Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Perjuangan Seorang Kuli Angkut Pasar

11 Juni 2016   22:42 Diperbarui: 11 Juni 2016   23:16 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hidup merupakan sebuah tantangan bagi siapa yang menjalaninya. Tak kenal lelah, putus asa, dan terus maju. Wajahnya selalu tampak gembira, tak pernah terlihat sedikitpun perasaan sedih. Senyum ramah dan wajah riang selalu di perlihatkan kepada semua orang. Hari-harinya dia jalani dengan penuh semangat dan rasa syukur. Terik matahari yang menyengat kulit, bau busuk yang menusuk saluran pernapasan tak menjadi halangan untuk meneruskan pekerjaannya.

Inilah sosok laki-laki berusia 45 tahun yang bernama Pak Dedi, hari-harinya dia bekerja sebagai kuli angkut di pasar Serpong, Tangerang Selatan yang lokasinya bersebelahan dengan stasiun serpong. Pak Dedi tinggal di daerah sekitar pasar di sebuah rumah yang sangat sederhana bersama seorang istri dan 4 orang anak, dan ia menggeluti pekerjaan sebagai kuli angkut pasar sudah 30 tahun. Beliau memulai pekerjaanya sebagai kuli angkut pasar dari umur 15 tahun, tepatnya saat ia lulus dari SMP. Beliau putus sekolah karena kedua orang tuanya tidaklah mampu untuk meneruskan pendidikannya.

Dengan usia yang sudah tidak muda lagi, tenaga yang sudah tidak seperti dulu, dan tubuh yang rentan, namun pak Dedi tetap dengan semangat menjalani pekerjaannya sebagai kuli angkut pasar. “Setiap hari berangkat dari rumah menuju pasar dengan berjalan kaki. Bekerja mulai dari pukul 08.00-17.00, tanpa hari libur kecuali ada keperluan mendadak yang sangat penting sekali. Dengan rata-rata penghasilan yang didapat Rp. 30.000 – Rp. 50.000 dalam satu hari. Setiap minggu para kuli angkut harus membayar Rp. 20.000 ke atasan karna sudah menjadi koordinasi di pasar” ujarnya.

Anak pertama pak Dedi bekerja jaga toko boneka di mall dan gaji perbulannya Rp.1.500.000, total pengeluaran tiap bulan keluarga pak Dedi Rp.1.340.000, biaya tersebut di penuhi oleh gaji anak pertamanya. Sedangkan gaji pak Dedi hanya memenuhi untuk belanja harian seperti, lauk-pauk dan sayur-mayur serta uang saku anak-anaknya yang masih sekolah. Keinginan yang keras demi melihat anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang layak dan mendapat ilmu yang akan menunjang pekerjaan adalah harapan besar untuk mewujudkan cita-cita yang mulia tersebut. Pak Dedi selalu menyisihkan sebagian uang upahnya untuk dipergunakan saat anak keduanya memasuki SMA nanti. Anak ketiga dan keempat pak Dedi yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar mendapatkan bantuan Kartu Pintar.

Semua orang bebas bermimpi sesuai keinginannya. Akan tetapi, suatu mimpi tentunya akan terwujud dengan adanya usaha yang serius untuk menggapainya. Hidup tanda mimpi bagaikan jalan tanpa tujuan. Seperti halnya anak pertama pak Dedi yang bermimpi serta tekad masuk Universitas dan lulus S1. Tiap bulannya pun selalu menabung Rp.100.000 di bank. Mendengar ini saya merasa teringatkan untuk selalu bersyukur dengan apa yang saya dapat. Saya bisa kuliah tanpa harus bersusah payah mengumpulkan uang, tetapi diluar sana banyak orang yang bersusah payah untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi dan layak .

Pak Dedi benar-benar seseorang yang rendah hati, tulus dan ikhlas setiap apa yang beliau dapat dalam hidupnya. Segala cerita pak Dedi juga membuat mata saya berkaca-kaca dalam hati saya berkata “sesulit ini mendapatkan uang yang sebenarnya hasil dan pekerjaan tidak sebanding, sekeras ini hidup yang mengajarkan kita bersyukur, sehebat ini pengorbanan orang tua untuk anaknya”.  (BAD)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun