Mohon tunggu...
radbenitos
radbenitos Mohon Tunggu... Tutor - Nasionalis peranakan Batak-Jawa

Kawan anti nekolim. Dekmar. Kolom filsafat adalah kenyamanan bagi orang-orang woles maupun jalan ninja bagi clan Uchiha dan penggali sejarah ide.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

(Maaf) KH Hasyim Asyari Hilang Dari Ingatan Pemuda

23 April 2021   04:24 Diperbarui: 23 April 2021   16:40 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jauh sebelum hingar-bingar buku Sejarah Indonesia keluaran Kemendikbud yang tidak menyertakan nama KH. Hasyim Asyari dalam bukunya, barangkali tidak banyak yang mengetahui eksistensi beliau daripada nama Abu Bakar Baasyir; kecuali kawan-kawan PMII dan HMI (NU dan Muhammadiyah). Pasca kejadian itu kita mengetahui bahwa pak Kyai merupakan pendiri organisasi Nadhatul Ulama, organisasi islam sunni tradisional di Indonesia sekarang ini.

Apa yang membuat pak Kyai begitu penting dalam sejarah kemerdekaan Republik Indonesia bukan karena beliau merupakan pendiri NU, melainkan keikutsertaan beliau mengerahkan massa dalam mempertahankan pemerintahan de facto Republik Indonesia pasca proklamasi 1945, yakni insiden pertempuran 10 November 1945 sebagai cikal-bakal hari pahlawan yang didukung dengan resolusi jihad NU atas nama KH Hasyim Asyari.

Bagi milenial yang sudah berjarak dengan sejarah dan bukan santri, atau sekadar mengenal kawan-kawan PMII, KH Hasyim Asyari luput dari ingatan kolektif itu. Tidak melepas kemungkinan ada anggapan garis politik---jihad---pak Kyai yang sama saja dengan Osama bin Laden atau Abu Bakr al-Baghdadi.

Simplifikasi semacam itu memang tidak dibenarkan mengingat konteks mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang baru berumur 2-3 bulan dari gempuran massal tentara sekutu yang memenangkan PD II. Polemik ini bukan hanya membawa generasi saat ini membayangkan situasi perang dunia II yang bukan hanya mengorbankan jutaan korban jiwa, tetapi membawa kita mengingat kembali lahirnya negara-bangsa di dunia ketiga termasuk Indonesia.

Dengan segala pertimbangan objektif atas fakta sejarah, tulisan singkat ini sekiranya mengumbar kembali konflik yang menjadi ketegangan antara pihak yang berkaitan sembari menjadi bahan evaluasi jalannya sejarah sebagaimana cita-cita proklamasi Negara Republik Indonesia.

Fatwa Jihad

Setelah proklamasi kemerdekaan, pada 31 Agustus 1945 keluar maklumat oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk mengibarkan bendera Merah Putih di seluruh wilayah Indonesia. Hal inilah yang dianggap berkaitan dengan konflik yang terjadi pada 18 September 1945 di Hotel Majapahit, Surabaya; yakni pengibaran bendera merah-putih-biru yang dianggap penghinaan kedaulatan RI oleh gerombolan pemuda Surabaya.

Beberapa hari sebelumnya dalam sebuah pertemuan terbatas, tepatnya 14 September 1945, KH Hasyim Asyari sebagai pimpinan NU mengeluarkan fatwa jihad yang berisi: 1a) Hukumnya  memerangi  orang  kafir  yang  merintangi  kepada kemerdekaan  kita  sekarang  ini  adalah  fardoe 'ain  bagi  tiap-tiap orang  Islam yang mungkin meskipun bagi orang fakir; 1b) Hukumnya orang yang meninggal dalam peperangan melawan NICA  serta komplotannya, adalah mati sjahid; 1c) Hukumnya orang yang  memecah  persatuan  kita  sekarang  ini  wajib dibunuh. (Selengkapnya bisa dibaca pada tautan ini: Fatwa Resolusi Jihad, Jejak Kemesraan NU dan Muhammadiyah)

Jika ditelisik dengan saksama, rupanya memang ada kemungkinan bahwa gerombolan pemuda Surabaya terpicu oleh keberadaan fatwa jihad KH Hasyim Asyari, selain euforia terhadap kemerdekaan. Menurut beberapa sumber sejarah, masyarakat Indonesia saat itu masih sulit patuh terhadap pemerintah, namun tidak kepada ulama atau kyai-kyai terpandang.

Adapun pengibaran bendera Belanda di Hotel Majapahit bukan semata-mata merupakan bentuk kealphaan pengakuan kedaulatan Indonesia. Buktinya, ketika perang tidak terhindarkan sejak 27 Oktober 1945, yakni pasca insiden berdarah di dalam Hotel Majapahit (bernama Hotel Yamato sewaktu insiden itu terjadi) Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Soekarno---ini menandakan bahwa secara de facto Republik Indonesia sudah diakui---untuk meredakan situasi. Lagipula terlalu konyol rasanya jika terdapat urgensi mendesak pemerintah Republik Indonesia terhadap aset (hotel) Belanda yang diduduki Jepang sebelumnya.

Meski demikian, tidak bisa kita pungkiri bahwa kepentingan NICA yang membonceng AFNEI merupakan keinginan Belanda mengambil alih kembali Hindia-Belanda sebagai jajahannya yang sempat diganggu oleh pendudukan Jepang, yang pada waktu itu masih jadi pokok perundingan antara Indonesia dan Belanda. Perang yang tidak terhindarkan dan menewaskan kedua belah pihak, terutama sipil Indonesia yang tidak mengerti duduk permasalahan, menjadi penanda bahwa NICA memang hendak mengambil alih kembali Republik Indonesia, bukan sekadar melucuti persenjataan fasisme-anti barat (Jepang). Itulah mengapa posisi resolusi jihad NU dipertimbangkan sebagai pasukan tambahan, seperti halnya resolusi Angkatan Kelima PKI di bawah pimpinan Aidit. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun