Mohon tunggu...
Benny Wirawan
Benny Wirawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa kedokteran dan blogger sosial-politik. Bisa Anda hubungi di https://www.instagram.com/bennywirawan/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pengalaman Seorang Kristen dari Suku Bali

28 September 2017   16:49 Diperbarui: 29 September 2017   01:41 12619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat itu hari sudah menjelang malam. Kami bersepeluh, belajar bersama menjelang ujian. Semuanya sudah lelah, sudah sedari pagi kami belajar. Mata penat dan mengantuk, belum lagi esok hari masih kuliah, kami pun berencana pulang. Sebelum pulang, kami membahasa kapan belajar bersama ini akan dilanjutkan. Usulan demi usulan pun terlontar hingga salah satu teman saya mengusulkan belajar hari Minggu pagi besok lusa. Saat itu baru saya berkata, 'Tolong jangan hari Minggu pagi karena aku harus ke gereja. Aku kan 'pingin ikut belajar juga.'

Tiba-tiba topik pembicaraan sedikit teralih. Mungkin sekitar tujuh dari sepuluh teman saya terkaget, mereka tidak menduga saya beragama Kristen. Nama saya berawalan Gede, nama khas Bali yang merujuk saya sebagai anak lelaki pertama. Kulit saya pun sawo matang walau mata sipit (karena saya minus). Rupanya, walaupun berpendidikan tinggi, teman-teman saya masih berasumsi bahwa orang Kristen di Bali pasti bukan bersuku Bali. Mungkin Tionghoa atau keturunan suku lain. Tapi tidak suku Bali. Saya hanya tersenyum, campur aduk lucu dan miris. Saya tegaskan lagi, saya suku Bali asli.

Pertanyaan mulai beralih. Orang tua saya yang mana yang 'dari Bali'? Ayah atau Ibu? Sekali lagi saya tegaskan pada mereka, saya suku Bali asli, kedua orang tua saya pun orang Bali beragama Kristen. Teman saya yang lain bertanya, sejak kapan saya beragama Kristen? Kali ini pun saya tegaskan, dari lahir saya beragama Kristen, pun begitu orang tua saya. Walaupun masih berwajah heran, akhirnya mereka hanya angguk-angguk mendengarnya. Saya, dan beberapa teman yang sudah tau, hanya tertawa melihat mereka.

Pengalaman ini hanya satu dari beberapa kali saya harus menjelaskan cerita yang sama: ya, saya seorang Kristen dari suku Bali, dan saya sudah memeluk Kristen sejak lahir. Saya tidak sendiri, ada beberapa ribu orang suku Bali yang beragama Kristen. Sebagian besar, terutama yang seusia saya, adalah Kristen generasi ketiga atau keempat. Yang pertama dibaptis di keluarga kami adalah kakek bahkan kakek buyut kami. Seumur hidup kami dibesarkan dalam keluarga yang berbahasa Bali dan beragama Kristen.

Sebagian besar masih melestarikan budaya Bali dalam penamaan. Walaupun memasukkan nama-nama Kristen (Benny dari Benyamin) kami masih memakai nama-nama khas Bali seperti Gede, Made, Komang, dan Ketut. Kami bahkan melestarikan budaya Bali dalam beribadah. Kami beribadah dalam busana tradisional Bali, diiringi musik gamelan, dalam gereja-gereja dengan arsitektur khas Bali menyajikan pemandangan ibadah yang unik. Bahkan keunikan ini sering dibahas dalam media massa nasioanal, terutama menjelang Natal dan Paskah.

Akulturisasi ini tidak hanya bersifat superfisial yang berbasis artefak budaya (budaya kasat mata) tapi juga dalam nilai-nilai dan tatanan sosial. Dalam gereja-gereja yang didirikan suku Bali masih dapat dilihat sistem sosial khas Bali. Contohnya, dapat ditemukan kelompok suka dukayang mengatur tanggung jawab sosial anggota dalam kegiatan-kegiatan seperti pernikahan dan kematian. 

Ada juga persekutuan pemuda yang berekuivalen dengan sekehe truna trunidalam sistem banjar Bali. Jemaat gereja itu sendiri menjadi ekuivalen banjar (dusun lokal, pusat kegiatan sosial dan keagamaan dalam budaya Bali) bagi komunitas Bali Kristen. Kami menerjemahkan sistem tanggung jawab sosial dalam budaya Bali sebagai koinonia,'persekutuan', salah satu dari Tiga Panggilan Gereja.

www.skyscrapercity.com
www.skyscrapercity.com
gkpbkristuskasih.com
gkpbkristuskasih.com
Intinya, kami adalah benar-benar Kristen yang secara tulus mengidentifikasi diri sebagai suku Bali. Walaupun tidak identik dengan budaya Bali Hindu yang menjadi akar budaya kami, tidak juga berarti kami telah terlempar dari rumpun budaya Bali itu sendiri.

Ironisnya, identifikasi kesukuan ini sering kali bertepuk sebelah tangan. Usaha kami untuk tetap menjalin ikatan kesukuan dengan mempertahankan identitas-identitas bersama kadang tidak disambut baik. Penolakan ini ada yang terjadi secara halus hingga yang menyakitkan hati.

Penolakan halus sering kali berangkat dari ketidaktahuan. Jumlah yang sedikit menyebabkan banyak masyarakat yang tidak tahu keberadaan kami. Akiabatnya mereka terjebak dalam stereotipe yang menyamakan identitas suku dan agama tertentu. Contohnya adalah orang bertanya kepada saya kenapa saya, yang memiliki nama khas Bali, beragama non-Hindu. Sering kali mereka berasumsi salah satu orang tua saya adalah seorang Hindu Bali. Banyak juga yang mengira saya seorang jiwa baru, lahir Hindu namun baru memeluk Kristen. Hampir tidak ada yang menduga bahwa saya berasal dari keluarga yang sudah 4 generasi beragama Kristen.

Paparan pertama terhadap keberadaan kami ini dapat menghasilkan dua reaksi. Bagi mereka yang berpikiran terbuka, mereka menyambut dengan baik. Mereka bahkan mengapresiasi kami yang, walaupun sudah memeluk agama 'asing', tetap berusaha melestarikan budaya leluhur. Sebagian besar orang yang saya temui merespon seperti ini, termasuk teman-teman saya. Kami pun saling bertukar cerita mengenai keunikan budaya Bali Kristen dan saya dengan semangat bertanya mengenai budaya Bali Hindu.

Reaksi yang kedua, yang membuat hati miris, adalah yang merespon keberadaan kami dengan penolakan keras. Bagi kelompok orang ini kami bukan lagi orang Bali, identitas kesukuan kami dihapus ketika kami beragama non-mayoritas. Kenyataan bahwa kami melaksanakan budaya Bali, dari pakaian, musik, hingga bahasa, dipandang sinis sebagai upaya 'mencontek' budaya Bali, budaya nenek moyang kami. Bahkan, ada pula yang menganggap akulturisasi budaya Bali Kristen sebagai konspirasi terselubung dengan menyamarkan agama Kristen dan Hindu.

Sejak maraknya internet, semakin banyak yang mampu menyuarakan penolakannya dalam ruang publik. Walau kadang tidak eksplisit, makin banyak upaya mengidentikkan bahwa Bali dengan Hindu dan Hindu dengan Bali, menolak adanya subkultur suku Bali yang beragama lain. Identifikasi ini secara tidak langsung menolak keberadaan kami sebagai bagian dari identitas kesukuan Bali.

Dengan pengalaman pribadi seperti ini, identitas kesukuan saya yang dipertanyakan oleh saudara sesuku, tentu saya sangat reaktif saat melihat adanya upaya serupa pada Bangsa Indonesia. Sejak Pemilu 2014, saya melihat adanya upaya identifikasi identitas Bangsa Indonesia dengan agama tertentu, agama mayoritas. 

Pola ini dapat dilihat dari upaya menjatuhkan politisi dengan rumor bahwa si politisi sebenarnya beragama minoritas. Tidak hanya itu, kasus Basuki Tjahaja Purnama yang karena agama dan identitas kesukuannya terang-terangan ditentang sebagai gubernur DKI Jakarta, daerah metropolitan yang penduduknya paling heterogen di Indonesia, tentu menjadi luka tersendiri.

Seiring terintegrasinya elemen-elemen penyusun budaya di Indonesia, keberadaan budaya akulturisasi seperti komunitas Bali Kristen menjadi tak terhindarkan. Pun juga dalam kebangsaan kita, banyak komunitas-komunitas melanggar stereotipe kesukuan dan kebangsaan kita dan tetap mengidentifikasi diri sebagai Bangsa Indonesia.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang muncul dari keberagaman, dipersatukan kesamaan nasib dan perjuangan.  Jika saat ini ada gerakan-gerakan yang membatasi definisi identitas kesukuan atau kebangsaan menjadi agama tertentu, atau sub-elemen lainnya, mereka mengkhianati keberagaman Indonesia, mengkhianati Pancasila.

'Bhineka Tunggal Ika' berarti orang-orang seperti saya, para pelanggar stereotipe, harus mampu mengakui identitasnya dengan bebas dan bangga.

Saya orang Bali. Saya beragama Kristen. Saya Bangsa Indonesia. Saya ada!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun