Mohon tunggu...
Bernard  Ndruru
Bernard Ndruru Mohon Tunggu... Dosen - Pantha Rhei kai Uden Menei

Pengagum Ideologi Pancasila

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Award Daerah Tertinggal", Catatan Hati Putra Nias

10 Mei 2020   16:44 Diperbarui: 10 Mei 2020   16:41 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Bernard Ndruru


Bagai petir di siang bolong, menggelegar, mendengar penetapan 4 Kabupaten di Kepulauan Nias didaulat menjadi daerah tertinggal, bersama 58 daerah lainnya di Indonesia. Mirisnya, dari 33 Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, seluruh "Award" ini diborong semua oleh Kepulauan Nias, kecuali Kota Madya Gunungsitoli.

Berdasarkan Perpres No. 63 tahun 2020 yang diteken oleh Presiden RI Joko Widodo, ada 62 daerah dalam kondisi kurang berkembang, untuk tidak mengatakan tidak berkembang dan perlu ditimang di tahun 2020-2024. Dalam pasal 2 Pepres yang dimaksud, terdapat kriteria daerah tertinggal yang dilihat dari komponen Perekonomian Masyarakat, SDM, Sarana dan Prasarana, Kemampuan Keuangan Daerah, Aksesibilitas dan Karakteristik daerah yang secara jelas diukur dari indikator dan sub indikator yang kemudian dijelaskan dalam pasal berikutnya.

Sejak bergulirnya pemekaran Kabupaten Nias pada tahun 2003 (Nias Selatan) dan tahun 2008 (Nias Utara dan Nias Barat), predikat daerah tertinggal masih melekat dan tidak mau dilepas, seolah menjadi prestasi yang dibanggakan. Koq bisa yah? Whats wrong? Padahal para tokoh pejuang pemekaran pada awalnya memiliki motivasi yang sangat luhur yakni soal akselerasi pembangunan di berbagai bidang. Jika dianalogikan dengan seorang anak, umur 12 atau 17 tahun diandaikan sudah mulai dewasa dan hampir siap beranjak untuk membangun keluarga baru (daerah baru). Mungkinkah kita masih memomong mimpi pembentukan sebuah Provinsi Baru dengan realitas seperti ini?

Tahun 2015, sebagai anak kampung dengan latar belakang keluarga Elit (ekonomi sulit), saya mulai menginjakkan kaki di Kota Medan dengan harapan mengadu nasib agar mendapatkan hidup yang lebih baik. Dalam pertemuan dengan teman-teman baru dari lintas suku, daerah dan tingkat pendidikan yang beragam, terkadang muncul beberapa pertanyaan tentang asal saya. Dengan bangga saya menjawab, saya dari Nias. Saat saya menjawab demikian, terkadang respon yang muncul adalah seulas senyum yang kadang sulit saya pahami. 

Bahkan tidak jarang sambil menyahut, "Nias masih kampung-kampung yah... kemarin ada keluarga saya meninggal disana karena kena Malaria". Tidak hanya itu saja, berbagai streotip lain yang terkadang membuat saya kurang percaya diri dan bahkan hampir berkelahi dengan seorang teman yang baru saya kenal karena mengatakan "pantas saja gayamu agak kaku dan terkesan kampungan gitu", untung saja dia menyahut lagi dengan memuji saya, tapi "kamu ganteng banget yah, seperti orang Jepang (semoga bukan Sugiono dalam benaknya)". Inilah yang kemudian meredakan amarah saya, walau dengan air muka tetap masam hehehe.

Selama 4 tahun di Medan, hal ini kerap saya alami dan juga teman-teman generasi muda dari Kepulauan Nias mengalami hal yang sama. Bahkan tidak jarang karena keseringan mengalami intimidasi karakter sejenis, kerap terjadi polarisasi dan blok-blok yang tidak jarang menimbulkan ketegangan dan perkelahian.

Memang harus saya akui, saya berasal dari sebuah kampung di pedalaman di Kabupaten Nias Selatan, tepatnya di Borowosi, Kecamatan Ulunoyo. Sampai saat ini, akses untuk mencapai daerah kampung saya, harus menempuh jalan sekitar 12 km jalan kaki dari ujung aspal dengan waktu tempuh sekitar 1 jam dan bisa lebih bagi pendatang baru.

Di kampung saya, sampai saat ini tidak ada listrik (PLN), hanya genset yang hidup sekali seminggu (tentu tergantung dengan kemampuan membeli bensin premium). Tahun lalu 2019 sudah dicanangkan untuk membagi kepada setiap keluarga Listrik Tenaga Surya dari Pemerintah, tetapi alhamdulilah sampai sekarang rencana itu belum terjadi, padahal beberapa keluarga sudah mencetak tempat tiang pemasangan mesin LTS hehehe.

Baru di tahun 2020 ini, tepatnya bulan Januari masyarakat sudah mulai bergerak membersihkan badan jalan untuk pengaspalan yang bersumber dari Dana Desa (DD) oleh perhatian pemerintah pusat.

Hm... koq jadi curhat bah... back to the topic. Terus apa hubungannya dengan mental dan karakter generasi muda Nias dengan predikat daerah tertinggal? Sejak tahun 2016 setelah memiliki teman-teman di Medan dari berbagai golongan. Secara pribadi, mata saya mulai terbuka. Berbekal niat sederhana untuk berkontribusi bagi daerah tercinta, bersama dengan beberapa teman pemuda dari Nias kami mulai aktif dalam keikutsertaan di beberapa organisasi sosial-politik. 

Kami memulai dengan mendirikan Komunitas Nias Diaspora (KND) dengan intensi berbagi semangat dan pengetahuan bagaimana agar bisa "marsipature huta nabe". tetapi karena keterbatasan dalam banyak hal, komunitas inipun akhirnya seperti tanaman di atas gumpalan tanah yang berada di atas batu, hidup segan mati tak mau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun