Mohon tunggu...
Bergman Siahaan
Bergman Siahaan Mohon Tunggu... Penulis - Public Policy Analyst

Penikmat seni dan olah raga yang belajar kebijakan publik di Victoria University of Wellington, NZ

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Mengapa Kurva Covid-19 Indonesia Masih "Naik-naik ke Puncak Gunung"?

4 Oktober 2020   08:56 Diperbarui: 6 Oktober 2020   17:30 1672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga melintas di depan mural yang berisi pesan waspada penyebaran virus Corona di Petamburan, Jakarta, Rabu (16/9/2020). | Sumber: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.

Memang kepadatan penduduk bukanlah faktor absolut. Susahnya menjaga jarak juga diperparah dengan rendahnya kesadaran warga. Sebagian warga mungkin kurang paham dan sebagian lagi mungkin tidak sepaham. 

Penulis memang tidak punya data tetapi kondisi ini terlihat jelas sehari-hari. Banyak masyarakat yang enggan menjalankan protokol kesehatan bahkan menganggap pandemi ini adalah sebuah kebohongan.

Pelacakan riwayat kontak

Kesulitan pelacakan riwayat kontak juga dipengaruhi kepadatan penduduk dan kecenderungan warga untuk menutupi status dan riwayatnya. Aktivitas penduduk yang tinggi dan frekuensi kontak fisik yang tinggi menyulitkan si penderita untuk melacak riwayat kontaknya jika pun ia bersedia. Sebagai contoh, warga bisa beberapa kali pergi ke warung dalam seminggu untuk membeli barang eceran.

Pekerja non-formal yang jumlahnya sangat banyak di Indonesia, pasti sulit mengingat orang-orang yang kontak dengannya dalam sehari, apalagi dalam empat belas hari. 

Adalah fakta bahwa pencatatan daftar pengunjung beserta nomor teleponnya tidak jamak diterapkan di Indonesia mengingat faktor frekuensi kontak dan sektor non-formal tersebut.

Tes

Rendahnya jumlah dan frekuensi swab test (uji usap) tidak hanya terkait dengan jumlah penduduk tetapi juga kemampuan finansial pemerintah dan warga yang ingin melakukan secara mandiri. 

Kemampuan instansi dan warga hanya sampai pada rapid test yang belakangan sudah tidak dianjurkan lagi. Laboratorium di kota-kota besar Indonesia kewalahan memeriksa sampel. Umumnya butuh beberapa hari untuk mendapatkan hasil tes.

Belum lagi jika bicara keengganan sebagian masyarakat untuk menjalani tes, sekalipun itu gratis. Fakta ini harus diakui dengan jujur. "Jangan ada dusta di antara kita" kata penyanyi lawas, Broery dan Dewi. Masih ada stigma bahwa terpapar COVID-19 adalah aib sehingga dirahasiakan sebisa mungkin.

Kapasitas rumah sakit

Salah satu penyebab kurangnya kapasitas rumah sakit di Indonesia, ya, apalagi kalau bukan soal perbandingan fasilitas dan jumlah penderita. Data di setiap daerah memang berbeda, tetapi tidak sedikit daerah yang mengalami masalah kapasitas rumah sakit. Surabaya, Jakarta, dan Medan adalah beberapa contohnya.

Penulis juga mendapat informasi dari keluarga yang bekerja di lingkungan rumah sakit mengenai susahnya merujuk pasien akibat ruang ICU atau isolasi yang penuh.

APD memang sempat terkendala pada awal-awal pandemi namun kemudian berangsur-angsur terpenuhi berkat kolaborasi pemerintah dan swasta.

Pesan yang jelas dan tindakan cepat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun