Mohon tunggu...
Bergman Siahaan
Bergman Siahaan Mohon Tunggu... Penulis - Public Policy Analyst

Penikmat seni dan olah raga yang belajar kebijakan publik di Victoria University of Wellington, NZ

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menjadi Orang Asing untuk Memahami Orang Asing

19 Januari 2021   17:21 Diperbarui: 20 Januari 2021   23:56 1328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: banksinarmas.com

Sesungguhnya manusia itu adalah sama, terlebih di mata Tuhan. Sudah kadung terjadi bahwa ras manusia berevolusi jadi beragam. Sistem sosial dan politik kemudian mengotak-ngotakkan wilayah yuridiksi sehingga terciptalah status kewarganegaraan.

Pengalaman sebagai WNA

Pengalaman menjadi warga negara asing (WNA) di negara lain mungkin mempengaruhi pandangan seseorang terhadap WNA di negerinya sendiri. Saya pernah merasakan jadi WNA di Selandia Baru selama masa pendidikan. 

Sebagai seorang WNA, saya ingin diterima baik di sana. Saya ingin menikmati sudut-sudut negara yang indah itu sama seperti warga setempat. Berhubung tingkat kenyamanannya lebih baik, wajar jika saya ingin tinggal lebih lama dan kalau bisa memiliki hak-hak yang sama dengan warga negara setempat.

Jika saya melakukan kesalahan, saya pun ingin diberi sanksi sesuai aturan yang berlaku yang sama dengan warga negara setempat. Karena pada hakikatnya, saya adalah manusia yang punya derajat yang sama dengan mereka, hanya takdir yang membuat saya terlahir menjadi warga negara yang asing bagi mereka.

Meski Selandia Baru adalah salah satu negara yang sangat terbuka dengan pendatang dan menjunjung tinggi toleransi, mereka tidaklah steril terhadap aksi rasis. Satu-dua kasus tetap saja muncul di lapangan tetapi langsung dihakimi oleh masyarakat mereka sendiri. Penghakiman diberikan langsung secara lisan maupun secara tulisan melalui media massa dan media sosial.

Sanksi moral dari masyarakat inilah yang mungkin membedakan Selandia Baru dengan negara lain. Seingat saya, kita di Indonesoa jarang menegur orang lain yang melakukan tidakan rasis. Lelucon-lelucon bernada rasis ironisnya malah dianggap lucu oleh banyak orang.

Sebagai seorang asing, tak bisa dipungkiri, saya merasa dinomorduakan. Kadang saya berprasangka sedang dilecehkan padahal mungkin orang-orang tidak berniat begitu. 

Prasangka-prasangka seperti itu yang membentuk sedikit rasa tidak nyaman. Ungkapan "lebih baik hujan batu di negeri sendiri" pun muncul di benak dan mendorong keinginan pulang.

Pemikiran saya mungkin telah diracuni prinsip-prinsip rasisme. Saya merasa berbeda karena terlihat berbeda, bukan karena kartu identitas yang tersimpan rapat di dompet. Padahal, seperti negara-negara di Eropa, Selandia Baru juga diterpa gelombang imigran yang besar hingga negara itu benar-benar multikultural.

Banyak pendatang telah memiliki status kewarganegaraan Selandia Baru atau setidaknya status Permanent Resident yang haknya nyaris sama dengan warga negara. WNA yang cuma "numpang lewat" seperti saya saja diberi beberapa hak yang sama dengan warga negara mereka seperti gratis menyekolahkan anak, layanan kesehatan dan bekerja. Secara umum, WNA are very welcome di sana. Bagaimana di Indonesia?

WNA di Indonesia

Dulu, semua penduduk di Timor Timur adalah warga negara Indonesia (WNI). Rasnya sama dengan penduduk asli Nusa Tenggara Timur. Fenomena politik dalam sekejap mengubah mereka menjadi WNA. Tak sedikit keluarga-keluarga di sana yang akhirnya "terpisah" status kewarganegaraan yang otomatis membedakan perlakuan hukum.

Hal serupa meski tak sama terdapat juga di perbatasan Papua dan Kalimantan. Kerabat-kerabat terpisahkan oleh status kewarganegaraan dengan Papua Nugini dan Malaysia. Padahal ras dan kebudayaan mereka tidaklah berbeda dan kehidupan sehari-hari pun bercampur-baur.

Kalau begitu, apa artinya sebuah status kewargananegaraan? Tak lain hanyalah status hukum demi kepentingan politik. Kalo soal akses layanan sosial seperti kesehatan dan pendidikan nanti dulu, apalagi soal nasionalisme, itu perlu pembuktian lagi. Film Tanah Surga... Katanya, yang diproduseri oleh Deddy Mizwar dan Gatot Brajamusti bisa memberi gambaran soal nasionalisme dan kewarganegaraan.

Justifikasi soal WNA memang lebih mudah jika membandingkan saya yang kental bercirikan ras Melayu Mongoloid ini dengan orang dari ras Kaukasoid, misalnya. Perbedaan rupa jelas terlihat kontras. Tanpa perlu waktu lama, naluri saya langsung merasakan adanya perbedaan mendasar. Tanpa disadari, otak saya pun masuk ke tahap berikutnya, yakni membedakan karakter, hak dan kewajiban mereka dengan saya sebab mereka adalah orang asing.

Sensitivitas terhadap kewarganegaraan sepertinya lebih kecil dibanding sensitivitas terhadap perawakan dan garis keturunan. Buktinya adalah ketegangan sosial yang terjadi berulang kali antara keturunan ras Melayu Mongoloid dengan keturunan ras Tionghoa  padahal berkewarganegaraan yang sama.  Tak heran jika sikap terhadap orang-orang ras Kaukasoid, yang kita sebut bule, pun sangat berbeda.

Uniknya, kaum bule ini menerima dua perlakuan yang kontras dari penduduk asli yang sering disebut pribumi. Sebagian pribumi menganggap bule itu keren, lebih cerdas dan berpikiran lebih maju. Pada saat yang sama, sebagian pribumi lain menganggap mereka jahat, penipu, egois, seks bebas, dan sederet sifat-sifat jelek lainnya yang mungkin terkonotasi dengan cerita sejarah tentang penjajah.

Stigma yang lain lagi dilekatkan pula kepada WNA yang berkulit gelap dari Afrika, juga yang berkulit putih dari daratan Tiongkok, pun orang-orang Arab dari timur tengah. Pokoknya kita mahir memberikan label-label tertentu entah itu positif atau negatif.

Kenyataannya, orang-orang yang memiliki darah Indonesia, meski berbeda kewarganegaraan, cenderung lebih diterima, dianggap sama, bahkan disambut hangat. Apalagi orang-orang yang asli keturunan pribumi meski berstatus WNA. Sebagai contoh, lihat bagaimana artis-artis dan olahragawan yang dinaturalisasi itu diperlakukan.

Status kewarganegaraan yang berbeda ternyata tidak lantas memicu alergi atau stigma dari penduduk lokal tetapi penampakanlah yang lebih mempengaruhi. Padalah sesungguhnya manusia itu adalah sama, terlebih di mata Tuhan. 

Status kewarganegaraan hanya sebuah label yang membedakan hak dan kewajiban di bawah hukum dan bukanlah label yang mempengaruhi pandangan dan sikap kita sebagai WNI. Sering-seringlah kita mencoba berdiri di atas sepatu orang lain sehingga kita bisa berbuat apa yang kita ingin orang perbuat kepada kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun