Mohon tunggu...
Beni Harefa
Beni Harefa Mohon Tunggu... Dosen -

Vox audita perit, littera scripta manet (suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Delik Pencabulan Anak (Bukan) Delik Aduan

30 Mei 2015   22:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:46 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14330006971191174980

Apakah proses penyidikan kasus pencabulan anak dapat dihentikan?”. Demikian salah satu komentar yang muncul dalam diskusi di group facebook yang saya ikuti. “Tidak jarang beberapa kasus pencabulan anak harus berhenti pada proses penyidikan (belum sampai pada tahap sidang di Pengadilan)” tulis salah seorang anggota group yang lain. Penghentian dilakukan biasanya dengan berdalih, “telah ada kesepakatan damai dari para pihak (korban maupun pelaku), untuk apa diperpanjang”. Kesepakatan yang dituangkan dalam surat perjanjian damai itu, acapkali menjadi dasar untuk menghentikan kasus pencabulan anak.

Penulis yang sempat aktif pada lembaga perlindungan anak (PKPA Nias), setidaknya dua kali pernah beradu argumen dengan aparat penegak hukum (polisi) yang hendak menghentikan kasus pencabulan anak.

Berangkat dari pemahaman keseriusan negara untuk memberikan perlindungan bagi anak, tulisan ini hendak mengulas beberapa hal terkait pencabulan anak. Pertama, penegasan delik pencabulan anak bukan sebagai delik aduan. Kedua, bagaimana bila pelaku pencabulan anak juga merupakan anak (pelaku dan korban sama-sama anak). Ketiga,apa sanksi bagi aparat yang menghentikan kasus pencabulan anak.

Delik Pencabulan adalah Delik Biasa

Pembagian delik menjadi delik biasa (gewone delic) dan delik aduan (klacht delic) memiliki arti penting dalam proses peradilan pidana. Dalam banyak literatur sering kali sebutan “delik” digunakan untuk menggantikan istilah “perbuatan pidana”. Dalam tulisan ini perbuatan pidana yang dimaksud ialah perbuatan pidana pencabulan yakni pencabulan dengan anak sebagai korban. Delik pencabulan anak diatur di dalam KUHP maupun dalam UU Perlindungan Anak. Paling tidak ada tiga bab dalam KUHP yang berkaitan dengan delik aduan (klacht delic).Pertama, Bab XVI KUHP tentang penghinaan atau defamation atau belediging. Kedua, kejahatan-kejahatan pencurian, pemerasan, dan pengancaman serta penggelapan, khususnya pasal 367, 370 dan 376 terkait dengan pencurian, pemerasan dan pengancaman serta penggelapan dalam keluarga. Dan ketiga, kejahatan terhadap kesusilaan yakni perzinahan. (Eddy OS Hiariej, 2014, hlm110-113).

Khusus perihal pertama dan kedua (penghinaan dan pencurian, pemerasan dan pengancaman serta penggelapan dalam keluarga) kiranya tidak dibahas dalam tulisan ini. Namun untuk perihal yang ketiga yang berkaitan dengan delik aduan khususnya kejahatan terhadap kesusilaan. Kejahatan yang berkaitan dengan kesusilaan diatur di dalam Bab XIV KUHP dibawah judul besar Kejahatan Terhadap Kesopanan. Kesopanan disini dalam arti kesusilaan (zeden, eerbaarheid) perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin misalnya bersetubuh, meraba buah dada perempuan, meraba tempat kemaluan wanita, memperlihatkan anggota kemaluan wanita, mencium, dsb (Pasal 281 KUHP R.Soesilo). Dalam pasal 72 KUHP yang mengatur tentang delik aduan, maka delik aduan dibedakan atas dua jenis yakni delik aduan absolut dan delik aduan relatif. Delik aduan absolut ialahdelik yang selalu hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan, seperti pasal : 284, 287, 293, 310, 332, 322 dan 369 KUHP. Sedangkan delik aduan relatif ialah delik yang biasanya bukan merupakan delik aduan, akan tetapi jika dilakukan oleh sanak keluarga, lalu menjadi delik aduan, seperti pasal : 367, 370, 376, 394, 404, dan 411 KUHP.

Kembali pada kejahatan kesusilaan, kiranya Pasal 310, 332, 322, 369 KUHP ini, tidak perlu diulas karena bukan kejahatan kesusilaan. Maka khusus pasal 284 (perzinahan), 287 (bersetubuh dengan perempuan yang belum cukup umur 15 tahun), dan 293 (pencabulan terhadap orang yang belum dewasa) mensyaratkan delik aduan absolut. Terlebih khusus pasal 287 dan 293 KUHP, kedua pasal ini terkait dengan pencabulan terhadap anak dibawah umur. Pasal 287 dan 293 pada ayat (2) menegaskan bahwa penuntutan untuk pasal ini hanya dilakukan kalau ada pengaduan.

Selain di KUHP, delik pencabulan anak juga diatur dalam UU Perlindungan Anak. UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pada pasal Pasal 76E menyatakan : “setiap orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.” Selanjutnya ditambahkan pada Pasal 82 UU a quo : “setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”

Delik pencabulan sebagaimana yang ada dalam UU Perlindungan Anak, jelas tidak mensyaratkan pengaduan. Sehingga delik pencabulan dalam UU Perlindungan Anak bukan merupakan delik aduan. Hal ini dapat dipahami sebagai bentuk perwujudan semangat terhadap perlindungan anak, bahkan pembentuk UU memberikan pemberatan terhadap pelaku. Delik ini termasuk dalam delik biasa (gewone delic). Konsekuensi dari delik biasa, yaitu untuk melakukan proses hukum terhadap perkara-perkara yang tergolong delik biasa tidak dibutuhkan pengaduan, namun karena keterbatasan aparat penegak hukum setidaknya dibutuhkan laporan masyarakat atau pihak terkait untuk melaporkan delik biasa ini.

KUHP dan UU Perlindungan Anak memang sama-sama mengatur perihal delik pencabulan anak. Namun demikian, UU Perlindungan Anak lebih sering dan tepat penggunaannya. Setidaknya ada tiga alasan, pertama, dalam hukum dikenal asas lex specialis derogat legi generalis (UU yang khusus mengenyampingkan UU umum). Artinya bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). UU Perlindungan Anak sebagai lex specialis mengesampingkan KUHP sebagailex generalis. Kedua, pengaturan mengenai delik pencabulan anak di UU Perlindungan Anak, lebih luas. Beberapa hal yang tidak diatur dalam KUHP, telah diakomodir di dalam UU Perlindungan Anak. Ketiga, ancaman pidana bagi pelaku pencabulan anak dalam UU Perlindungan Anak lebih berat. Dalam Pasal 82 UU a quo pelaku diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Sedangkan di dalam KUHP ancaman pidana bagi pelaku lebih ringan. Pasal 287 KUHP memuat ancaman pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun, pasal 293 KUHP memuat ancaman pidana penjara selama-lamanya lima tahun. Delik pencabulan anak yang diatur dalam UU Perlindungan Anak adalah delik biasa,sehingga konsekuensinya yakni bahwa proses hukum kasus pencabulan anak tidak dapat dihentikan. Pihak korban tidak berhak mencabut pengaduan, karena memang sejak dari awal proses (penyidikan) tidak mensyaratkan pengaduan. Proses hukum terhadap delik pencabulan anak tidak dapat dihentikan, karena delik biasa bukan delik aduan.

Pelaku Pencabulan Sama-sama Anak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun