Mohon tunggu...
Berry Budiman
Berry Budiman Mohon Tunggu... lainnya -

Editor sastra, penulis, pengajar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bagus dan Laku (Tantangan Penulis)

28 Maret 2012   15:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:21 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kendaraan Ide

Bagiku, hiburan tak akan jauh-jauh dari kata, kalimat, dan paragraf; menulis. Selama ini aku selalu menulis di buku tulis, dengan menggores tinta di permukaannya. Tris-tres. Jadilah sebuah pohon pikiran. Kenapa kukatakan pohon? Sebab, ia hasil dari pertumbuhan yang kupupuk dan kusinari. Selain itu karena ia punya akar, batang, dahan, ranting, dan daun. Kemudian bersirat menjadi buah yang—sesuai kemauan saya—manis.

Sekarang zaman sudah modern. Bukan berarti buku tulis tak lagi menjadi primadona, semata karena ia telah dimadu oleh IT (komputer). Tetapi layaknya madu, walau usang dan kerat sudah kulitnya, posisinya sulit digantikan. Karena memiliki sesuatu yang tak pernah begitu bernilai dalam diri madunya: kenangan. Ya, kenangan yang campur aduk seperti ketoprak, sehingga menarik bagaikan tersemat benang merah antarhati. Ah, tak perlulah dijelaskan. Bahkan, tak pula cukup mampu dilukiskan.

Ide tidak bisa dibiarkan liar, ia harus ditangkap. Lalu diantarkan ke ’rumah karya’ dengan kendaraannya.

Perselingkuhan Ide

Menulis memang menyenangkan. Dengan menulis kita mengungkap perasaan hati yang ’abi-abu’ menjadi ’jelas benderang warna’. Bukankah lelah membiarkan ragu menggantung, kegelisahan mengintip, atau—jika ingin mengambil istilah populer saat ini—kegalauan memayungi pikiran. Sungguh berbahagia pemilik hati ketika tulisannya adalah hasil ’percintaannya’ dengan pikiran dan perasaan yang sebenar-benar jujur.

Saya sendiri tidak selalu bisa dikatakan mampu ’beranak’ secantik itu. Kadang-kadang saya mendapati tulisan-tulisan sayalah yang justru menciptakan saya (maksudnya?), ya, begitulah, saya menuliskan sesuatu yang seolah didiktekan oleh benih karya yang menyembul di ujung pena.

Justru disituilah letak seninya, Bang!

Hm, bolehlah jika berpendapat seperti itu, jika kita bertujuan hanya membuat tulisan saja, kasarnya: yang penting jadi, enak dibaca, bermakna keindahan, toh itu saja yang dicari pembaca (fiksi). Artinya kita—secara sadar, pun tak sadar—sudah menjadi penulis media yang menulis bukan berasal dari nurani, tetapi dari tuntutan alamiah pembaca. Pelacur media, dzig.

Ou, saya pikir bukan itu yang kita mau. Benarkah?

Begini sajalah. Saatnya memandirikan diri dari teori yang sudah ada. Anggaplah kita pecah menjadi dua jenis karya (tulis).


  1. Karya yang memuaskan kita karena patuh mewakili perasaan dan pikiran kita.
  2. Karya yang memuaskan kita dengan kecantikan body-nya semata.

Mau pilih yang mana? Pilih pasangan yang memahami atau yang memuaskan mata? (mulai menyimpangkan makna)

Ah, repot sekali, Bang! Pilih dua-duanya saja.

Nah, disitulah letak tantangannya. Karena mesti mengawinkan fisik dan isi. Sama seperti memadukan air dan minyak, diaduk-aduk sedemikian pun masih berpisah. (lalu gimana? gak jelas luh)

Misalnya, (kebenaran sejati)

Saya mau menulis tentang kegelisahan saya karena perempuan yang saya cintai tidak mencintai saya, padahal saya pun tak terlanjur cinta. Ia pun tak menyakiti saya karena tidak pula saya ’tembak’. Waktu bergulir-gulir. Kami jarang saling sapa.

Lalu sepanjang cerpen cerita kita hanya begitu saja. Anda membaca ulang tulisan Anda, kemudian merasa bahwa karya itu kurang ’menjual’. Sementara pembaca sudah menguap dikitik lelap.

Maka, karya pun beringsut. Ia menotok aliran pikiran kita, supaya lancar ia menuntunnya.

Jadilah begini. Saya mencintainya, ia mencintai sahabat saya, saya benci sahabat saya, saya datang kerumahnya, saya siapkan tali tambang, saya ajak ia menyusur tebing, disana—tanpa ia sadari—saya jerat lehernya sampai mati.

Sukses. Karya kita sudah jadi. Ah, cantik ya?

Tapi dalam hati kita menggerutu, Padahal maunya bukan begini. Hanya saja, jika yang Anda inginkan dari awal memang begitu, ya, tak apa. Artinya Anda telah sukses. Nah, kalau tidak. Jadinya menggerutu lagi.

Yang paling naas, jika kita sendiri tak begitu jelas tentang apa yang kita pikir-rasa. Alangkah rincahnya gurauan benih karya untuk mencucuk hidung kita supaya mengikuti alur jejak langkahnya. Memangnya kita kerbau? Sehingga lubang hidung harus dikait besi, lalu ditarik!

Maksud saya. Ketika menulis, Anda pun harus mengontrol imajinasi. Menulis bukan hanya perkara otak kanan, tetapi mesti dibatasi oleh otak kiri.

Sebuah Kesempurnaan

Namun, saya mafhum yakin bahwa penulis sebenarnya. Penulis besar. Penulis yang namanya masih dikenang hingga sekarang, pun karyanya. Adalah penulis yang berhasil merukunkan mereka untuk tidur seranjang. Berbagi belai dan kecup, setemaram malam.

Seperti Andrea Hirata. Ia berhasil memasukkan idealismenya tentang keindahan bahsa sastra, pengetahuan, pengalaman masa kecil yang indah di kampungnya, seorang guru yang begitu mulia di matanya.

Dan cerita yang menarik, terkadang terasa seperti terlalu sempurna (too good to be true), dan siapa sangka jika tokoh Lintang hanyalah fiktif karangan Andrea Hirata saja.

Ya, tak perlu pilih-satu lagi jika bisa menikahi dua-duanya, hehe :)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun