Mohon tunggu...
Ben Ibratama
Ben Ibratama Mohon Tunggu... Konsultan - Tenaga Ahli

Tenaga Ahli DPR RI

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Politik Bipolar dan Matinya Nalar Publik

22 Mei 2019   21:36 Diperbarui: 22 Mei 2019   21:49 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Momentum inilah yang dimanfaatkan oleh para komprador politik untuk membombardir ruang publik sehingga tak sedikit masyarakat yang larut dalam kepercayaan palsu dan keyakinan semu. Teknik propaganda yang masif menjadi mesin utama yang terus digerakkan sehingga diharapkan mampu mengubah sikap dan prilaku publik. Perubahan sikap dan prilaku inilah yang dikonversi menjadi basis elektoral.

Hoaks dan Matinya Nalar

Konstruksi politik bipolar dan banjirnya hoaks menjadi salah satu penyebab matinya nalar publik. Hal ini biasanya diikuti dengan kemampuan litaerasi bermedia publik yang rendah, kemampuan memilah media dan memilih informasi kredibel yang minim. Hal ini membuat kita tidak memiliki preferensi yang baik dalam membaca dan menyimpulkan realita. 

Inilah yang mennyebabkan kritisnya nalar publik untuk berpikir kritis. Hoaks menjadi salah satu pemicu kita untuk bersikap irasional. Hoaks bukanlah sesuatu yang bisa dianggap sepele, butuh keahlian dan riset yang mendalam untuk mengkonstruksi sebuah pesan dalam hoaks, memetakan segmentasi dan target pasar, mengukur dampak dan menghitung benefit yang ditimbulkan. Jelas ini bukanlah orang yang bodoh, hanya saja tidak punya tanggung jawab moral demi kepentingan bisnis atau politik.

Media sosial menjadi salah alat yang berkontribusi untuk medistribusikan berbagai hoaks. Di era kebebasan seperti sekarang, setiap orang bisa menjadi produden, distributor, dan konsumen dalam bermedia. Pesan yang terkandung dalam hoaks merupakan pesan subliminal yang menyasar dan membakar emosional pembaca. Sehingga pembaca mudah menyimpulkan sesuatu tanpa melakukan verifikasi terhadap fakta yang ada. Contoh sederhana adalah hoaks mengenai "10 juta tenaga kerja asing dari Cina".

Secara literal kita akan menangkap pesan bahwa akan ada tenaga kerja Cina yang datang ke Indonesia, namun pesan subliminalnya bukanlah demikian. Ketika kita tidak memiliki filter yang mumpuni dalam menyaring informasi maka kita akan menangkap pesan subliminal dari berita tersebut. Apa pesan subliminalnya ? Ketidakadilan pemerintah, takut kehilangan pekerjaan, pemerintah yang tidak peduli dengan rakyat, dll. Akhirnya sebagian kita bereaksi berdasarkan informasi yang keliru.

Contoh kedua, pengutipan ayat kitab suci dengan metode cocoklogi menjadi bahan bakar yang sempurna untuk dijadikan justifikasi dalam mengkonstruksi sebuah pembenaran. 

Bahkan yang lagi hangat, pengutipan ayat kitab suci untuk mendeskreditkan kinerja KPU, tudahan KPU curang harus dilegitimasi dengan kutipan ayat kitab suci untuk mencari pembenaran oleh para komprador politik. Inilah yang namanya dagelan tingkat dewa. Anehnya, tak jarang di antara kolega kita yang percaya dan yakin terhadap hal ini.

Ini jelas penyesatan yang menabrak sekat sekat rasionalitas. Kalau kita percaya itu, maka  bukti paling nyata kesesatan berpikir yang sedang kita alami. Setidaknya kita memiliki dua kesalahan fatal dalam bernalar yaitu kemampuan memahami dan mengkontekstualisasikan ayat kitab suci secara proporsioanal dan ketidakpahaman kita terhadap aturan kerja KPU. 

Ayat kitab suci tersebut sudah pasti bukan untuk merespon keputusan atau sikap KPU dan keputusan KPU mengadakan rapat pleno dinihari pada tanggal 21 Mei 2019 lalu, bukan kesepakatan jahat yang dilakukan seperti yang dibaca dan dicocokkan dengan kutipan ayat kitab suci tersebut. Rapat pleno memang harus segera dilaksanakan ketika rekapitulasi selesai. Itu fakta. Jadi tidak ada yang salah.

Hoaks dan Demokrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun