Mohon tunggu...
Bernard  Ndruru
Bernard Ndruru Mohon Tunggu... Dosen - Pantha Rhei kai Uden Menei

Pengagum Ideologi Pancasila

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Lockdown atau Chaos?

31 Maret 2020   17:45 Diperbarui: 31 Maret 2020   18:22 1192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wacana lockdown karena pandemi global bernama C-19 yang dihembuskan oleh beberapa kelompok dan orang tertentu akhir-akhir ini, memicu prokontra di kalangan masyarakat. 

Teriak dukungan mengalir dengan alasan agar wabah ini tidak mengkontaminasikan penduduk yang jumlahnya sekitar 270 an juta di Indonesia. Disisi lain, jeritan serak menggema karena dengan lockdown akan membatasi akses untuk bertahan hidup bagi penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan yang jumlahnya sekitar 9,22% (sekitar 25 juta Orang/BPS 2020).

Data kemiskinan di atas tentu berdasarkan analisis data oleh pihak terkait yang bertugas melakukan perhitungan atas hal itu. Tetapi secara de facto, kita semua bisa membayangkan sendiri akan kebenaran hal tersebut. 

Menjadi pertanyaan, mengapa hal ini memicu dagelan yang akhirnya membuat pemerintah seolah-olah bimbang mengambil keputusan yang tepat dalam situasi 'kritis' seperti ini.

Saya tidak bermaksud membela pemerintah yang terkesan gamang atau suara yang mendengungkan total lockdown. Karena variabel-variabel yang dimunculkan, mungkin dalam salah satu disiplin ilmu ada benarnya, tetapi dalam konteks yang lain mungkin juga akan lebih banyak mudaratnya. 

Hal inilah yang membuat pemerintah sangat hati-hati (bukan tidak peduli) dalam mengambil tindakan. Saya hanya berpikir bahwa setiap keputusan yang diambil, apapun itu, tetap memiliki ruang untuk sebuah perdebatan "baik-buruk' dan 'benar-salah', tergantung kacamata mana yang digunakan.

Intinya, saat ini pemerintah sambil berusaha memilih sebuah keputusan berdasarkan prinsip minus malum. Artinya, keputusan yang akan diambil mungkin tidak akan sepenuhnya menyenangkan semua pihak, tetapi setidaknya memiliki porsi +1 keuntungannya sesuai dengan pola demokrasi yang dianut oleh bangsa kita.

Harus disadari bahwa C-19 merupakan penyakit yang secara cepat bisa menyebar tetapi juga cepat hilang dibanding penyakit lain seperti DBD dsb. C-19 hanya memiliki masa inkubasi 14 sejak diindikasikan sampai penyembuhannya (tentu bila penanganannya sesuai dengan SOP yang dianjurkan oleh pihak Medis).

Belajar dari negara-negara di dunia yang juga mengalami persoalan yang sama, tidak ada negara yang sepenuhnya bisa menerapkan lockdown. Contohnya India, Italia dan beberapa negara Eropa, belum sanggup menanggulangi ini. 

Bahkan sebaliknya memunculkan persoalan lain yang lebih masif dan mengancam keamanan nasional yang berujung pada chaos (neraka). Satu-satunya negara yang mampu menerapkan ini adalah hanya China. Mengapa hanya China?

Padahal secara geografis China sangatlah luas dengan penduduk hampir mencapai 1,4 Milyar. Artinya jumlah penduduknya hampir 6 kali lipat penduduk Indonesia. Hm...tetapi China bisa mengatasi semua itu dengan baik dibanding dengan dengan negara-negara lain yang memiliki status 'Negara Maju'. Baiklah, kita boleh berdalih, kejadian C-19 kan hanya masif terjadi di sebuah kota bernama Wuhan. Ok, tidak masalah... I know lah...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun