"O..., jadi pengennya kamu dapat balas jasa gitu?"
"Bukan gitu, Kis." Aku sedikit mendekatkan dudukku. "Aku Cuma nggak pengen kehilangan Rindil. Dia segalanya bagiku. Entah apa jadinya hidupku tanpa dia. Mungkin kembali menjadi orang liar seperti saat SMA dulu."
"Ah, elo. Cowok kok cengeng amat sih. Masa Cuma gara-gara cewek kamu jadi begitu. Malu dong," komentar Kikis keras.
"Yah... gimana lagi ya? Abis, Rindil benar-benar mempengaruhi hidupku sih. Susah aku jelasin."
"Gua ngerti. Tapi, bukan berarti kalau semuanya harus terjadi kamu jadi putus asa gitu dong. Tunjukan bahwa kamu cowok yang tegar. Berani ngadepin apapun. Jangan lembek. Jangan jadi pengecut cuma karena diputusin cewek."
Aku menunduk.
Dalam hati ingin ketawa juga dinasehati begitu.
"Iya deh, aku mau bantu." Kikis sepertinya kasihan juga melihatku demikian. Aku langsung menengadah kepala. "Eit. Tapi, nggak janji yah...."
Aku cuma tersenyum. Lega.
***
Aku tinggal menunggu fajar menjelang. Menunggu matahari menyambut hari baru. Sebab, aku harus mengucapkan kaliamat yang ditunggu Rindil.