Mohon tunggu...
Anjar Anastasia
Anjar Anastasia Mohon Tunggu... Penulis - ... karena menulis adalah berbagi hidup ...

saya perempuan dan senang menulis, menulis apa saja maka lebih senang disebut "penulis" daripada "novelis" berharap tulisan saya tetap boleh dinikmati masyarakat pembaca sepanjang masa FB/Youtube : Anjar Anastasia IG /Twitter : berajasenja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

(OM) Anak Lelaki (Tidak) Boleh Menangis

7 Juni 2019   14:15 Diperbarui: 7 Juni 2019   14:25 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seminggu ini, rakyat Indonesia dihadapi dengan sebuah berita menyedihkan atas meninggalnya ibu negara ke-6, Ibu Ani Yudhoyono. Berita kematiannya seketika menggantikan segala bentuk berita lain yang sempat begitu memenuhi jagat berita di berbagai media. Kesedihan atas kepergiannya  memenuhi relung sukma bukan hanya bagi keluarga yang ditinggalkan, namun juga kita rakyat Indonesia yang pasti mengenalnya.

Rasanya belum terlalu lama berita beliau sakit dan harus dirawat lalu ada berita cukup menggembirakan ketika beliau diperbolehkan berjalan-jalan sebentar ke luar ruang penyembuhannya. Harapan besar atas kesembuhan beliau sangat menyeruak dalam diri siapa saja yang sudah menyertakan beliau dalam doa dan semangat. Sang Empunya hidup ternyata berkehendak lain, Ibu Ani dipanggil kembali kepadaNya, di hari-hari menjelang datangnya hari kemenangan atas puasa sebulan penuh. Tentu menjadi kesedihan sendiri ketika pada hari kemenangan itu tiba, seperti ada sosok yang hilang. Tak kan pernah kembali.

Atas segala kesedihan itu, rasanya sangat wajar sekali bila keluarga Bapak SBY terlihat begitu sedih dan terpukul. Orang yang sangat dikasihani harus berpulang di hari-hari yang ternyata justru sudah sempat disiapkan kehadirannya oleh Ibu Ani alm dengan membeli seragam keluarga.

Berulangkali kamera atau foto di media menunjukkan kesedihan keluarga tersebut melalui raut muka serta titik air mata yang jatuh begitu saja dari mata. Baik, Pak SBY, Agus dan Ibas terlihat sangat kehilangan dan bersedih akan kepergian istri serta ibunda tercinta. Demikian juga keluarga dekat lainnya.

Namun, sebenarnya apakah laki-laki yang sedang bersedih atas sebuah kejadian boleh menunjukkannya dengan membiarkan tetes air mata itu jatuh di pipi dan bahkan terlihat publik? Bukannya ada semacam ungkapan bahwa anak laki-laki itu tidak boleh menangis?

Dari telegraphindia.com
Dari telegraphindia.com
Menangislah, Bro...

Seorang adik datang pada saya dan mengungkapkan kesedihannya atas sebuah peristiwa yang mengingatkan dia pada orang tuanya yang sudah meninggal. Setelah ia puas mengungkapkan semua, tiba-tiba menarik nafas dan wajahnya jadi berbeda. Saya rada heran. "Kamu kenapa?"

"Aku ingin menangis, Mbak..," jawabnya rada terbata-bata.

"Menangislah."

"Nggak bisa."

"Lho, kenapa? Bukannya sekarang kamu sedang menahannya?"

"Nggka bisa... Kata Mama, anak lelaki nggak boleh menangis."

"Wah.... Mamamu kata siapa? Kamu boleh kok menangis. Mungkin maksudnya, kalau menangis jangan di hadapan orang banyak."

Sebentar dia terdiam lalu tak lama pamit. Keluar, entah kemana. Sekitar satu jam kemudian, dia kembali dan mengajak ngobrol lagi. Dia terlihat lebih tenang.

"Sudah tenang sekarang?"

"Sudah, Mbak... Sudah lega."

"Gimana caranya, kok sudah lega?"

"Aku tadi meluapkan emosi dengan menangis, Mbak... Lumayan lega sekarang."

"Lha, dimana menangisnya?"

"Ada di tempat tersembunyi yang nggak kelihatan orang lain kok, Mbak..."

Sudah lama saya mendengar semacam ungkapan bahwa anak laki-laki tidak boleh menangis. Hal ini bisa jadi dihubungkan dengan anggapan kebanyakan orang bahwa seorang laki-laki itu adalah seorang manusia kuat dalam segala situasi. Dalam kesedihan terdalam sekali pun.

Sementara menangis adalah sebuah kegiatan yang dihubungkan dengan sebuah hal yang lemah, gampang menyerah dan bisa jadi memalukan. Padahal menangis juga merupakan sebuah ungkapan emosi atas hal yang terjadi dalam diri seorang manusia. Memang, kadangkala menangis bisa menjadi senjata atas sebuah tujuan menarik perhatian. Namun, menangis jenis begini tentunyan akan bisa terlihat beda dan sebaiknya dihindari oleh siapa saja, entah laki-laki atau perempuan.

Dalam sebuah artikel, Profesor Niobe Way, pakar ilmu psikologi terapan di New York University, AS, menulikan bahwa budaya di masyarakat yang mengatakan anak laki-laki tidak boleh sensitif dan emosional seperti anak perempuan adalah salah. Ia menyatakan, "Sama seperti anak perempuan, anak laki-laki juga penuh perasaan dan emosional, Namun, sering kali  mereka tidak mengerti bahwa hal tersebut penting untuk diungkapkan." 

Seiring usia, pengamatan dan atau didikan mereka selama dalam keluarga maupun sekolah, seorang anak laki-laki bisa jadi menganggap tidak pantas memiliki perasaan sedih yang berujung pada sebuah tangisan. Biasanya ada sesuatu yang membuat mereka memilih menekan perasaan itu lalu memendam sendiri. Tidak menutup kemungkinan mereka akan menjadi depresi.

Seperti yang dikatakan sang professor tadi, sebenarnya anak laki-laki juga boleh menangis, mengeluarkan segenap emosi serta tidak perlu merasa ada yang tidak beres saat hendak melakukan hal tersebut. Mereka akan tetap menjadi seorang laki-laki sebagaimana laki-laki pada umumnya, tidak akan berkurang kondisi itu setelah menangis.

Lalu, bagaimana menumbuhkan kesadaran bahwa mereka boleh buat meluapkan emosi tersebut? Mungkin bisa dilakukan dengan beberapa penjelasan ini:

1. Diingatkan bahwa semua manusia punya emosi dan perasaan yang bisa terjelaskan dengan beberapa hal, jika gembira bagaimana, jika sedih bagaimana. Perasaan atau emosi ini bagian dari anugerah hidup maka sangat diperbolehkan untuk melampiaskannya dengan bertanggungjawab.

2. Menangis itu (tidak) sama dengan cengeng. Seringkali kalimat itu terlontar begitu saja jika ada seorang anak hobinya menangis. Bisa jadi karena hal tersebut maka seorang anak laki-laki merasa tabu jika dibilang cengeng. Itu hal yang memalukan. Padahal jika menangis dilakukan dengan alasan tertentu, tidak bisa lantas dibilang cengeng.

3. Menyediakan telinga dan waktu untuk mendengarkan keluh kesah serta pelampiasan emosi yang mungkin terbawa karenanya. Bila pelampiasan tersebut bentuknya dengan menangis, sebaiknya dibiarkan dulu hingga mereka tenang dengan tidak menyertakan komentar-komentar yang bisa jadi kian membuat mereka kembali bersedih.

O ya, menangis juga tidak mengenal strata. Ia bisa tiba-tiba menghampiri siapa pun orang yang memang sedang membutuhkannya. Dan, setelah tangisan itu bisa keluar dengan bebas tanpa perlu ditahan, ada bagian dalam diri yang pasti seperti lepas. Perlahan hilang. Kemudian lega. Ringan. Semoga lebih siap menghadapi perjuangan hidup selanjutnya. (anj 19)

Keteranga judul:
OM = Orang Muda.
Kisah atau artikel ini berhubungan dengan saya sebagai pendamping orang muda khususnya mahasiswa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun