Mohon tunggu...
Bernard  Ndruru
Bernard Ndruru Mohon Tunggu... Dosen - Pantha Rhei kai Uden Menei

Pengagum Ideologi Pancasila

Selanjutnya

Tutup

Politik

Era Reformasi, Titik Awal Kegamangan Pancasila?

26 Juni 2020   12:22 Diperbarui: 26 Juni 2020   12:22 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bernard Ndruru, S.Fil., M.Psi. (Wakil Ketua DPD Taruna Merah Putih, Sumatera Utara)

Keberadaan Pancasila sebagai falsafah dan idiologi negara mendapat tantangan akan eksistensinya. Hadangan terhadapnya semakin terbuka, manakala dari awal para Founding Father bangsa kita tidak terpikirkan untuk membuat UU tentang Pancasila sebagai idiologi yang final. Ini memang misteri.


Hal ini semakin mengerucut dan semakin terbuka dengan geliat gerakan penolakan RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) yang sempat diusulkan oleh DPR. Penolakan ini muncul secara sistemik oleh kelompok tertentu, yang melihat perundangan HIP hanya akan mengobrak-abrik tatanan kebangsaan yang sudah ada. Ini, tidak hanya terjadi saat ini. Memang sejarahnya, dalam rapat (BPUPKI) pada 1 Juni 1945 gagasan Soekarno soal Trisila dan ekasila ditolak oleh peserta rapat khususnya dari golongan Islam dan akhirnya cukup Pancasila saja.


Beberapa alasan yang mencuat dibalik penolakan ini adalah keyakinan bahwa Pancasila sebagai asas hukum yang menjadi sumber UU dan tidak sama dengan UU, karena pada hakekatnya UU dibawah UUD 1945. Dan yang paling sentral adalah pengkristalan pancasila dalam bentuk Trisila (sosio-nasionalisme; sosio-demokrasi; ke-Tuhan-an yang berkebudayaan) dan Ekasila (Gotong Royong) dianggap sebagai bentuk pengkhianatan.


Menurut kelompok yang menolak HIP ini, potensi yang termuat dalam HIP, khususnya Pasal 7, menekankan soal humanisme dan materialisme (sekularisme) yang secara terbuka bertentangan dengan sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa. Benarkah demikian?


Ditilik dari sejarah awal pembentukan sistem kenegaraan kita, penggunaan istilah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) merupakan sebuah bentuk akomodasi kebangsaan berjiwa Bhineka Tunggal Ika. Keberagaman sosio-budaya yang ada jauh sebelum bangsa ini terbentuk, terintegrasi secara utuh dalam NKRI. Artinya, NKRI terbentuk tidak secara mutlak karena nuansa ke-Tuhan-an, walau tetap menjadi yang utama dan pertama.


Dari deskripsi diatas harusnya para penolak RUU HIP sadar bahwa kengototan dan dalih yang dikemukakan menjadi bias. Semua tahu, bahwa barisan penolak yang dikomandoi oleh beberapa partai oposisi, seperti PKS menyatakan penolakan atas konsideran RUU HIP yang tidak mencantumkan  TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI. Bagi PKS, pasal 7 itu dihapus saja. Karena sudah ada dalam Pembukaan UUD 45. PKS mencurigai RUU HIP ini sengaja di create untuk meloloskan idiologi PDIP, yang memang melaksanakan ajaran Soekarno.


Beberapa fraksi partai di DPR yang awalnya mengawal pengusulan RUU HIP ini, akhirnya mundur satu persatu. Kecuali PDI Perjuangan yang memang secara awal menunjukkan konsistensi akan semangat gotong-royong yang berdasar pada keberpihakan terhadap wong cilik (marhaenisme).

Era Reformasi dan 'Kegamangan' Pancasila


Multitafsir terhadap idiologi Pancasila mencul pada era reformasi yang menjunjung tinggi demokrasi, dengan mengakomodir semua bentuk ideologi secara 'kebablasan'. Pada saat ini, reformasi mengizinkan partai mencantum idiologi dan visi tidak berdasarkan pancasila, tetapi "sesuai" dengan Pancasila. Nah yang dimaksud "sesuai" itu seperti apa ? disinilah terjadi ketidakjelasan. Hal ini dimanfaatkan oleh kelompok Islam untuk berkembang memperjuangkan negara berdasarkan syariah islam. Lahirlah PKS, dan kemudian dari ormas muncul HTI, dan berbagai sayap partai punya program islamisasi. Dasar mereka tetap Pancasila, yaitu pembukaan UU 45 sesuai dengan piagam Jakarta, dimana mencantumkan kewajiban melaksanakan syariah islam bagi pemeluknya. Itu karena tidak ada UU yang menjadikan idiologi Pancasila sebagai rujukan final.


Maka tidak mengherankan bahwa ide RUU HIP membuat 'kelojotan' kaum kanan yang berusaha mengarahkan bentuk kenegaraan kita pada haluan 'khilafah'. Dalam buku Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Muh. Yamin (1962) menyebutkan bahwa: "Ajaran Pancasila adalah tersusun secara harmonis dalam suatu sistem filsafah." Jadi Pancasila itu hanya sebatas filsafah, bukan idiologi seperti komunisme, sosialisme, nasionalisme yang lengkap dengan blue print nya atau haluannya. Sebagai falsafah, Pancasila memberi ruang dari berbagai sudut padang orang berbeda beda.


Di era Pemerintahan Indonesia Maju, kegamangan dalam falsafah Pancasila dilihat sebagai sebuah ancaman serius akan NKRI. Pemerintah tidak mau NKRI berdiri diatas dasar 'pasir', yang suatu waktu mudah tersapu oleh banjir fanatisme yang berujung pada ekstrimisme. Antisipasi ini wajar dilakukan oleh Pemerintah Indonesia Maju, manakala menjamurnya ideologi yang menyesuaikan dengan Pancasila dan bukan Mendasarkan dari Pancasila.


Buntut dari penolakan HIP ini menjadi semakin 'brutal' manakala pada 24/6/2020 yang lalu, demontrasi  dan aksi provokasi masa yang menamakan diri sebagai Aliansi Nasional Anti Komunis (ANAK), yang juga dihadiri oleh Persatuan Alumni 212 dan FPI sengaja memancing emosi masyarakat, khususnya kaum marhaenisme dengan melakukan pembakaran bendera PDI Perjuangan dan bendera PKI berlambang palu-arit yang sudah lama bubar.


Democrazy yang dipertontonkan oleh kelompok 'ANAK' ini, dilihat sebagai bagian dari pembangkangan. Hasto Kristiyanto, Sekjend PDI Perjuangan dalam rilis pernyataan resminya di media mengungkapkan 5 poin yang menjadi respon akan peristiwa ini, yakni menyesalkan aksi provokasi 'anak'; mendorong untuk fokus pada penanganan pandemik C-19; Menempuh jalur hukum; RUU HIP selalu mengedepankan dialog dari pada provokasi, dan terakhir; mendorong sikap menahan diri agar terhindar dari konflik persaudaraan seperti terjadi di wilayah Timur Tengah (Suriah, Yaman, Libya dll).

Tanpa HIP, mungkinkah NKRI bertahan?


Melihat kondisi yang sedang terjadi saat ini, saya tidak berpretensi menyalahkan era reformasi yang mau tidak mau menjadi bagian dari sejarah bangsa kita. Bapak Bangsa, Soekarno dengan semboyan 'Jas Merah' mendengungkan hal itu. Dan justru itulah yang saat ini membuat generasi muda mencoba menggali dan memahami dasar negara kecintaan kita ini secara utuh.


Menjadi pertanyaan, apakah tanpa HIP NKRI tetap bertahan, atau dengan HIP NKRI  akan dijamin langgeng? Tentu setiap orang memiliki hak untuk memiliki persepsi yang berbeda, tergantung niat dan motivasinya akan perwujudan nilai-nilai luhur kebangsaan. Yang jelas, kalau tidak ada UU soal Haluan Idiologi, entah apa yang akan terjadi 10 tahun lagi. Sekarang aja keadaan semakin berisik dan polarisasi di masyarakat semakin luas. Mestikah kita tetap diam atau bergerak?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun