Mohon tunggu...
BERLIAN PERSADA
BERLIAN PERSADA Mohon Tunggu... Penulis - pecinta menulis dan sastra

Writing, Writing and Writing

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Memanusiakan Manusia dengan Literasi

31 Desember 2020   23:24 Diperbarui: 31 Desember 2020   23:26 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Bercerita tentang berbagi kebahagiaan, ingatanku tertuju pada seorang sahabat, yang tak lagi berpijak di bumi yang sarat masalah ini. Dia kini sudah berbahagia di alam sana, semoga. Namanya Amri, seorang tukang bangunan. Aku mengenalnya ketika ia mengerjakan bangunan pondok literasi di kelurahanku. Orangnya asyik diajak bicara, humoris, pekerja yang cekatan, serta teliti. Yang menarik, Amri ini tampak dengan mudah menelan tema pembicaraan apa saja. Bahkan hal rumit sekali pun seperti filsafat. Aku bahkan sering terlihat dungu di hadapannya jika kami terlibat sebuah perdebatan. Aku kadang serasa bicara dengan Rocky Gerung dalam versi seorang lelaki yang pakai baju kaos lusuh merek cat, topi berpasir, keringat bau semen, serta tangan memegang gergaji. Ia juga bukan seorang mantan mahasiswa seperti yang kuduga. Sekolah SMU-nya bahkan tak sampai garis finish karena alasan klasik : tak ada biaya. Dalam pemikiranku yang naif, sosok Amri adalah semacam paradoks buatku.

Setelah pekerjaan pondok literasi itu selesai, kupikir perkenalan kami tuntas sampai di situ saja. Diluar dugaan, Amri malah ikut mendaftarkan diri jadi relawan literasi seperti diriku. Hm, rupanya inilah kunci jawaban kenapa daya pikirnya seencer cat yang ditambah cairan thinner : Amri ternyata seorang maniak buku. Ia memperlakukan buku seperti pengantin baru pada pasangannya. Penuh kasih dan perasaan. Alhasil, buku pun membalas perlakuan cinta itu dengan membuat segumpal daging dalam tempurung kepala Amri jadi semacam pustaka. Ia juga hebat dalam mempengaruhi siapa saja untuk singgah dan membaca di pondok literasi kami. Sejumlah inovasi Amri seperti menambah bunga-bunga hidup dan sejumlah lukisan membuat tempat itu pun jadi senyaman villa. Pondok literasi kelurahan kami jadi percontohan bagi kelurahan lain berkat manusia yang satu ini. Meski kadang ia punya pekerjaan bangunan di tempat lain, Amri tetap sempatkan diri datang. Ia juga sering menenteng buku-buku hasil donasi orang. Rupanya ia tak malu-malu meminta orang lain untuk menyumbangkan buku.

Pada suatu waktu, aku tak melihat Amri untuk beberapa hari. Ku pikir ia tumbang oleh sakit. Telepon gengamnya juga tak bisa dihubungi. Hingga ia meneleponku. Katanya ia sedang di kampung halamannya, sebuah daerah pesisir pantai di Indrapura, Sumatera Barat. Tambahnya lagi, ia pun kini sedang mendirikan pondok literasi di kampungnya. Ia ingin masyarakat kampungnya yang rata-rata nelayan ikut mencintai buku, selain jala dan ikan. Ia sudah memimpikan hal ini sejak lama. Betapa sebuah impian yang mengharukan, inspiratif, plus membanggakan. Andai semua jemariku jempol, maka akan kuacungkan semua untuk Amri. Enggan ketinggalan berbagi kebahagiaan, aku pun tawari diri untuk mencari para donatur buku yang disambut sama antusiasnya oleh sobatku itu. Beberapa teman pegiat literasi lainnya lalu kuhubungi dan bersedia membantu donasi buku.

Yang jadi masalah, Amri pernah bercerita bahwa kampungnya tersebut berada di pelosok, musti melewati beberapa puluh kilo perkebunan sawit yang sepi serta beberapa jembatan gantung yang pernah beberapa kali ambruk saat banjir. Sementara sungai di bawahnya adalah tempat patrolinya pasukan buaya. Jadi, apakah mungkin mengirimkan buku-buku ke tempat seperti itu? Rupanya, Tuhan selalu berpihak pada orang baik. Masalah segera terpecahkan karena ada agen JNE di daerah tersebut. Akhirnya, ilmu pengetahuan serta kebahagiaan bisa terpaketkan, bahkan ke tempat pelosok demikian. Maka, seperti tembakan senapan otomatis, paket-paket buku berdatangan pada Amri.  Aku dan sejumlah pegiat literasi lainnya bersemangat mengirimi. Jadi, tak berlebihan kiranya jika kami menjabat tangan dan memeluk erat JNE sebagai ucapan terima kasih atas kesempurnaan dalam berbagi, memberi, menyantuni ini.

Jarak dari kotaku ke kampung Amri yang berjarak sekitar 300 km membuat aku hanya bisa mendengar ceritanya via telepon genggam. Itu pun tak bisa sering-sering berhubung masalah sinyal. Setelah pondok literasinya jalan, untuk memeriahkan, Amri mengadakan beberapa kegiatan literasi seperti lomba baca dan cipta puisi, mendongeng dan lomba literasi lainnya dengan hadiah berupa uang, buku dan peralatan sekolah. Nilai hadiahnya memang tak seberapa, tapi cukup membuat anak-anak mulai jatuh cinta pada buku. Para orangtua juga mulai ikut mendukung meski hanya melalui senyuman saja. Salutnya, dana lomba itu berasal dari uang pribadi Amri yang ia ambil dari tabungan untuk menikah kelak. Soal itu, ia tak ambil pusing. Lagi pula sekarang ia sudah punya istri yaitu buku, istri dari kalangan manusia untuk sementara ditangguh dulu, selorohnya.

Kuakui, Apa yang dilakukan Amri sangat pantas dicemburui. Ia bisa berbagi. Memang bukan beras, mie instan, baju kaos, permen, atau uang emas yang ia bagi-bagi. Tapi lebih mulia dari itu semua yakni ilmu pengetahuan. Percayalah, tak ada yang lebih mulia dari itu. Inilah berbagi yang terbaik sejagat menurutku. Sebab, ilmu pengetahuan akan tumbuh kembang pada diri seseorang hingga magnum opusnya adalah tercipta sosok manusia berkualitas. Memanusiakan manusia, demikian menurut Amri. Jauhnya seseorang dari ilmu pengetahuan merupakan tragedi yang mengerikan.

Soal keterbatasan daerah, keuangan serta hal lainnya tak jadi halangan. Amri memosisikannya sebagai tantangan. Perjuangan literasi Amri bukanlah seperti melaju di jalan tol mulus bebas hambatan, apalagi di tengah masyarakat yang natabene hanya peduli pada ikan laut atau mengasinkannya, serta selama ini ditelikung oleh keterbelakangan. Tapi sebagai seorang yang paham bahwa tidak semua doanya dikabulkan Tuhan dalam hitungan segera, maka Amri tetap terus berusaha belaka, menolak untuk menyerah apalagi kalah. Terus bergerak serta berproses adalah tugas inti manusia dalam kehidupan, selebihnya urusan Yang Di Atas, prinsip Amri.

Amri memang tidak menciptakan keajaiban fisik di kampungnya, tapi ia membagikan kebahagiaan. Kebahagiaan yang ternarasi ketika anak-anak berhasil membuat sebuah puisi sederhana, beberapa paragraf cerita pendek, membaca sajak dengan gaya. Atau bapak-bapak yang sedikit malu-malu melihat lembaran majalah perikanan. Juga para emak yang terheran-heran membaca nama bahan di buku resep masakan Perancis. Dalam banyak keterbatasan, Amri mampu menghadirkan kebahagiaan. Yang sulit ditandingi dengan kebahagiaan segala kecukupan di kota. Amri telah membangun sebuah Taman Firdaus ilmu pengetahuan di kampungnya yang pelosok.

"Apakah kau sudah bahagia?" tanyaku suatu ketika.

" Ya, begitulah."

Aku yakin ia berkata jujur. Karena dari nada suaranya terdengar bangga seolah ia sudah mencapai maqam tertinggi kebahagiaan versi dia sendiri. Ucapan dari telepon genggam itu juga merupakan kalimat terakhir yang kudengar dari Amri karena beberapa hari kemudian aku dapati kabar bahwa motor yang sedang dikendarai Amri terseruduk truk pengangkut sawit yang rem blong. Amri meninggal di tempat dengan buku yang berserakan di sekelilingnya. Ia baru saja menjemput buku donasi dari seorang kenalan. Amri hidup bersama buku-buku dan khatam nyawa pun bersama buku-buku. Bagiku Amri adalah seorang pahlawan buku. Pondok literasi di kampungnya kemudian dilanjutkan oleh beberapa relawan.

Selamat jalan sahabatku Amri.

Selamat ulang tahun yang ke-30 JNE.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun