Buntut dari penolakan HIP ini menjadi semakin 'brutal' manakala pada 24/6/2020 yang lalu, demontrasi  dan aksi provokasi masa yang menamakan diri sebagai Aliansi Nasional Anti Komunis (ANAK), yang juga dihadiri oleh Persatuan Alumni 212 dan FPI sengaja memancing emosi masyarakat, khususnya kaum marhaenisme dengan melakukan pembakaran bendera PDI Perjuangan dan bendera PKI berlambang palu-arit yang sudah lama bubar.
Democrazy yang dipertontonkan oleh kelompok 'ANAK' ini, dilihat sebagai bagian dari pembangkangan. Hasto Kristiyanto, Sekjend PDI Perjuangan dalam rilis pernyataan resminya di media mengungkapkan 5 poin yang menjadi respon akan peristiwa ini, yakni menyesalkan aksi provokasi 'anak'; mendorong untuk fokus pada penanganan pandemik C-19; Menempuh jalur hukum; RUU HIP selalu mengedepankan dialog dari pada provokasi, dan terakhir; mendorong sikap menahan diri agar terhindar dari konflik persaudaraan seperti terjadi di wilayah Timur Tengah (Suriah, Yaman, Libya dll).
Tanpa HIP, mungkinkah NKRI bertahan?
Melihat kondisi yang sedang terjadi saat ini, saya tidak berpretensi menyalahkan era reformasi yang mau tidak mau menjadi bagian dari sejarah bangsa kita. Bapak Bangsa, Soekarno dengan semboyan 'Jas Merah' mendengungkan hal itu. Dan justru itulah yang saat ini membuat generasi muda mencoba menggali dan memahami dasar negara kecintaan kita ini secara utuh.
Menjadi pertanyaan, apakah tanpa HIP NKRI tetap bertahan, atau dengan HIP NKRI Â akan dijamin langgeng? Tentu setiap orang memiliki hak untuk memiliki persepsi yang berbeda, tergantung niat dan motivasinya akan perwujudan nilai-nilai luhur kebangsaan. Yang jelas, kalau tidak ada UU soal Haluan Idiologi, entah apa yang akan terjadi 10 tahun lagi. Sekarang aja keadaan semakin berisik dan polarisasi di masyarakat semakin luas. Mestikah kita tetap diam atau bergerak?