Langit yang gelap menunjukkan waktu yang sudah saatnya untuk beristirahat. Hanya beberapa orang saja yang masih bertahan. Udara semakin dingin. Angin berhembus pelan seakan berbisik kepada setiap orang yang ditemuinya. Aku berusaha untuk tidak terpengaruh akan rayuannya. Ponsel yang aku genggam dengan kuat dan tak akan aku lepaskan ini, selalu hadir dan menemani hidupku.
Terus-menerus aku memainkannya, tetapi tak ada kerutan sedikit pun yang ditunjukan ke aku. Begitu juga dengan waktu. Tak pernah menunjukan wajah lelah, walaupun seharian bekerja.
Waktu adalah sosok teman hidup yang paling setia dan tidak pernah mengeluh. Memeras keringat. Menjadi penanda bagi setiap insan. Aku seharusnya malu dengan diri sendiri. Aku belum bisa menghargai waktu. Aku belum bisa sejalan dengan waktu. Walau waktu terus menuntunku hingga akhir hidupnya.
"Mas..."
Seorang teman sekaligus sahabat memanggil dengan tatapan yang begitu manja. Aku menoleh, tapi tidak memberikan jawaban sedikit pun. Aku hanya diam. Setelahnya, aku kembali dengan semua lamunan yang hancur. Aku kembali menatap langit yang berwarna gelap itu.
"Mas... ayo dong, ini sudah malam, nanti kamu sakit!"
"Tinggalkan saja aku sendiri..."
"Kenapa... mas? Ada apa sebenarnya..."
"Aku hanya ingin sendiri..."
Dia pergi. Aku kembali duduk sendirian sambil menatap langit tanpa memperdulikan waktu. Aku egois. Ya, aku egois terhadap waktu. Tidak pernah memperdulikannya dan hanya melihat langit.
Sifat egois yang seperti ini lah yang akan menghancurkan semua angan-angan. Aku harus bisa merubahnya, tapi aku tidak bisa. Tidak bisa untuk memulainya. Aku takut. Cemas.