Siswa tanpa PR dari sekolah, apa jadinya?Â
Bersyukur zaman saya sekolah dulu guru-gurunya tidak gila PR. Tidak setiap hari ada PR, dan tidak setiap mata pelajaran ada PR.
Zaman saya sekolah dulu, anak-anak punya banyak waktu untuk bermain di luar rumah, terlebih zaman itu belum ada gadget.Â
Sebagai orangtua yang kini juga memiliki anak usia sekolah, saya tidak anti PR. Namun demikian, saya juga kesal kalau mendengar ada guru yang memberi PR seabrek-abrek tanpa menimbang kapasitas anak.Â
Guru yang telah menempuh pendidikan guru sebelumnya, tentu telah memiliki pengetahuan yang cukup untuk menakar kemampuan siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan.Â
Tugas rumah yang ideal adalah tugas yang secukupnya, sesuai kemanpuan siswa. Jangan sampai membuat siswa kewalahan, stres, kehilangan waktu bermain dan bersosialisai, dan bahkan dapat menicu orangtua ikutan stress.
Kadangkala orangtua juga bisa ikutan pusing bahkan emosi dibuat oleh PR anak. Bagaimana tidak, orangtua sudah capek bekerja, lelah dengan tugas-tugas rumah tangga, kemudian harus berjam-jam mendampingi anak mengerjakan PR.
Ini terjadi umumnya pada anak-anak usia SD. Kalau anak-anak SMP dan SMA umumnya mereka sudah lebih mandiri dan mampu mengerjakan PR sendiri.Â
Bersyukur di sekolah anak saya, guru-gurunya juga tidak mabuk PR, sehingga anak saya masih memiliki waktu yang cukup untuk main bola, main bulu tangkis, dan bersosialisasi dengan teman-temannya.
PR memang jangan sampai ditiadakan, karena bagaimanapun PR memberi nilai manfaat bagi siswa.Â