Kota Milan selalu punya dua wajah. Di siang hari, ia sibuk dengan dunia mode, parade busana mewah, dan hiruk-pikuk pusat perbelanjaan. Tapi di malam hari—terutama malam akhir pekan—jantung kota berdegup lebih keras karena sepak bola. Dua warna, dua suara, dua harapan: merah-hitam AC Milan dan biru-hitam Inter Milan. Musim 2024/2025 menjadi potret kontras yang tak bisa dihindari. Satu tim melaju dengan keyakinan, yang lain tertatih mencari arah.
Inter Milan: Mantap Mengejar Mahkota
Tak banyak yang bisa membantah: Inter Milan musim ini adalah mesin yang halus. Simone Inzaghi tampak semakin matang sebagai pelatih, tahu kapan harus menyerang, tahu kapan harus membunuh pertandingan. Hasilnya jelas: Inter berada di ranking 2 Â klasemen selisih 1 poin dengan Napoli di pekan 36 dan tidak menutup kemungkinan akan menjadi Juara Liga Italia yang masih menyisahkan 2 pertandingan lagi, di Liga Champions berhasil menuju Final melawan PSG yang akan digelar pada tanggal 1 Juni 2025 mendatang di Allianz Arena Munich, dan berpeluang besar mendapat 2 gelar bergengsi Liga Champions dan Liga Italia. Seperti diketahu saat ini Inter memiliki kedalaman skuad yang bagus.
Lautaro MartÃnez tampil seperti seorang kapten sejati. Gol-golnya bukan hanya menambah angka, tapi juga memompa semangat tim. Thuram, Barella, ÇalhanoÄŸlu, Pavard—semua menyatu dalam sistem yang terasa kokoh. Ini adalah Inter yang bukan hanya kuat, tapi juga tahu betul siapa diri mereka.
Inter bukan hanya mengejar gelar. Mereka ingin mengukuhkan dominasi di kota ini. Mereka tahu, jika mereka bisa juara lagi, maka tak hanya San Siro yang bergetar—seluruh Italia akan mengakui mereka sebagai yang teratas.
AC Milan: Tersesat di Tengah Perubahan
Sementara itu, AC Milan seperti kehilangan peta. Tim ini pernah sangat menjanjikan di era Pioli, menjadi juara Serie A 2022 dengan semangat muda dan pressing tinggi. Tapi musim ini—meski sempat menggembirakan dengan kemenangan atas Inter di Supercoppa—realitanya jauh dari memuaskan.
Sérgio Conceição datang dengan harapan membawa perubahan. Tapi sejauh ini, yang terlihat justru kebingungan taktik dan ketidakpastian arah permainan. Milan kesulitan mencetak gol, sering tertinggal, dan terlalu bergantung pada momen individu dari Rafael Leão atau Pulisic.
Yang menyedihkan, Milan terlihat kehilangan jiwa. Tidak ada lagi aura garang khas Milan di masa lalu. Tak ada figur pemimpin yang bisa mengguncang ruang ganti saat tim mulai lesu. Ibarat orkestra, Milan kini seperti kehilangan konduktor—suara-suara pemain terdengar, tapi tidak membentuk harmoni.
Derby della Madonnina: Rivalitas yang Tak Pernah Redup