Mohon tunggu...
Benny Benke
Benny Benke Mohon Tunggu... -

the walkers. touch me at benkebenke@gmail.com,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membaca Maestro Seni Rupa Indonesia: Srihadi Soedarsono

17 Oktober 2016   15:53 Diperbarui: 17 Oktober 2016   16:38 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Srihadi dan Istri. (benny benke)

Meski Srihadi, imbuh dia, menguasai dengan sempurna teknik apapun yang akan diagambarkan. Yang menarik dari banyak karya Srihadi, menurut Jean Couteau, Srihadi melampuai segi analitis, dan kadang menyingkat ekpresinya dalam suatu garis. “Sehingga secara magikal membembuat kita menangkap karyanya secara magic pula. Menghantar kita ke dunia makro kosmis. Atau dunia bersifat spiritual,” katanya disambut anggukan si empunya nama yang didampingi istrinya Farida Srihadi Soedarsono.

Pada hemat Jean Couteau, kebesaran Srihadi justru terletak pada dunia makro kosmis yang sangat diapahami sekaligus kekuatan teknis yang diakuasai. “Padahal jarang seniman menguasai kuasa teknik yang tinggi, sekaligus mempunya kedalaman rasa sepertt pak Srihadi,” pungkasnya.

Sebelumnya, Jim Supangkat, pemerhati dan kritikus seni rupa Indonesia menjelaskan. Keberadaan sebuah pameran dan penerbitan buku saat ini menjadi saling berkaitan. Karena dengan penerbitan buku Srihadi Soedarsono 70 Years Journey of Roso, menurutnya menjadi sebuah upaya untuk melihat Srihadi dengan lebih masuk akal. “Karena buku mampu menceritkan banyak hal yang belum diceritakan lukisan, sketsa maupun gambar,” katanya.

Untuk itu, dibutuhkan kajian lebuh dalam dari sebuah buku. Sebab, selama ini, di Indonesia, menurut Jim Supangkat,”Kajian seni rupa kita, tidak ada keilmuan ihwal itu (mendekati seni rupa dengan sepatutnya). Meski pak Sri leading sebagai seorang seniman,” katanya sembari menekankan, yang paling penting pak Srihadi diletakkan dalam perkembangan seni rupa Indonesia.

Dengan latar belakang budaya Jawa yang mendasari paham Srihadi, Jim menilai, Srihadi adalah sosok yang istimewa. “Sedangkan dalam kaitan sejarah, dimana pak Sri terlibat dengan pergaulan politik, dan pergaulan dengan perupa senior seperti affandi, sujojono dan lainlain, makin mematangkan pemahamannya dalam sejumlah karya selanjutnya”, ujarnya. Sepenceritaan Jim Supangkat, di era Srihadi, ada pada sebuah masa di mana perkembangan senirupa Indonesia, keluar dari sejarah perkembangan seni rupa dunia. Untuk itu dia menimbang “kembara roso”, adalah persoalan mendasar. “Karena rasa adalah hal mendasar yang harus dipahami seniman dan publik. Karena seni mempunyai fungsi setelah berpihak kepada publik,” katanya.

Sebab, Jim menambahkan, pesona atau keindahan bisa diartikan secara personal dalam karya Srihadi,”Tanpa harus repotrepot melibatkan kedalaman filosofis di dalam karyanya,” ujarnya. Pendapat Jim Supangkat bisa jadi berbeda dengan uraian Prof Dr. Bambang Sugiharto, Guru Besar Filsafat Universitas Parahiyangan, Bandung. Yang justru menimbang seorang Srihadi dari kacamata filsafat. “Menjadi penting karena basis keseniman pak Sri unik dan ala Indonesia, yang bermuara pada persoalan religiusitas. Karena intuisi pak Sri terutama kepekaannya terasah sejak kecil,” katanya.

Karena kedalaman religiusitasnya itulah, Srihadi menurut Bambang gemar berdialog dengan diri dan alam sekitarnya. “Alam semesta menjadi medan isyarat untuk ditangkap dan direkam oleh seniman, dan pak Srihadi melakukan itu dengan sangat baik,” katanya.

Apalagi, imbuh Bambang, sejak Srihadi masuk ITB dan (Ohio State University) OSU, sensitibilasnya dilaraskan dengan kemampuan berpikir yang rasionalis. “Berawal dari roso, berakhir pada roso, dan seni bagi seorang Srihadi adalah persoalan ibadah. Karena berkesenian pada akhirnya adalah persoalan batin,” ujar Bambang sembari mengajukan sebuah tesis, jika banyak seniman besar menjadi makin besar setelah melakukan ritual pengembaraan, sebagaimana yang dilakukan Srihadi Soedarsono.

“Buktinya para seniman yang mengembara keliling dunia, pada akhirnya melakukan perjalanan lebih dalam ke hatinya masingmasing, sebagaimana dilakukan Srihadi,” imbuh dia. Bambang menerangkan, rasa atau roso dalam bahasa sansekerta adalah kemampuan menangkap esensi realitas. Dan roso menjadi antene tertinggi bagi seorang Srihadi. “Dan basisnya bukan rasionalitas, tapi roso atau rasa. Sehingga orang bisa memasuki dirinya yang paling dalam, sekaligus berhubungan dengan dunia luar,” ujarnya sembari meninggalkan catatan ujaran falsafati yang menurut dia sanggat dipegang erat Srihadi Soedarsono, yang berbunyi, “Sing ono ora ono, sing ora ono, ono”.  Dengan kata lain Bambang ingin mengatakan karya Srihadi Soedarsono sepertt haiku di jepang, “Ringkas tapi menggetarkan,” ujarnya. (Benny Benke).

keempat tulisan diatas diunggah dari laman ini: 123, dan 4.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun