Mohon tunggu...
Berthy B. Rahawarin
Berthy B. Rahawarin Mohon Tunggu... Dosen - Dosen President University, Cikarang

Maluku (SD-SMA 1971-1983) - STF-SP Manado (1983-1992). Jakarta (1993 - sekarang)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Surat dari Boven-Digul, Papua

21 September 2020   09:15 Diperbarui: 21 September 2020   10:57 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(foto: replika Bung Hatta di Digul, Papua via KOMPAS.com)

Jika saja Catatan Pengantar penulis dan pelaku sejarah Des Alwi dalam buku Koloni Pengucilan Boven Digoel, yang ditulis Purnama Suwardi (2003), sempat dibaca pelaku pendidikan,mereka mungkin tidak sampai membiarkan kondisi belajar-mengajar seperti suasana yang dilaporkan Romo Felix Amias, MSC di bawah ini, (masih) tetap dan akan terus terjadi.

Des Alwi menulis di alinea terakhir Pengantarnya pada buku tersebut, menulis: "Akhirnya, memang harus diakui bahwa, (deskripsi buku) Koloni Boven Digoel adalah masa lalu yang tetap relevan direfleksikan...".

Isi lengkap Surat Romo Felix Amias, MSC dari Boven Digul

" Lulus SD Dua Tahun Lalu: Masuk SMP Hanya Dengan Surat Keterangah Lulus

Cerita singkat tentang situasi Pendidikan Dasar yangmemprihatinkan   untuk anak-anak asli Papua di pedalaman Papua Selatan, Boven Digul.

Ini cerita aneh yang saya baru ketemu di dunia pendidikan di kampungku Meto wilayah Kab. Boven Digoel, dan kelihatannya juga termasuk kampung-kampung lain di sekitar. Ceritanya, saya melihat pendidikan di kampung morat-marit: guru-guru tidak di tempat, anak-anak tidak sekolah, mereka naik kelas tanpa belajar akhirnya tidak tahu baca-tulis, naik kelas tetapi tidak ada raport, dan yang mengerikan itu lulus SD tetapi tidak ada ijasah.

Karena keadaan demikian maka saya membawa keponakanku yang sudah naik kelas II SMP Negeri -- Distrik Ki ke kota Merauke untuk tinggal di asrama dan sekolah. 

Waktu mengurus surat pindah dan raport ternyata tidak ada. Sudah lulus SD Negeri Meto sejak tahun 2018 dan sekarang sudah kelas II SMP pedalaman tetapi tidak ada ijasah SD. Wah bagaimana bisa sekolah seperti itu? Ternyata ia hanya berbekal Surat Keterangan Lulus sebagai pengganti ijasah untuk sekolah di SMP. Sekolah apa model begini?

Ketika mencari informasi di beberapa guru dan mereka mengatakan bahwa raport dan ijasah ada di leptop, semua dokumen lengkap. Hanya tidak ada belangko untuk cetak. Pertanyaannya: Siapa yang harus mengurus raport dan ijasah? Apakah kepala sekolah? Apakah kepala dinas pendidikan? 

Apakah kerja sama kepala sekolah dan kepala dinas pendidikan? Bukankah barangnya ada di leptop? Anak-anak butuh buku raport dan lembaran ijasah di atas kertas bukan di dalam leptop. Saya malah menjadi curiga, jangan-jangan semua dokumen di leptop hanya untuk kepentingan proyek, bukan untuk kepentingan pendidikan.

Saya kira ada beda antara manajemen proyek dan managemen pendidikan. Manajemen proyek itu sifatnya tidak akan pusing dengan apakah anak-anak sekolah atau tidak, tahu baca tulis atau tidak, dapat raport dan ijasah atau tidak, yang penting lapor menurut catatan di leptop dan bila perlu "modifikasi" sana-sini supaya dapat proyek ini dan itu entah dalam bentuk uang atau bangunan fisik. Tampaknya itu yang terjadi di sekolah-sekolah pedalaman, dan sepertinya sudah menjadi lingkaran mafia dari atas sampai ke bawah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun