"Tidak ada yang menanggung biaya hidupmu."
"Ndil!" Seruku agak keras. Gengsi juga Rindil mengatakan begitu. "Jangan begitu. Selama ini kita kan saling berbagi. Saling memberi dan menerima."
"Ninok. Ninok. Kamu ini sadar atau ngelantur?"
Aku berjalan menuju pinggir jendela. "Tidakkah kamu mau mengingat lagi perjalanan cinta selama hampir tiga tahun ini? Tentang hari yang begitu indah yang kita lalui berdua. Tentang  janji-janji dan cerita cinta. Tentang pertama kali bertemu, teman-teman yang menjodoh-jodohkan. Tentang ...."
"Aku nggak peduli, Nok!" Kali ini suara Rindil lebih keras. "Aku nggak peduli dengan gombalan sumpahmu. Kamu sudah menyusahkanku sekian lama. Menyesal sekali tiga tahun bersamamu ternyata membuatku semakin terpuruk."
"Tapi, Ndil....."
"Dengarkan aku dulu!" Rindil bertolak pinggang, tepat dihadapanku. "Aku juga nggak peduli dengan rayuanmu agar Sabar, Kikis, Dira, Amin, Ivi, dan semua teman teman yang menjodoh-jodohkan kita dulu mau mendukungmu. Â Aku nggak akan terpengaruh dengan mereka yang kamu minta membelamu itu. Keputusanku Cuma satu. Putus. Titik. Nggak ada bujuk membujuk lagi." Rindil segera keluar kamarku. Sementara suara dan rayuan akhirku tak mampu menahan langkahnya. Dia berlalu begitu cepat.
Tinggal aku sendiri meratapi nasib. Nasib tentang berakhirnya angan indahku. Saat mata tak sengaja memandang kalender yang tergantung, aku baru tersadar. Sekarang tanggal 16. Tanggal terakhir melunasi uang kos. Padahal penyangga hidupku sudah pergi.
Lalu siapa yang akan membayarnya......????????
***
(Majalah HAI no 13/XXI/8 April 1997)