Mohon tunggu...
Benny Benke
Benny Benke Mohon Tunggu... -

the walkers. touch me at benkebenke@gmail.com,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membaca Maestro Seni Rupa Indonesia: Srihadi Soedarsono

17 Oktober 2016   15:53 Diperbarui: 17 Oktober 2016   16:38 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Srihadi dan Istri. (benny benke)

BERIKUT INI adalah bunga rampai empat tulisan ihwal salah satu maestro seni rupa Indonesia, Srihadi Soedarsono. Yang siapa tahu pada sebuah masa, berguna atas nama ilmu pengetahuan. 02 September 2012

JAKARTA -- Setelah tiga bulan menggelar pameran tunggal karya seni Srihadi Soedarsono (80) di Art;1 News Museum, Jakarta, sejak 30 Mei, pada Sabtu (1/9) siang, sebagai penghormatan kepada salah satu maestro seni rupa Indonesia itu, dirilis buku Srihadi dan Seni Rupa Indonesia. Buku yang ditulis kurator seni Jim Supangkat itu, sekaligus dibedah oleh Guru Besar dan ahli filsafat Universitas Katolik Parahiyangan, Prof Dr Bambang Sugiharto dan Irma Damajanti dari Institut Teknologi Bandung. Dibantu A. Rikrik Kusmara dari Lembaga Penelitian Seni Rupa ITB, segala sisik melik keberadaan Srihadi dalam kazanah seni rupa Indonesia, dikuak dalam momen itu.

Bebarengan dengan bedah buku itu, dilakukan juga lelang lukisan milik Srihadi berjudul "Bedaya Ketawang-Beauty of the Soul" yang dibuat dari bahan oil on canvas berukuran 240 x 130 cm. Keuntungan dari lelang lukisan yang pada angka pembukaannya oleh Balai Lelang Sotheby's Auction yang dipimpin Deborah Iskandar dihargai Rp 600 juta rupiah, dan akhirnya ditutup pada harga Rp 1,3 miliar itu, "Sebagian hasil lelangnya akan didonasikan ke Yayasan Kasih Mulia dan

Yayasan Hati Suci," ujar Marta Gunawan di Jakarta, Sabtu (1/9). Buku Srihadi dan Seni Rupa Indonesia diklaim sebagai upaya nyata dalam menuliskan sejarah seni rupa, teristimewa seni rupa lokal Indonesia, serta pemahaman tentang global art. Buku ini diharapkan dapat membantu perbedaan persepsi yang berkaitan dengan perbedaan budaya, konteks dan perkembangan.

Menggunakan pendekatan berbagai disiplin ilmu, buku ini membahas juga sejarah, posisi, dan peran Srihadi selama 65 tahun berkarya dalam sejarah perkembangan seni rupa modern dan kontemporer Indonesia. "Sekaligus membuktikan karya-karya Srihadi menunjukkan benang merah sejarah seni rupa Indonesi," ujar Jim Supangkat.

Filosofi Jawa. Prof Dr Bambang Sugiharto mengatakan, "Buku ini sangat elaboret menempatkan karya-karya pak Srihadi dalam segala kiprah seni rupanya." Dia menambahkan, perjalanan berkesenian Srihadi layaknya, "The journey of soul." Srihadi, kelahiran Solo, Jateng pada 4 Desember 1931 di mata Bambang, sangat terpengaruh filosofi Jawa dalam setiap karyanya. Seperti gemar mempersoalkan Kawicaksanan (Kearifan) dan Widyantara (Pengetahuan tentang kehidupan/ilmu pengetahuan yang diperlukan sebagai dasar pendidikan).

Meski demikian, setelah kuliah di Fakultas Teknik UI di Bandung --yang kemudian menjadi ITB--, dan katam di sana pada 1959 ada beberapa pengayaan fase pendewasaan intelektualitas. Apalagi saat Srihadi melanjutkan pendidikan di Ohio State University, Columba Ohio AS pada 1960 hingga 1962 dan mendapatkan gelar Master of Art.

"Pada masa itu Srihadi bersentuhan dengan kecenderungan action painting dan abstract expressionisme yang sedang mendominasi di AS," kata Bambang. Setelah itu, masih menurut Bambang, pergeseran gaya Srihadi mengarah ke gaya konstekstual.

Dengan menghadirkan karya kritik yang mengarah ke militer, feodalisme, juga urbanisme, yang sempat membuat Gubernur DKI saat itu, Ali Sadikin tersinggung pada lukisan Srihadi berjudul

"Air Mancur" (1973) yang dia nilai "menghina" kota Jakarta. Si empunya gawe, yang terlihat masih sehat dan sentosa, didampingi istri terkasihnya, hanya berujar ringan menanggapi sanjung puji yang dialamatkan kepadanya, "Seni saya sebagai ibadah..," katanya. Pemikiran filosofis Srihadi itu, mengutip ceramahnya yang pernah dia katakan di Museum Nasional Singapura pada 1991, "Semata sebagai perenungan dan penghayatan." Meminjang ungkapan dalam Bahasa Jawa yang berbunyi, "Sing ana ora ana, sing ora ana, ana". Yang artinya, "Yang ada sesungguhnya tidak ada, yang tidak ada pada hakikatnya ada".

Sebagai catatan, pameran tunggal Srihadi kali ini, merupakan pameran tunggal Srihadi yang ke-16 kali, sejak pameran tunggalnya pada 1962, yang terdiri dari 130 karya seni rupa dari sketsa, print, drawing dan lukisan yang belum pernah dipamerkan sebelumnya. Via pameran ini, sebagaimana dikatakan Gunawan Jusuf dari Sugar Group Companies yang bekerja sama dengan

Lembaga Penelitian Seni Rupa ITB yang menaja kegiatan, "Diharapkan makin memperdalam cita rasa apresiasi publik kepada karya seni," katanya.

Srihadi Soedarsono Sampai Nanti, Sampai Mati

16 Januari 2016

Srihadi S dan Istri. (foto: benny benke)
Srihadi S dan Istri. (foto: benny benke)
JAKARTA-- Salah satu maestro lukis Indonesia, Srihadi Soedarsono bersiap menggelar pameran bertajuk 70 Tahun Rentang Kembara Roso, pada 11-21 Februari mendatang di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Dalam pameran yang menurut rencana akan dibuka Mendikbud Anies Baswedan itu, juga sekaligus akan dirilis buku berjudul Srihadi Soedarsono: 70 Years Journey of Roso.

Apa yang istimewa dari pameran dari pelukis yang pernah terlibat dalam perang revolusi Kemerdekaan pada kurun 1946-1949 itu? Apakah semata elan vitalnya yang tetap terjaga di usianya yang telah memasuki angka 84 tahun? Atau ada sesuatu yang luar biasa dari dirinya?

Kepada sejumlah pewarta Srihadi Soedarsono mengaku, 70 tahun karir kepelukisannya yang dimulai sejak dia berusia 14 tahun itu, didasari dan didorong roso dari kalbu. “Ini filosofi saya,” katanya di Jakarta, Rabu (13/1). Dia mengaku, sejatinya, telah mengawali melukis sejak kanakkanak, meski publik mengetahuinya sejak umur 14 tahun. 

“Pada zaman saya, atau tepatnya tahun 31 saya lahir, mempunyai zamannya sendiri, sehingga alat-alat lukisnya juga sangat sederhana dan apa adanya,” katanya didampingi istrinya Farida Srihadi Soedarsono. Dari lukisannya yang sangat sederhana, hingga akhirnya dinilai sangat matang dan mengantarkannya ke pintu ketenaran itulah, filosofi roso kalbu itulah, senantiasa diapegang teguh.

Sepenceritaan Farida Srihadi, sebagai istri, dia harus menempatkan dirinya secara ideal mendorong kemampuan suami, “Apalagi saya sebagai seorang Master Filsafat, saya harus mendorong kemampuan suami saya. Dan saya tahu betul intelektualitas manusia harus terus berkembang, dan tidak boleh capek,” katanya memberikan rumusan dukungan kepada suaminya agar terus berkarya.

Farida menambahkan, sejak zaman renaisance, pelukis besar seperti Picasso mempunyai integritas luar biasa dalam hidupnya. Sebagaimana banyak empu di Jawa yang juga sangat luar biasa intergritasnya. “Makanya istri harus cerdas, agar bakat alam suami mendapatkan nutrisi yang sehat dan menjadi maksimal. Kami adalah partner yang luar biasa. Kami terus berdialog terus, karena menurut saya, kesetiaan istri tidak harus hadir dalam formalitas biasa,” ujar Farida.

Rikrik, melihat karya Srihadi S hanya bisa diwakilkan tiga kata, sangat dahsyat, menggetarkan hati, sakti sekali. Karena ada sisi lain dari pak Sri, yang cenderung hanya diketahui publik hanya melukis di atas kanvas. Padahal masih banyak materi lain yang belum diketahui publik.

Kegurubesaran pak Sri semakin besar karena dia menunjukkan intelektualitasnya, karena mengarsipkan semua perjalanan karirnya. Yang sebagian besar karyanya berbasis. Di atas kertas, yang terkumpul lebih dari 400 karya di atas kertas. Perjalanan berbasis kertas menjadi unik,karena terarsipkan sejak tahun 46, dengan kulitas yg sakti dan dahsyat.

Dikatakan Dr. A. Rikrik Kusmara, M.Sn selaku kurator pameran nanti, sebagaimana diketahui publik, peradaban terbangun dari empat pilar kehidupan. Yaitu filsafat, agama, science, dan Seni. “Dan semua karya pak Sri, telah melewati semua pilar itu, dengan segala kedalamannya,” katanya.

Menurut Rikrik, Srihadi mempunyai niat belajar dan eksplorasinya sangat besar sekakali. Dengan visi ke depan yang sangat jauh. Buktinya, Srihadi mau belajar abstraksisme di AS langsung, setelah belajar kubisme di ITB. “Sampai akhirnya menemukan esensi garis ketika mengendapkan diri di Bali,” katanya sembari mengumbuhkan, garis yang dibuat Srihadi dalam setiap lukisannya,”Membuat sesuatu menjadi ada dan tidak ada”.

Intinya, masih menurut Rikrik, perjalanan estetik Srihadi sangat lengkap, dengan ketepatan garis yang luar biasa dalam sketsa, juga drawingnya serta tahap cat airnya. “Sehingga menimbulkan pengertian, sesuatu yang lengkap tapi tidak lengkap, dalam setiap karyanya,” ujar dia.

Menurut Srihadi, selain semua karyanya harus berangkat dari kalbu,”Karya seni yang merupakan hasil dari estetika, harus dicampur dengan kebenaran versi kita. Karena harus ada hubungan transendental antara diri kita dengan kejiwaan kita, dalam menghasilkan sebuah karya,” terangnya. Berdasarkan pemahaman itulah, Srihadi mendaku akan terus berkarya, meneruskan perjalanannnya sampai nanti, “Karena sebagai pelukis tidak ada pensiunannya.”

Srihadi yang sudah maestro itu, bahkan berjanji akan terus meningkatkan kulitasnya,”Supaya ngga mentog. Karena kita tidak tahu apakah akan bisa dan terus berkembang. Oleh karenanya, sebaiknya kita tetap berusaha,” ujarnya sembari mengucapkan terima kasih kepada istrinya yang terus bersetia menemaninya dalam melukis. “Karena ada bidadari dalam hidup saya,” katanya sembari merilik Farida Srihadi.

70 Tahun Kembara Roso Warisan Indonesia, 12 Februari 2016.

SATU-satunya cara untuk mendekatkan karya seorang maestro kepada penikmatnya adalah dengan mendekatkan karya tersebut kepada pencintanya. Demikianlah ikhtiar pameran 70 Tahun Kembara Roso: Retrospektif Karyakarya Kertas Srihadi Soedarsono, yang secara resmi dibuka Mendikbud Anies Baswedan di Galeri Nasional Jakarta, Kamis (11/2) malam.

Pameran yang akan bergulir mulai 11-24 Februari 2014 di Gedung A Galnas itu, sebagaimana dikatakan Slamet Martin selaku penyelenggara pameran, akan mempertontonkan karya salah satu maestro lukis Indonesia itu, dalam format cat air, sketsa, drawing di atas kertas, dan sedikitnya tujuh lukisan di atas kanvas.

“Pameran ini ditimbang dahsyat, karena kelasnya dianggap bukan pameran biasa, buktinya sudah masuk museum. Dan jika memungkinkan pameran sekelas Srihadi seharusnya (berlangsung) selama sebulan atau tiga bulan, lamanya. Bukan hanya selama 14 hari,” katanya dalam sesi temu wartawan.

Dia menambahkan, pameran yang didokumentasikan dari rentang era Revolusi (1946) hingga Reformasi (2016) itu, sarat nilainilai edukasi dan makna, “Dan oleh karenanya telah menjadi pameran milik rakyat Indonesia,” imbuh dia.

Tubagus Andre, Kepala Galeri Nasional, mengatakan, sebagai lembaga budaya negara dan pusat pameran seni rupa nasional maupun internasional, Galnas mempunyai kepentingan atas suksesnya pameran 70 Tahun Kembara Roso: Retrospektif Karyakarya Kertas Srihadi Soedarsono.

“Pak Srihadi Soedarsono adalah salah satu tokoh seni rupa Indonesia terkemuka. Sebenarnya pak Sri sudah lama ingin pameran di Galnas, tapi baru terwujud sekarang. Ini adalah pameran retropestif. Oleh karenanya menjadi peristiwa yang langka dan bersejarah,” ujarnya.

Dia melanjutkan, pameran yang idealnya dikelilingkan di beberapa kota besar di Indonesia itu, menjadi istimewa karena hampir semua arsip karya seorang Srihadi dikeluarkan semua. “Beliau adalah dokumentator dan arsiparis yang baik. Sehingga publik dapat mengapresiasi karya pak Sri dari sudut pandang apapun. Baik historis, estetis, hingga kronologis perjalanan karirnya di dunia senirupa Indonesia.

Dr. Rikrik Kusmara M.Sn selaku kurator pameran mengatakan, Srihadi Soedarsono memiliki konsern yang sangat tinggi dalam hal kearsipan, yang terkait dengan perjalanan hidupnya.

“Padahal belum semua karyanya dipamerkan ke publik. Meski secara umum publik Indonesi mengenal pak Sri sebagao pelukis di atas kanvas. Dan dalam pemeran kali ini, sejumlah coretannya di atas kertas yang kita pemarkan,” ujarnya sembari memuji kedisiplinan yang sangat tinggi seorang Srihadi Soedarsono.

Buktinya, sebagai kurator pameran, Rikrik mengaku mendapatkan dokumentasi karyakarya Srihadi denga mudah dan ditemukan dengan tersusun rapi. “Makanya (pameran ini) kami beri judul 70 Tahun Rentang Kembara Roso. Yang pasti seluruh dimensi pak Sri, terpusat pada dimensi rasa atau roso. Dengan aspek karakter Jawa,” ujarnya.

Dalam catatan Rikrik, total karya dalam pameran ini dalam bentuk sketsa, drawing dan cat air, sebanyak 441 karya yang terbungkus dalam 347 frame. “Ringkasnya, semua karya pak Srihadi adalah aset bangsa. Karena sebagian riwayat beliau yang berhasil didokumentasikan, dari tahun 1946, telah bersentuhan dengan aktivis seniman lukis Indonesia seperti Affandi dan beberapa nama lainnya,” ujar Rikrik.

Karya-karya Srihadi juga merekam peristiwa yang tidak terdokumentasikan oleh foto. Hal it menjadi maklum, karena saat itu, Srihadi berprofesi sebagai wartawan pelukis. “Ketika mendokumentasikan perundingan antara Indonesia dan Belanda di tahun 1947, saat perjanjian Renville dan perundingan Kaliurang yang ditengahi AS. Saat itu, pak Sri menggambar para delegasi perundingan,” terang Rikrik.

Sepenceritaan Rikrik, Srihadi menggambar sejumlah delegator itu, dengan sangat cepat dan tepat. “Rata-rata tiap gambar selama lima menit,” katanya. Itupun hasil gambarnya sangat realis dan artistik, plus dibubuhi tanda tangan delegator yang dia gambar. Terdapat 36 delegator yang berhasil digambar Srihadi Soedarsono saat itu. Atas tepatnya pada saat dia masih berusia di kisaran 14 tahunan. 

Srihadi Soedarsono Laraskan Kedalaman Rasa dan Kekuatan Teknis, 26 Februari 2016.

JAKARTA – Seberapa hebat hasil karya maestro lukis Srihadi Soedarsono? Apakah dia benarbenar hebat dalam setiap karyanya? Atau terlalu dibesarbesarkan saja namanya? Sehingga kehebatannya sesungguhnya, tidak berbanding lurus dengan karyakarnya yang merentang zaman sepanjang 70 tahun. Atau memang hebatkah pelukis yang pada awalnya mengawali karir sebagai wartawan lukis itu?Untuk itulah sebuah Forum Diskusi Bedah Buku Srihadi Soedarsono 70 Years Journey of Roso digelar di Galeri Nasional Jakarta, Sabtu (20/2) akhir pekan lalu. Dengan menghadirkan sejumlah nama angker dalam percaturan kesenirupaan di Tanah Air.

Dari nama Jean Couteau, Jim Supangkat, dan Prof Dr. Bambang Sugiharto, sedangkan moderatornya adalah Dr. Rikrik Kusmara, yang merangkap selaku kurator pameran. Menurut Jean Couteau, yang diposisikan sebagai penanggap, pada karya semua seniman besar, selalu tersisa sesuatu yang tak terjelaskan. “Demikian halnya dengan Pak Srihadi, ada sesuatu yang tak terjelaskan di sana,” ujar pemerhati seni asal Prancis dengan penguasaan bahasa Indonesia yang bening itu.

Meski Srihadi, imbuh dia, menguasai dengan sempurna teknik apapun yang akan diagambarkan. Yang menarik dari banyak karya Srihadi, menurut Jean Couteau, Srihadi melampuai segi analitis, dan kadang menyingkat ekpresinya dalam suatu garis. “Sehingga secara magikal membembuat kita menangkap karyanya secara magic pula. Menghantar kita ke dunia makro kosmis. Atau dunia bersifat spiritual,” katanya disambut anggukan si empunya nama yang didampingi istrinya Farida Srihadi Soedarsono.

Pada hemat Jean Couteau, kebesaran Srihadi justru terletak pada dunia makro kosmis yang sangat diapahami sekaligus kekuatan teknis yang diakuasai. “Padahal jarang seniman menguasai kuasa teknik yang tinggi, sekaligus mempunya kedalaman rasa sepertt pak Srihadi,” pungkasnya.

Sebelumnya, Jim Supangkat, pemerhati dan kritikus seni rupa Indonesia menjelaskan. Keberadaan sebuah pameran dan penerbitan buku saat ini menjadi saling berkaitan. Karena dengan penerbitan buku Srihadi Soedarsono 70 Years Journey of Roso, menurutnya menjadi sebuah upaya untuk melihat Srihadi dengan lebih masuk akal. “Karena buku mampu menceritkan banyak hal yang belum diceritakan lukisan, sketsa maupun gambar,” katanya.

Untuk itu, dibutuhkan kajian lebuh dalam dari sebuah buku. Sebab, selama ini, di Indonesia, menurut Jim Supangkat,”Kajian seni rupa kita, tidak ada keilmuan ihwal itu (mendekati seni rupa dengan sepatutnya). Meski pak Sri leading sebagai seorang seniman,” katanya sembari menekankan, yang paling penting pak Srihadi diletakkan dalam perkembangan seni rupa Indonesia.

Dengan latar belakang budaya Jawa yang mendasari paham Srihadi, Jim menilai, Srihadi adalah sosok yang istimewa. “Sedangkan dalam kaitan sejarah, dimana pak Sri terlibat dengan pergaulan politik, dan pergaulan dengan perupa senior seperti affandi, sujojono dan lainlain, makin mematangkan pemahamannya dalam sejumlah karya selanjutnya”, ujarnya. Sepenceritaan Jim Supangkat, di era Srihadi, ada pada sebuah masa di mana perkembangan senirupa Indonesia, keluar dari sejarah perkembangan seni rupa dunia. Untuk itu dia menimbang “kembara roso”, adalah persoalan mendasar. “Karena rasa adalah hal mendasar yang harus dipahami seniman dan publik. Karena seni mempunyai fungsi setelah berpihak kepada publik,” katanya.

Sebab, Jim menambahkan, pesona atau keindahan bisa diartikan secara personal dalam karya Srihadi,”Tanpa harus repotrepot melibatkan kedalaman filosofis di dalam karyanya,” ujarnya. Pendapat Jim Supangkat bisa jadi berbeda dengan uraian Prof Dr. Bambang Sugiharto, Guru Besar Filsafat Universitas Parahiyangan, Bandung. Yang justru menimbang seorang Srihadi dari kacamata filsafat. “Menjadi penting karena basis keseniman pak Sri unik dan ala Indonesia, yang bermuara pada persoalan religiusitas. Karena intuisi pak Sri terutama kepekaannya terasah sejak kecil,” katanya.

Karena kedalaman religiusitasnya itulah, Srihadi menurut Bambang gemar berdialog dengan diri dan alam sekitarnya. “Alam semesta menjadi medan isyarat untuk ditangkap dan direkam oleh seniman, dan pak Srihadi melakukan itu dengan sangat baik,” katanya.

Apalagi, imbuh Bambang, sejak Srihadi masuk ITB dan (Ohio State University) OSU, sensitibilasnya dilaraskan dengan kemampuan berpikir yang rasionalis. “Berawal dari roso, berakhir pada roso, dan seni bagi seorang Srihadi adalah persoalan ibadah. Karena berkesenian pada akhirnya adalah persoalan batin,” ujar Bambang sembari mengajukan sebuah tesis, jika banyak seniman besar menjadi makin besar setelah melakukan ritual pengembaraan, sebagaimana yang dilakukan Srihadi Soedarsono.

“Buktinya para seniman yang mengembara keliling dunia, pada akhirnya melakukan perjalanan lebih dalam ke hatinya masingmasing, sebagaimana dilakukan Srihadi,” imbuh dia. Bambang menerangkan, rasa atau roso dalam bahasa sansekerta adalah kemampuan menangkap esensi realitas. Dan roso menjadi antene tertinggi bagi seorang Srihadi. “Dan basisnya bukan rasionalitas, tapi roso atau rasa. Sehingga orang bisa memasuki dirinya yang paling dalam, sekaligus berhubungan dengan dunia luar,” ujarnya sembari meninggalkan catatan ujaran falsafati yang menurut dia sanggat dipegang erat Srihadi Soedarsono, yang berbunyi, “Sing ono ora ono, sing ora ono, ono”.  Dengan kata lain Bambang ingin mengatakan karya Srihadi Soedarsono sepertt haiku di jepang, “Ringkas tapi menggetarkan,” ujarnya. (Benny Benke).

keempat tulisan diatas diunggah dari laman ini: 123, dan 4.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun