Mohon tunggu...
Bergman Siahaan
Bergman Siahaan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penyuka seni dan olah raga tetapi belajar kebijakan publik di Victoria University of Wellington, Selandia Baru.

Penikmat tulisan, foto, dan video

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Demonstrasi Berdarah September 2019 Akibat Deliberasi Publik yang Lemah

29 November 2019   03:08 Diperbarui: 29 November 2019   06:32 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi demonstrasi (Pixabay)

Singapura, misalnya, menyelenggarakan "Dialog Singapura" berisi lebih dari 640 sesi dialog dengan warga Singapura untuk mengetahui pandangan mereka tentang kebijakan pemerintah. Beberapa rezim yang dikenal otoriter juga membuka ruang keterlibatan publik, seakan meniru kinerja dan karakteristik negara demokratis. Pemerintah Zimbabwe, Mozambik dan Tanzania mengajak kelompok warga dan organisasi masyarakat sipil untuk membahas dan menegosiasikan kebijakan terkait anggaran pemerintah. Ah, munkin karena negara-negara itu berpenduduk relatif sedikit? China yang berpenduduk terbesar di dunia juga punya "Kongres Rakyat Nasional" yang dilakukan untuk meminta pendapat publik tentang tagihan melalui lokakarya, audiensi dan jajak pendapat.

Kapan deliberasi publik dibutuhkan?

NCC mengutarakan bahwa deliberasi publik diperlukan ketika:

  • Pembuat kebijakan atau pembuat keputusan ingin mendengarkan dan mempertimbangkan pandangan publik demi keputusan yang lebih kuat berdasarkan nilai-nilai publik.
  • Keputusan yang akan diambil melibatkan masalah yang kompleks, serperti menyangkut kepercayaan, nilai-nilai masyarakat atau pemahaman yang saling bertentangan.
  • Keputusan yang membutuhkan kolaborasi para partisipan untuk mengeksplorasi secara rinci beberapa kebijakan alternatif.
  • Pembuat keputusan tidak dapat mengimplementasikan suatu kebijakan tanpa peran publik.

Ada beberapa kondisi dimana deliberasi publik bisa berjalan dengan baik (Kettering Foundation, 2011):

  • Warga sadar akan masalahnya
  • Warga perlu dibantu untuk mengidentifikasi apa yang sangat berharga untuk dipertaruhkan dalam kebijakan tersebut
  • Keputusan belum dibuat pemerintah
  • Masih dalam tahap awal untuk menetapkan arah dan kebijakan
  • Masalahnya tidak terlalu luas alias spesifik

Tatap muka atau deliberasi online?

Teknologi informasi dan komunikasi telah menggeser orang untuk berinteraksi secara daring (online). Mana yang lebih baik, deliberasi tatap muka atau secara online? Apakah kedua hal itu bisa saling menggantikan?

Menurut Gastil, sebuah tinjauan studi menunjukkan bahwa deliberasi tatap muka lebih efisien, lebih kohesif, dan lebih baik dalam menangani masalah kompleks yang memerlukan penilaian kualitatif. Namun demikian, deliberasi online dianggap lebih baik untuk penilaian kuantitatif dan bisa mengurangi pengaruh status sosial peserta individu.

Dalam diskusi tatap muka, interaksi yang terjadi lebih intens karena peserta dapat langsung berdiskusi dan merespons satu sama lain. Prosesnya juga lebih cepat karena peserta berkumpul pada waktu yang sama di tempat tertentu.

Berbeda dengan diskusi online yang prosesnya relatif lebih lama karena tanya-jawab atau argumentasi dilakukan melalui media komputer di mana peserta mungkin mengaksesnya pada waktu yang berbeda.

Kelemahan dari diskusi tatap muka adalah potensi keengganan peserta untuk mengeluarkan pendapat atau mempertahankan pendapat mereka karena pengaruh status sosial peserta lain. Kelemahan diskusi tatap muka ini menjadi kekuatan diskusi online, di mana status sosial peserta relatif tidak terlihat.

Pada perspektif lain, Kubicek yang mengamati enam proses konsultasi dan tujuh proses kolaborasi kemudian menyimpulkan bahwa diskusi tatap muka menghasilkan kontribusi yang lebih berkualitas dan lebih baik dalam mencapai kesepakatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun