Mohon tunggu...
BERTA AZIZAH
BERTA AZIZAH Mohon Tunggu... Guru - Bismillah..

A mom who trying to learn in writing

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tradisi Tiban di Tulungagung

1 Desember 2021   17:05 Diperbarui: 1 Desember 2021   17:16 1595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Salah satu tradisi warisan leluhur yang ada di Tulungagung adalah tradisi tiban. Tulisan ini mengangkat tema Tradisi Tiban dengan tujuan untuk mengenalkan Tradisi Tiban ke masyarakat luas, tidak hanya di daerah Tulungagung dan sekitarnya saja namun juga untuk mengenalkan Tradisi Tiban ke tingkat nasional bahkan sampai ke dunia internasional. Serta diharapkan para generasi muda untuk lebih mengenal, mencintai, dan melestarikan salah satu warisan budaya leluhur ini yaitu Tardisi Tiban.

 Tradisi tiban berasal dari Desa Wajak, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung. Desa Wajak sendiri terdiri dari dua wilayah, yaitu Desa Wajak Lor dan Desa Wajak Kidul. Dahulu kala, desa ini adalah satu kesatuan. Namun akhirnya dipecah menjadi dua desa yaitu Desa Wajak Lor (di dalam Bahasa Indonesia berarti Desa Wajak Utara) dan Desa Wajak Kidul (di dalam Bahasa Indonesia berarti Desa Wajak Selatan). 

Salah satu tradisi seni leluhur yang dijaga dan dilestarikan sampai sekarang di Tulungagung yaitu tradisi Tiban. Tiban berasal dari kata “tiba” dalam Bahasa Jawa yang artinya jatuh. Tradisi Tiban atau ada juga yang menyebutnya sebagai tari Tiban. Tujuan diadakannya Tiban adalah untuk meminta hujan kepada Sang Pencipta, menyimpan makna tersirat sebagai upaya untuk melestarikan alam karena hujan hewan, dan tumbuhan.

 Salah satu sesepuh atau tokoh Tradisi Tiban yaitu Bapak Muhadi Kasbun Irokarso. Beliau tinggal di Desa Wajak Lor. Menurut penuturan beliau, Tradisi Tiban ada sejak tahun 1944. Bermula dari adanya perang antara Desa Wajak dengan kerajaan Mataram. 

Di kala itu, tokoh Desa Wajak yang bernama Tumenggung Surontani mengadakan perlawanan kepada Panembahan Senopati dari Kerajaan Mataram. 

Sebelum mengadakan perlawanan tersebut, Tumenggung Surontani memilih orang-orang tangguh dan sakti untuk dijadikan pasukan dalam medan pertempuran yaitu dengan cara mengadu kekuatan menggunakan cambuk. 

Cambuk yang digunakan terbuat dari lidi pohon aren yang dipilin (“suh”) menjadi satu, yang diberi nama ujung. Cambuk ini memiliki makna tersendiri yaitu “suh” yang artinya bersatu dan “ujung” yang artinya tombak untuk mengadakan perang atau perlawanan kepada Kerajaan Mataram. Semua orang berlomba-lomba untuk menjadi yang terpilih dan paling kuat agar bisa mendampingi Tumenggung Surontani di medan tempur. 

Adu kekuatan tersebut ternyata tidak hanya dimaksudkan untuk memilih orang-orang terkuat dan sakti saja. Namun didalam adu kekuatan tersebut juga digunakan Tumenggung Surontani sebagai sarana untuk mengumpulkan warga dan mengajak berdoa bersama, memohon kepada Sang Pencipta untuk diturunkannya hujan. Karena saat itu adalah musim kemarau yang panjang, yang menyebabkan kekeringan dimana-mana dan hasil panen yang menurun drastis.

Sebagai pengikat kerukunan warga Desa Wajak, Tumenggung Surontani meminta untuk disediakan salah satu jajanan tradisional yang khas yaitu jenang sewu atau lebih dikenal dengan sebutan dawet. Yang sampai sekarang akhirnya menjadi jajanan khas saat diadakannya Tradisi Tiban tersebut.  Warga dengan rukun menikmati hidangan dawet tersebut bersama-sama.

 Pelaksanaan Tiban terdiri dari dua orang yang saling mencambuk menggunakan ujung. Aturan permainannya adalah setiap orang mendapatkan giliran tiga kali mencambuk kepada lawan secara bergantian. 

Setelah tiga kali cambukan maka akan digantikan oleh pemain yang lain, begitu seterusnya sampai seluruh peserta habis. Luka bekas cambukan akan segera diobati oleh tokoh atau sesepuh sehingga tidak memakan waktu lama, luka tersebut akan pulih kembali (Budiman, 2013). 

Pelaksanaan Tiban juga diiringi oleh musik penyertanya, yang mempunyai nada tersendiri sebagai ciri khas dari Tiban. Alat musik yang digunakan ada lima yaitu kendang, kenong, gong, gambang, dan kentongan. 

Suara merdu musik serta sorak sorai penonton membuat para pemain tiban semakin semangat dan unjuk kekuatan untuk memenangkan perlombaan.

 Luka bekas terkena cambuk seolah tidak mereka rasakan karena letupan semangat yang tinggi dalam diri pemain. Alunan musik pengiring seolah menjadi daya tarik tersendiri bagi para penonton untuk datang beramai-ramai menyaksikan tiban. Ritual acara ini mempunyai waktu khusus dalam pelaksanaannya, yaitu harus dilaksanakan pada siang hari.

Seiring perkembangan zaman, Tradisi Tiban dikembangkan dalam bentuk tarian yang dikenal dengan nama Tari Tiban. Untuk waktu pelaksanaannya, dalam Tari Tiban lebih fleksibel. Jadi tidak harus di siang hari seperti dahulu, melainkan bisa dilaksanakan baik pagi, siang, sore, atau malam hari. 

Alat atau atribut yang digunakan masih sama dengan menggunakan ujung sebagai alat utama dalam Tari Tiban. Namun bedanya disini terdapat penambahan personil dalam Tari Tiban, yang semula hanya terdapat dua orang dalam tradisi Tiban sekarang selain dua orang inti penari Tiban juga ada beberapa orang penari pendukung yang ikut dalam Tari Tiban tersebut. 

Untuk musiknya juga mengalami perubahan, yang semula hanya menggunakan lima jenis alat musik,  dalam Tari Tiban diperbolehkan untuk menambah alat musik sebagai pengiring tari. 

Namun, dengan beberapa perubahan yang ada tidak mengurangi kesakrakalan dari Tradisi Tiban itu sendiri. Dan ada yang menarik dari Tari Tiban itu sendiri, yaitu mengangkat dari nilai kesakralan Tradisi Tiban yang dimaksudkan sebagai salah satu usaha permohonan turunnya hujan kepada Sang Pencipta, kenyataannya yang sering terjadi setelah pertunjukan Tari Tiban adalah peristiwa turunnya hujan. Hal tersebut dikemukakan oleh Isti Neti Rahayu, seorang praktisi seni tari di Tulungagung.

Pesan moral yang terkandung dalam Tradisi Tiban ini yaitu perilaku apapun yang terjadi pada diri seseorang dapat menimbulkan bekas pada jiwa yang dilukiskan dengan bekas cambuk tiban atau ujung, dari perilaku-perilaku itulah seseorang dapat menjadi pribadi yang lebih baik lagi di masa depan.

Sebagai masyarakat Indonesia, kita harus bangga akan berbagai budaya yang ada di negara kita. Tidak sedikit budaya Indonesia yang sudah terkenal dan sudah diakui hingga ke mancanegara, bahkan banyak warga asing berdatangan ke Indonesia untuk menyaksikan berbagai tradisi dan keindah alam yang ada di setiap pulau Indonesia. 

Tugas kita sebagai penerus bangsa dan pewaris tradisi dari nenek moyang kita adalah melestarikan budaya-budaya Indonesia dan berupaya untuk tetap menjaga kesakralan di setiap tradisi-tradisi tersebut, agar tetap memiliki kekhasan yang tersendiri dan anak cucu kita kelak dapat ikut menikmati dan  melestarikan keanekaragaman budaya-budaya yang ada di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun