Mohon tunggu...
Berthy B. Rahawarin
Berthy B. Rahawarin Mohon Tunggu... Dosen - Dosen President University, Cikarang

Maluku (SD-SMA 1971-1983) - STF-SP Manado (1983-1992). Jakarta (1993 - sekarang)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dukung Gibran, Gerindra Bukan "Penumpang Gelap"

10 Agustus 2020   05:30 Diperbarui: 10 Agustus 2020   05:39 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Langkah Gerindera mendukung Gibran, putera presiden Joko 'Jokowi' Widodo untuk Pilwakot Solo  2020 meski pun tidak mengejutkan para pengamat dan analis peta politik Indonesia, namun menghadirkankan realitas politik yang sungguh over-dinamis.

Menurut hemat saya, untuk dibedah, terutama menyangkut dua hal ini: pertama, bahwa langkah pion politik PDIP yang dinisiatifkan Megawati sebagai top decision maker partai banteng, diiringi langkah top decision maker Gerindra, ya Prabowo. 

kedua, meskipun tidak langsung terkait cinta lama Mega- Pro, ya, mantan pasangan politik pasangan pilpres  tahun 2009, Megawati - Prabowo, belum atau bahkan tidak terkait samasekali pemilu presiden 2024, bagi pengamat dan publik sinyal penguatan kekerabatan Gerindera sebagai runner-up pilpres 2019 dan the champion PDIP dalam pemerintahan akan mantap bersinergi di Kabinet hingga Senayan, sebuah sketsa awal wajah pilpres 2024 ditorehkan di atas kanvas politik.

Alegori cinta para "mantan" ini, sungguh meski terkadang berarti sedekat harafiahnya, karena pasangan cinta politik dan politik cinta itu juga terang benderang sahaja di mata publik, cinta (politik) PDIP-Gerindra yang kembali bersemi ini.

Setelah rivalitas pilpres 2019, yang didahului dengan pilkada DKI tersengit 2017 antara pasangan Anies-Sandiago yang menyingkirkan pasangan petahana BTP atau Ahok - Djarot sebagai dukungan  PDIP, yang seluruh rasa rivalitas itu berpuncak di pilpres 2019, maka, belajar dari semua ups-downs , rekam-jejak dinamika cinta para kubu pulitik itu, hingga rasa cemburu cinta para mantan pacar politik masih seharafiahnya makna dan interpretasi-hermeneutiknya, dan karenanya  mentah pula untuk dibahas.

Covid Tunda Pilkada 2020 Rasa Pilpres 2024

Maka, bila sketsa pasangan cinta pilkada 2020, yang meski masih abu-abu, namun telah mulai menjadi patok lain, arah pembenar spekulasi merajut kembali  cinta  Mega -- Pro yang senantiasa dinamis dalam jatuh bangunnya, juga antagonis dan rivalitasnya, atau sekedar "penumpang gelap" -- istilah yang lahir dari cinta politik, dalam arena, suatu saat nantinya menguat kepada pasangan Prabowo dan Puan Maharani, ya puteri Megawati-Soekarnoputeri untuk pilpres 2024, cemburu cinta politik para mantan, semisal BTP atau Ahok  bukan tidak mungkin melahirkan strategi "pasangan cinta politik baru, tidak terkecuali, pasangan Anies Baswedan -- Sandiago-Uno, misalnya, tanpa Gerindra dan apalagi PDIP.

Tidak memperhitungkan cemburu politik "para mantan" (cinta pulitik) dapat menghadirkan pertarungan politik yang sungguh dinamis, hidup dan kreatif, karena ketatnya persaingan cinta para mantan yang setia atau pun membangkang, sekena sekedar sajian yang juga disodorkan mitra pulitik di mata publik.

Suami-isteri yang talak  gegara  beda pilihan pulitik dan berada di kubu berbeda, bahkan meski sebagai relawan sahaja, urung balik bertemu di kontrakan, setelah menjadi penonton sekaligus pemain (tanpa sadar) dalam lakon bertema cerai politik cinta berujung rujuk, sementara para mantan berikhtiar lagi untuk pilkada (serentak) 2022 diharapkan sudah lebih terasa pilpres 2024.

Dukungan Gerindra pada Gibran dalam Pilwalkot (serentak 2020)  belum mengarah pada "pilkada rasa pilpres", bahkan bila Gibran bertarung lawan kotak kosong. Pada situasi faktual suasana determinasi  Covid-19 pada seluruh aspek kehidupan masyarakat, maka, "pilkada serentak 2020"  (lebih terasa) Covid-19 daripada "rasa pilpres".

Oleh sejumlah kalangan mengasosiasikan seluruh dinamika pertarungan dan hasil aksi-reaksi pilpres 2019 dengan perjuangan menghadapi  "Covid-19", musuh kasatmata yang mengerikan , tapi kadang minta diakrabi. Situasi paradoksal politik: kawan tapi lawan, ya lawan tapi kawan.

Covid-19 dikambing-hitamkan  jadi "penumpang gelap" 2022, karena Covid-19 belum bisa, dan tidak pernah akan jadi King Maker.  Dalam impian para  King Makers, baik Megawati, SBY hingga JK,  pilkada (Serentak 2022) nantinya, kiranya lebih "Terasa Pilpres". Meskipun, tidak tertutup kemungkinan suasana-suasana pilkada 2022 masih terasa Covid-19, atau bahkan masih sekedar Terasa sisa hawa "Penumpang Gelap" hingga Rasa Pilpres tahun 2019"-nya. Juga tidak tertutup adanya cinta sejati ala Romeo dan Juliet dalam pulitik Tanah Air, In sensu stricto, dalam arti dan interpretasi seadanya. Sastrawan Perancis berujar: l'histoire se repete, sejarah hanya berulang(-ulang-kali).

*) Penulis, dosen Filsafat Negara di President University, Jababeka, Cikarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun