota itu sebagai pusat finansial global dengan segala keistimewaan yang dimilikinya itu dan dianggap sebagai bagian terpisah dari Tiongkok daratan dalam setiap pengambilan kebijakan perang dagang oleh Trump sudah menjadi kalkulasi yang matang dari pihak Tiongkok.

Dengan kata lain, langkah pukulan balik dari Amerika itu sudah pasti sedikit banyaknya akan merugikan Hong Kong dan menghancurkan hak-hak yang sudah lama dirasakan oleh Hong Kong dari Dunia Barat. Tabir Tiongkok pun semakin lama kian terbuka: dalam waktu jangka panjang, merebut dan memindahtangankan kebesaran Bursa Efek Hong Kong, Hang Seng, ke Bursa Efek yang sering dijagokan pemerintahan Beijing, Shenzhen dan Shanghai. Jujur kata, ini langkah yang sangat cerdik namun masih sangat sulit untuk mencapainya. Apalagi, satu per satu tabir Tiongkok sudah semakin terbuka dan mendapatkan sorotan dunia terutama atas penanganannya terhadap wabah pandemi corona akan membuatnya pula semakin dikucilkan. 

Menjadikan Hong Kong sebagai daerah proksi baru selain Laut Cina Selatan yang akhir-akhir ini terus diganggu gugat oleh Tiongkok terus-menerus adalah sebuah langkah yang fatal. Alasannya tak lain dan tak bukan adalah sikap Inggris dan kota bayangan yang tak pernah terlihat di dalamnya, City of London, yang pada awalnya cenderung tak mau bersikap atas ketegangan dan pertikaian antara Amerika dan Tiongkok harus terpaksa bersikap. Negara Inggris memang tidak pernah bisa dipisahkan dari urusan politik Hong Kong karena sistem pemerintahannya paling banyak dipengaruhi oleh Inggris sejak dibawah kekuasaan dan koloni Inggris.

Pada akhirnya, negara itu tak bisa lagi berdiam diri, cenderung netral, dan bersikap acuh tak acuh serta apatis terhadap situasi instabilitas politik yang sedang terjadi di Hong Kong saat ini. Sebut saja, Inggris kemarin menawarkan kewarganegaraan secara cuma-cuma dan eksklusif kepada pemegang paspor Hong Kong dan mereka yang mau menerima tawaran itu akan dijamin mendapatkan pekerjaan oleh pemerintah kerajaan itu.

Pandangan liar pun menjadi lari kemana-mana, mempertanyakan, "Apakah hubungan antara Amerika Serikat dengan Inggris bisa menjadi lebih solid lagi karena memiliki kesamaan cara pandang tentang kondisi politik luar negeri yang kini sedang memanas?" Ini bisa sangat berbahaya mengingat dua negara itu berperan penting dalam mempererat organisasi militer dunia, NATO.

Berbicara mengenai perkembangan terbaru di Amerika Serikat. Kemarin, Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, memberikan sinyal yang sangat kuat bahwa Amerika dibawah kepemimpinan Trump akan segera mengumumkan kebijakan yang akan diambil untuk menanggapi pencaplokan wilayah Hong Kong oleh Tiongkok.

Pastinya, politik proksi antar kedua negara akan semakin seru ke depannya. Apalagi, Trump semakin geram dengan Tiongkok karena pandemi corona di negaranya semakin liar, sangar, dan tidak menunjukkan tanda-tanda apapun yang mengindikasikan bahwa penyebarannya akan segera mereda. Publik pun bertanya-tanya apa langkah pembalasan yang akan dilaksanakan oleh Amerika mengenai isu Hong Kong ini, diikuti dengan langkah pembalasan balik oleh Tiongkok. Yang jelas, hubungan antara dua negara adidaya itu bagaikan hubungan antara anjing dan kucing.

Ada kalanya mereka bisa saling akur dan ada kalanya mereka bisa saling bertengkar bahkan bercakar-cakaran. Namun, langkah selanjutnya diantara keduanya adalah hal yang sangat menarik untuk diikuti lebih lanjut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun