Mohon tunggu...
Benny Wirawan
Benny Wirawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa kedokteran dan blogger sosial-politik. Bisa Anda hubungi di https://www.instagram.com/bennywirawan/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menikah atau Melajang? Pilih Sendiri!

19 Desember 2017   07:45 Diperbarui: 19 Desember 2017   08:09 1386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://kajianlagi.blogspot.co.id

Ikut keinginan orang tua atau ikut kata hati nurani? Itulah pertanyaan sepanjang masa.

Membaca sambung-menyambung opini Mas Muhammad Ikhwan Hastanto, Mbak Dian Dwi Anisa, dan Mbak Maria Fauzi, saya jadi ingin ikut nimbrung. Seru sekali sepertinya membahas dinamisme hubungan anak-orang tua dewasa ini.

Siapa yang harusnya dominan? Orang tua kah? Atau anak? Siapa yang punya tanggung jawab untuk membahagiakan siapa? Apakah anak yang tidak mengikuti keinginan orang tuanya manjadi durhaka? Ataukah orang tua yang terus tak mendukung pilihan hidup anaknya justru lebih berdosa?

Adat ketimuran kita (yang sepertinya dianut Mbak Dian) bersifat lebih peternalistik. Kita sebagai anak diharapkan mengikuti harapan orang tua. Jika memang tidak mampu, setidaknya kita diharapkan untuk tidak membuat orang tua kecewa. Termasuk dalam hal menikah. Jika orang tua ingin kita menikah, setidaknya kita berusaha mencari pasangan.

Lain hal dengan budaya Barat yang lebih individual dan humanis. Egalitarianisme berarti kesetaraan tidak hanya lintas ras, etnis, agama, dan (yang menjadi fokus Mbak Maria) gender, tetapi juga lintas generasi. Sejak Anda menginjak usia dewasa (17 tahun atau 21 tahun, tergantung negaranya), Anda dan orang tua berdiri sama tinggi. Setara. Tidak ada lagi yang harus mengikuti kehendak yang lain.

Lalu, siapa yang salah: Timur atau Barat? Mencontek jawaban Mas Muhammad: "Tidak ada yang salah. Kenapa sih harus selalu cari siapa yang salah?"

Sebenarnya (sok tahu sedikit boleh kan?) kita memilih sendiri nilai-nilai yang kita anut.

Sejak keluar dari kandungan hingga menjadi sebesar sekarang kita terpapar pada berbagai nilai. Awalnya kita ditanamkan nilai-nilai yang dianut orang tua kita. Lalu, (jika orang tua Anda beragama) kita ditanamkan dengan nilai-nilai agama. Sejak kita mengenal internet, kita terpapar lagi dengan nilai-nilai dunia global.

Nilai-nilai ini tidak ada yang sempurna dan semua datang dengan kontradiksinya. Kita pernah melihat orang tua yang menanamkan nilai kejujuran justru berbohong. Pernah pula melihat alim ulama yang mengajar ilmu sorga ternyata berdosa. Lalu ikon hak asasi manusia idola kita ternyata terlibat persekusi dan diskriminasi etnis.

Dunia ini absurd. Di tengah absurdnya dunia kita harus memilih sendiri nilai-nilai yang kita anut, nilai-nilai yang paling rasional menurut pengalaman hidup kita.

Sering kali kita menghadapi kejadian yang saling membentrukan nilai-nilai yang kita anut. Itu lah yang melahirkan konflik internal sepanjang masa: menuruti kata orang tua atau ikut kata hati nurani? Kita dipaksa memilih antara cinta pada orang tua dan cinta pada diri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun