Mohon tunggu...
Martha Weda
Martha Weda Mohon Tunggu... Freelancer - Mamanya si Ganteng

Nomine BEST In OPINION Kompasiana Awards 2022, 2023. Salah satu narasumber dalam "Kata Netizen" KompasTV, Juni 2021

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Toxic Relationship antara Orangtua dan Anak, Bagaimana Menyikapinya?

24 November 2020   19:20 Diperbarui: 25 November 2020   19:43 1117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: Pexels.com/Cottonbro)

Toxic relationship sepertinya sudah menjadi istilah yang tidak asing lagi di telinga kita. Toxic relationship atau pola hubngan yang merusak antara dua orang atau lebih seringkali dikaitkan dengan hubungan percintaan antara sepasang manusia. Padahal, toxic relationship mencakup hal yang lebih luas. Misalnya terjadi pada hubungan pertemanan, kakak beradik, maupun orangtua dan anak.

Lalu bagaimana bila toxic relationship ini terjadi pada hubungan orangtua dan anak?

Di mana misalnya anak yang telah dewasa dan harusnya bisa mandiri mengurus dan bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri atau kehidupan keluarganya bagi yang telah menikah, namun masih merecoki orangtua dengan terus menempel dan bergantung pada ayah bundanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 

Bila kejadiannya hanya sesekali dan terdesak karena kondisi-kondisi tertentu, seperti pandemi kali ini di mana banyak karyawan di-PHK, tentu bisa dimaklumi bila anak sementara waktu meminta bantuan orangtua. Dengan catatan orangtua memiliki kemampuan lebih untuk membantu.

Tetapi akan menjadi aneh bila anak yang sudah dewasa, terus bergantung pada orangtuanya selama bertahun-tahun, padahal si anak masih kuat dan gagah untuk bekerja.

Bukan karena si anak tidak bisa bekerja, atau tidak memiliki capability yang cukup untuk bekerja, tetapi sepertinya karena sudah keenakan "disuapi" sehingga akhirnya tidak punya keinginan lagi untuk bekerja ataupun berusaha. Si anak telanjur nyaman dengan keadaannya.

Mungkin si anak berpikir, meski tanpa pekerjaan sekalipun, toh masih bisa hidup, masih bisa pegang uang. 

Seorang wanita yang saya kenal, sebut saja namanya Bunga, karena memang wajahnya secantik bunga. Oleh karena sesuatu hal, Bunga harus menjadi seorang single parent.

Sejak mengandung hingga anaknya berusia 11 tahun kini, Bunga tidak lagi bekerja. Seluruh kebutuhan Bunga dan anaknya, mulai dari biaya persalinan, susu anak, biaya hidup sehari-hari hingga biaya anak sekolahnya kini, dipenuhi orangtua juga saudara-saudara kandungnya. 

Sempat beberapa kali diberi modal usaha oleh orangtuanya, namun tidak berapa lama modal menguap, usaha yang diimpikan pun tidak jelas kisah akhirnya. Sepertinya salah kelola dan hanya ikut-ikutan.

Bunga sebenarnya memiliki pengalaman kerja yang cukup lama di bagian marketing sebelum memiliki anak lalu akhirnya menjadi single parent. Bunga pun memiliki ijazah dari sebuah perguruan tinggi di Kota Bandung. Tidak ada hal yang memungkinkannya untuk tidak bekerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun