Mohon tunggu...
Bergman Siahaan
Bergman Siahaan Mohon Tunggu... Penulis - Public Policy Analyst

Penikmat seni dan olah raga yang belajar kebijakan publik di Victoria University of Wellington, NZ

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Mengapa Kurva Covid-19 Indonesia Masih "Naik-naik ke Puncak Gunung"?

4 Oktober 2020   08:56 Diperbarui: 6 Oktober 2020   17:30 1672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga melintas di depan mural yang berisi pesan waspada penyebaran virus Corona di Petamburan, Jakarta, Rabu (16/9/2020). | Sumber: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.

Lockdown hanya bisa dilakukan pada penduduk yang relatif sedikit dengan kemampuan finansial negara yang mampu mengganti kehilangan pendapatan dan menyediakan akses kebutuhan dasar rakyatnya selama lockdown berlangsung.

Itulah yang menjadi pembeda di Selandia Baru. Pemerintah menjamin kebutuhan dasar dan mensubsidi warganya yang kehilangan minimal 50% penghasilan. 

Di samping itu, ketertiban masyarakat untuk mematuhi larangan beraktivitas, menjaga jarak dan mengantre di supermarket merupakan faktor yang juga tak kalah penting. Penulis menyaksikan itu saat tinggal di Selandia Baru selama lockdown bulan Maret 2020.

Perlu diketahui bahwa skema subsidi Selandia Baru bukanlah fixed (rata untuk semua) melainkan variable (berdasarkan penghasilan setiap orang yang tentu berbeda-beda). Mengalkulasi dan menyalurkan subsidi kepada beberapa juta orang tentu jauh lebih mudah daripada puluhan atau mungkin ratusan juta orang di Indonesia.

Pembagian bantuan sosial tunai untuk yang ada sekarang ini saja sudah menimbulkan bibit-bibit gejolak. Penulis melihat sendiri membludaknya UKM dadakan yang mendaftar demi bantuan uang tunai dan keributan-keributan kecil lainnya terjadi di beberapa tempat.

Selanjutnya, apakah "Pesan yang jelas" dan "tindakan cepat" itu diukur dari pemahaman dan kepatuhan masyarakat menjalankan instruksi pemerintah? Jika iya, harus diakui bahwa Indonesia lemah dalam aspek ini.

Apakah karena pesan tidak sampai ke masyarakat atau karena masyarakat tidak percaya? Penyebabnya memang harus diteliti melalui riset, namun temuan di lapangan menunjukkan ketidaksolidan masyarakat dalam melakukan protokol kesehatan. Sebagian patuh dan sebagian lagi tidak.

Mungkinkah ada kaitannya dengan Pilpres 2019 yang lalu, dimana ada 45,5% pemilih tidak "menyukai" Joko Widodo? Jika iya, maka bukan tidak logis bila banyak masyarakat yang tidak percaya pada pemerintahan sekarang sehingga urung mematuhi instruksi.

Penutup

Pada kesempatan ini penulis mungkin mengabaikan pesan Bu Tejo di film "Tilik" yang fenomenal itu untuk menjadi solutif. Karena sependek hemat penulis, artikel-artikel yang solutif sudah banyak bertebaran di berbagai media.

Artikel ini kiranya membawa pembaca berpikir logis dalam menyikapi pandemi ini. Penelusuran menunjukkan bahwa Indonesia juga telah melakukan langkah-langkah seperti yang dilakukan oleh negara-negara yang dianggap berhasil menurunkan kurva COVID-19. Detil langkah penanganan tentu tidak persis sama mengingat kondisi lapangan yang berbeda.

"Anda tidak selamanya bisa meng-copy-paste kebijakan publik dari satu negara ke negara lain. Kebijakan yang berhasil di satu tempat belum tentu berhasil di tempat lain." Pakar-pakar kebijakan publik selalu menekankan prinsip tersebut, seperti juga yang diingatkan oleh dosen-dosen penulis di kelas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun