Pagi itu aku bangun dengan pemandangan pantai, di dalam tenda di bawah pohon kelapa. Dia sedang duduk di depan tenda, memandang pantai, entah apa yang ada di pikirannya. Mungkin dia sedang menikmati suasana, deru ombak, angin pagi yang sejuk berhembus.
Mungkin segala yang diterima panca inderanya memantik munculnya fragmen-fragmen yang tersimpan dalam memorinya ke masa ini, disini sekarang. Jelas-jelas fragmen-fragmen tersebut tidak berasal dari tempat ini dan waktu ini, tetapi itulah mekanisme pikiran dan perasaan kita yang terjadi secara alami.
Aku tidak di pantai pagi ini. Aku berada di tempat lain dengan gambaran-gambaran yang aku simulasikan sendiri di dalam pikiranku. Dengan asumsi-asumsiku terhadap apa yang aku lihat sekarang, seolah masa kini menjadi sebuah gerbang masuk ke alam lain, sebuah alam metafisis dimana kita menjadi arsitek dan sutradaranya, dengan segala interaksi subyek-subyek yang kita simulasikan sendiri. Bukankah gagasan tersebut yang ditawarkan oleh ilmuwan-ilmuwan dan filsuf-filsuf?
Aku di pantai pagi ini. Dengan membawa serta Hiperrealitas Baudrillard, mungkin juga Ketidaksadaran Persona Jung. Jika tidak di pantai dan menikmati segala yang aku nikmati sekarang, dengan dia yang ada di pandanganku sekarang, maka aku ada di mana?
Apa perbedaannya dengan hal terkait disini dan sekarang, dengan melakukan beberapa prompt mindfulness dan meracik sebuah komposisi lajur pemikiran lalu menjadikannya sebuah konstruk bagi kita untuk melihat hidup dari perspektif-perspektif yang kita rancang sendiri?
Dia di pantai pagi ini. Tanpa pemikiran-pemikiran dari sensasi-sensasi yang kita terima, alam fisik, rumput yang bergoyang, dedaunan kering yang gugur lalu mendarat di tanah, embun pagi yang menetes, hanyalah alam saja yang ada begitu saja, tidak membawa makna maupun arti tertentu.
Setidaknya begitulah bunyinya sebuah kalimat yang kubaca dari buku karangan seorang filsuf bermata tidak simetris kenamaan asal Perancis, yang akhirnya bukunya juga aku colong, namun sekarang malah sudah hilang.
Lalu, dia, dengan segala memori yang aku ketahui mengenai dirinya, dengan segala hal yang aku ketahui mengenai orientasi hidupnya, cara berpikirnya, bagaimana ia mengelola perasaan emosinya, prinsip nilai serta pemahaman moral yang ia pegang teguh, segala kontradiksi kognisi afeksinya, dan pemahamanku mengenai dirinya secara komprehensif holistik menyeluruh, aku menyadari bahwa dirinya adalah dia, dengan segala hal yang melekat pada dirinya, baik secara jasmani maupun laten.
Jelas-jelas fragmen-fragmen tersebut tidak berasal dari tempat ini dan waktu ini, tetapi itulah mekanisme pikiran dan perasaan kita yang terjadi secara alami.
Aku, dia, dan pantai. Halo dunia, aku disini bersama dia dan pantai. Apakah dunia ini hidup? Apakah dunia ini bernapas, memiliki roh, dan berkomunikasi? Dunia tidak lain berada dalam pemahaman kita. Terdapat sebuah hasrat untuk berbicara kepadanya di saat aku, dia, serta pantai ini ada bersama-sama.
Dengan kebanyakan orang yang saat ini menatap layar segi empat untuk dapat mengantarkan gagasan mereka pada lawan bicara mereka, tidak ada perantara apapun antara aku, dia, dan pantai.