Mohon tunggu...
Berthy B. Rahawarin
Berthy B. Rahawarin Mohon Tunggu... Dosen - Dosen President University, Cikarang

Maluku (SD-SMA 1971-1983) - STF-SP Manado (1983-1992). Jakarta (1993 - sekarang)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hidup untuk Pilpres,Yah, Pilpres untuk Hidup

25 Juli 2020   14:14 Diperbarui: 25 Juli 2020   14:41 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tanpa banyak disadari, legislator kita, ya wakil-wakil rakyat di Senayan, telah menghipnotis rakyat untuk membuat agenda hidup kita jadi padat dan terasa singkat. "Belum kering  tanah makam pengurus Pemilu legislative-pilpres 2019" -- bahasa sinical di kampung-halaman beta -- gaung "pilkada serentak nan rasa pilpres 2024". Kembali bergema. 

Elus jago resmi dibuka dan terbuka lebar: juga untuk kau dan beta sebagai warga negeri. Kenapa tidak kita kampanyekan diri kita masing-masing for Number One. Lebihbaik pede (percaya diri), daripada minder-inferior complex di negeri sendiri.

Di jaman rejim Pak Harto, presiden RI ke-2, isu suksesi adalah tabu, pun bahkan sudah di tahun penyelenggaraan Pemilu Presiden, yang dialami dan didebat setinggi, "Siapa yang akan jadi wakil presiden selanjutnya", ya wakil pak Harto.

Waktu bergulir, demokrasi, sistem terbaik dari terburuk, haruskita lalui. Senayan masih menjadi dapur demokrasi diolah-rasanya , mulai dari pemilihan tingkat er-ter-er-we hingga puncaknya pemilu presiden dan pemilu legislatif, yang terakhir ini menelan ratusan nyawa akibat kelelahan.  

Kesan hidup untuk pilpres(-pileg) dan pilpres untuknhidup, muncul dari padatnya siklus perhelatan itu, baik tahapan Pilpres dan pilkada, maupun semua "ritual" yang mengiringinya. Impian "pesta rakyat" yang murah-meriah mungkin mimpi yang terus tertunda; pilpres-pileg akan tetap menjadi sesuatu yang mewah dan mahal.. wilayah transaksional dan koruptif sulit terhindarkan.

****

Itulah demokrasi, "pilihan terbaik dari terburuk". Republik berbentuk kerajaan-kerajaan tradisional, bisa saja, tidak lebih buruk, bisa saja opsional di masa depan, jika lebih baik dan lebih murah. Kalo ayahanda baik, putera mahkota baik, rakyat setuju, ya monggo..kerajaan bertahan untuk mendukung republik atau kerajaan lebih besar.... Daripada menjadi "Demokrasi rasa Nano-nano". Yang dibangun adalah sebatas hasrat akan kekuasaan dengan pembalut demokrasi.

Etika di negara hukum jadi bab yang disampahkan, kata Machiavelli. Hukum ada hanya untuk melanggengkan kekuasaan atau sekedar memuluskannya. Melayani pemberi kredit. Penegak hukum bisa dibeli dengan uang di depan mata kita. Tepatnya bahasa kini, "Nobar" (nonton bareng), lagi dilarang karena Covid-19, padahal ada sinetron seru berjudul ala Warkop DKI, "Kesempatan dalam Kesempitan".

Dinasti dalam demokrasi dalam republik menyusul kerajaan, seolah menjadi kebutuhan dan kemutlakan, sehingga sahabat saya Ade Armando dan Denny Siregar,  harus berjuang memberi "rasionalisasi" mengapa, Pak Harto dengan Tommy berbeda dengan Jokowi dan Gibran. Sementara yang lain berbisik, "Dinasti yah, dinasti saja. Amerika, ya, Indonesia, kalo ada juga di Mars, dynasty is dynasty.

Mempertahankan hak-hak warga di desa yang sudah dibeli kekuasaan, uang cukong, mungkin lebih mulia dan realistis daripada bermimpi makan siang gratis pasca perhelatan rakyat di setiap tingkatannya.... hahaha absurditas dunia yang aromanya tercium hingga meja-meja kekuasaan spiritual atau memang diaduk bersama. 

Apalagi. Tanpa guyon kita mau lelang tanah (-air) lebih murah, setelah melelang "anak-cucu benur", ya benur berorusiangtua Lobster, sohibnya 'teh'  Susi Pudjiastuti . Cetak biru negeri maritim terbesar dunia. Impian dedengkot bajak-laut. Cetak biru, putih, merah. Lampu kuning arah ekonomi kerakyatan impian rakyat, tergilas demam growth target.

Selamat mengelus jagoan Anda. Maaf, memang bursa Pilpres 2024. Tapi itu konstitusional, saya ikut menjaga. Tapi, saya ikut mengawal,   bukan lagi sebagai relawan kelak. Happy jadi relawan. 

Happy saja lagi untuk lomba elus jago berikut. Bedanya, kita harus deal dengan jagoan 2024.Dimulai dengan "pilkada rasa pilpres" hingga pilkades rasa pilkada". Begitulah kekuasaan. Lord Acton mungkin berbisik lain kepada KH Abdurahman Wahid, ya Gus Dur": Kekuasaan  enak koq, Gus".

Monggo siapa sudah mau dielus lagi untuk Pilpres 2024? Saya juga mau latah mengelus dan mengulas jago saya. Maharnya, bayarlah dengan keteladanan dan sukacita rahakyat. Berkompetisi kebaikan, semboyan bersama (dengan Wakil rakyat): "Hidup untuk pilpres, pilpres untuk hidup." ****)

*) Penulis, pengajar Filsafat Negara pada President University, Jababeka, Cikarang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun