Mohon tunggu...
Bergman Siahaan
Bergman Siahaan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penyuka seni dan olah raga tetapi belajar kebijakan publik di Victoria University of Wellington, Selandia Baru.

Penikmat tulisan, foto, dan video

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Jannah: Komunikasi, Pemahaman, dan Kebiasaan

9 Oktober 2018   11:28 Diperbarui: 9 Oktober 2018   11:46 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Foto: Tribun Kaltim/twitter @AnonArmy777)

Simpati dan prihatin pada Miftahul Jannah, atlet judo yang batal tampil di Asian Para Games 2018 karena penggunaan kerudung (perbedaan jilbab, khimar, dan kerudung bisa dilihat di sini). Sudah lama Jannah berlatih mempersiapkan diri, bahkan ia sudah berdiri di atas matras saat keputusan wasit akhirnya mendiskualifikasinya. Bisa kebayang betapa kecewanya ia, karena bisa berdiri di venue sebuah turnamen itu melibatkan perasaan yang sulit dilukiskan. Tidak semua orang mendapat kesempatan berdiri di arena untuk tampil, apalagi di ajang internasional seperti itu.

Setiap federasi memiliki aturan tersendiri dengan pertimbangan masing-masing, dan tidak ada toleransi (tentang aturan tersebut) terlebih di tingkat internasional, di cabang olahraga manapun itu. Khusus untuk olaharaga judo, International Judo Federation (IJF) memiliki peraturan, tepatnya pada pasal 4, yang menyebutkan bahwa tidak boleh ada penutup kepala kecuali pembalutan yang bersifat medis. Rambut panjang pun harus diikat dengan bahan karet yang tidak bersifat kaku seperti logam. Peraturan ini mengikat untuk seluruh atlet judo di seluruh dunia. Sama seperti aturan di cabang olah raga lain yang juga harus dipatuhi para atlet, termasuk ketentuan jenis pakaian yang digunakan.

Tidak boleh menggunakan penutup kepala?

Mengapa tidak boleh menggunakan tutup kepala? Judo adalah jenis seni bela diri yang menggunakan teknik bantingan dan kuncian. Pada pertarungan sangat rapat, pemain akan sering mencengkeram baju (judogi) lawan untuk menjatuhkan dan menguncinya. Menurut federasi judo, balutan di kepala beresiko untuk tertarik sehingga mencekik penggunanya. Adanya kain di bagian kepala hingga leher secara logika akan menambah “sesuatu” yang bisa dimanfaatkan lawan untuk dicengkeram. Hal ini tentu merugikan atlet itu sendiri.

Bagaimana dengan jenis olah raga lain? Kok bisa menggunakan kerudung? Ya, tergantung keputusan federasi masing-masing yang tentunya keluar setelah melalui kajian dan pertimbangan yang matang. Karate misalnya, diperbolehkan penggunaan penutup kepala dengan standar khusus yaitu tidak menutupi wajah dan ujung kerudung harus masuk ke dalam baju, katanya ini penting untuk melihat jatuhnya pukulan atau tendangan di bagian dada, apakah masuk, tidak masuk atau pelanggaran.

Pada Desember 2016 pernah terjadi pengunduran diri atlet karate pelajar di Magetan karena diminta untuk mengganti kerudung dengan kerudung yang sesuai standar WKF (World Karate Federation). Pada judo sebenarnya penutup kepala pernah digunakan oleh atlet Arab Saudi Wojdan Ali Seraj Abdulrahim Shaherkani di gelaran Olimpiade 2012. Namun itu  setelah kerudungnya dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dianggap tidak membahayakan dirinya sendiri.

Lalu mengapa peristiwa Jannah bisa terjadi? Dari berbagai sumber di media, saya mengambil kesimpulan bahwa:

1. Ternyata ada kelonggaran yang dilakukan selama ini di judo tingkat nasional terkait penggunaan kerudung.

2. Ada ketidakpahaman tim pelatih judo Indonesia yang tidak mengerti aturan yang sesungguhnya telah lama berlaku. Saat technical meeting pun seharusnya sudah dibahas atau setidaknya bisa dikonfirmasi, namun kendala bahasa Inggris mungkin menjadi salah satu penyebab kelalaian ini.

Sungguh disayangkan Jannah harus jadi korban kekecewaan dan mimpinya terampas karena keteledoran tim pelatih dan kebiasaan nasional yang dibawa ke kancah internasional. Lebih disayangkan lagi, peristiwa diskualifikasi Jannah kemudian diposting di akun-akun media sosial para netizen yang tidak bijak dengan bumbu persoalan diskrimnasi agama yang sama sekali tidak beralasan.

Hidup adalah memilih dalam keyakinan

Saya sempat merintis karir sepakbola di usia muda. Pada usia 11 saya sudah mengikuti turnamen Sekolah Sepak Bola pertama bernama Piala Djamiat Dalhar di Yogyakarta tahun 1991. Namun bak ungkapan lama, “layu sebelum berkembang”. Tanpa bermaksud mencari kambing hitam, saya hanya ingin menyaksikan bahwa salah satu pertimbangan mundur dari titian karir adalah karena tidak jarang pertandingan dan latihan digelar pada hari Sabtu. Sementara dalam keyakinan kami, hari ketujuh itu adalah Sabat yang harusnya menjadi hari perhentian dari hal-hal yang bersifat profesi (bekerja/mencari nafkah). Tentunya sulit bagi saya untuk selalu meminta izin tidak berlatih pada hari Sabtu dan nyaris tidak mungkin meminta federasi dan penyelenggara turnamen agar menyesuaikan jadwal pertandingan dengan keyakinan saya.

Keputusan yang lebih ekstrim juga pernah dilakukan Carlos Roa, kiper utama tim nasional Argentina di Piala Dunia 1998, dengan pensiun dari sepakbola di puncak karirnya karena Sabat. Saya pun berdiri di sisi yang sama dengan Jannah, keyakinan adalah yang utama dan life must go on. Hidup adalah memilih dalam keyakinan, tetapi komunikasi dan pemahaman jangan sampai menjadi batu sandungan setelah melalui perjalanan panjang yang penuh peluh, apalagi itu karena kebiasaan tidak tepat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun