Suatu sore Semprul dihampiri Dipo sahabatnya. Seperti biasa Semprul asyik memoles wayang kulit yang juga semata wayang.
Semprul sangat gandrung dengan wayang kulit, terutama tokoh Bagong. Bagong sebagai perlambang orang yang ceplas-ceplos apa adanya tanpa menghiraukan orang bikin sakit hati karena ucapannya.
Lha orang harus jujur, ngomong apa adanya, ngga usah ditambah dikurangi, perkara orang mau terima atau tidak, sakit hati atau tidak....ya resiko.
Demikianlah sifat Bagong, dalam peran pewayangan, yang selalu ditanamkan dikehidupan Semprul.
" Ada apa masih sore tumben kesini," tanya Semprul
" Wah.. aku lagi putus asa," jawab Dipo
" Putus asa gimana ?" sahut Semprul
" Mumet aku Prul, duit ga punya, kerjaan ga ada. Doa sudah, tapi kok ya Gusti Allah kayak diem aja," Dipo memelas.
" Walahh... Kok jadi protes ke Gusti Allah ? Lha kamu sendiri gimana ?" Semprul kaget
" Yaitu, hampir enam bulan hidup seperti ini. Gusti Allah kayak udah ndak mau dengerin doaku," balas Dipo semakin kusam
" Hmm.. kalo ngomong itu yo jangan asal njeplak dari mulutmu. Knalpot aja ada saringannya," Semprul kesal.
" Lha aku terus gimana ?" protes Dipo
Semprul menaruh wayangnya.
" Apa kamu ndak mikir, Gusti Allah itu sudah Maha Baik, sudah berikan apa yang ada didunia ini. Tinggal bagaimana kamu bisa mengelolanya, dan kita ini sebagai makhluk mulia yang diciptakan. Punya akal, ya diasah akalnya" jawab Semprul ,Â
" yang sederhana saja, kita diberikan udara itu gratis..tis. Coba kalo harus beli ? Berapa ribu bahkan juta tabung oksigen yang harus dibayar ? Ya kalo bisa bayar, kalo ndak ? Bisa kelojotan kita"