Mohon tunggu...
Martha Weda
Martha Weda Mohon Tunggu... Freelancer - Mamanya si Ganteng

Nomine BEST In OPINION Kompasiana Awards 2022, 2023. Salah satu narasumber dalam "Kata Netizen" KompasTV, Juni 2021

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Memangnya Kenapa Kalau Belum Menikah, Kepo Banget?

28 September 2020   15:52 Diperbarui: 2 Oktober 2020   21:24 1471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber : Pexels.com/Jopwell)

Hanya rasanya kok seperti tidak ada pembahasan yang lebih menarik ya. Sedangkan banyak hal lain yang bisa ditanyakan. Seputar karir misalnya. Kiat-kiat menjadi pekerja seni yang sukses. Kiat-kiat mempertahankan usaha di tengah pandemi. Atau kiat-kiat hidup rukun bersama orangtua dan saudara. Banyak hal yang lebih bermanfaat dan menghibur daripada sekedar mengurusi apa pasal orang lain belum atau tidak menikah.

Atau mungkin para kreator acara di televisi sangat paham akan minat pemirsa televisi di Tanah Air, yang mungkin sebagian besar gemar menyelidiki "isi rumah" orang lain. Entahlah...

Budaya kepo (ingin tahu urusan orang lain) di tengah masyarakat kita memang mulai over dosis menurut saya.

Si A belum menikah, dicecar dengan segudang pertanyaan. Si B belum punya anak, dibicarakan dalam acara kumpul keluarga. Si C cuma punya satu anak, diberi berbagai wejangan seolah-olah tidak baik punya anak terlalu sedikit. Suami si D selalu di rumah, diomongin se-RT, seolah-olah nggak kerja, padahal profesinya YouTuber gaming. Dan masih banyak lagi hal lain yang memantik kekepoan seseorang.

Sikap penasaran atau terlalu kepo ini juga berbatas tipis dengan sikap menghakimi. Setelah mengorek-ngorek kehidupan seseorang biasanya akan dilanjutkan dengan kalimat-kalimat penghakiman yang bisa jadi hanya menyudutkan orang tersebut layaknya objek penderita.

Hal ini jamak dilakukan oleh individu-individu yang gemar mengikuti dan gandrung bergunjing perkara perkembangan kehidupan pribadi orang lain, baik yang dikenalnya ataupun tidak.

Tentu ada alasan mengapa seseorang begitu getol ingin tahu dan sibuk mengurusi hak privat orang lain. 

Konselor dan terapis dari San Jose, Sharon Martin, LCSW, menyatakan dalam PsychCentral bahwa orang yang sering melanggar batasan privasi orang lain cenderung manipulatif, narsistik, dan memiliki kesadaran diri yang rendah.

Seorang narsisis akan menganggap sekitarnya lebih tak berharga darinya dan tidak merasa bersalah ketika berlaku tidak baik kepada orang lain.

Sementara menurut Michael Stocker dan Elizabeth Hegeman yang menulis buku Valuing Emotions (1996), pelanggaran privasi bertaut dengan minimnya rasa empati dan apresiasi kepada orang lain.

Seringkali karena merasa punya hubungan darah atau menyandang status sebagai pasangan, seseorang merasa berhak menguak sebanyak-banyaknya informasi perihal kehidupan pribadi seseorang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun