Mohon tunggu...
Beni Sumarlin
Beni Sumarlin Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Humaniora Tinggal di Tulang Bawang Provinsi Lampung

Indahnya menulis karena hobi, menginspirasi dan memberi saran kritis dan solusi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mimpi Merdeka dari Kampung

18 Agustus 2016   12:54 Diperbarui: 18 Agustus 2016   13:00 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepenggal kisah nyata.

Ini kisah nyata yang terjadi disebuah desa. Suatu hari sorang mafia kelas teri di sebuah kampung menemukan mangsanya. Mangsanya kali ini adalah tetangganya sendiri seorang yatim yang hendak menjual tanahnya di lokasi pasar. Dengan berbagai cara ia akhirnya mendapatkan kewenangan menjualkan tanah yatim tersebut, si yatim tak mengira kalau tetangganya adalah makelar. Sang mafiapun mulai menawarkan tanah yatim itu kepada orang-orang.

Berhari-hari si yatim menunggu khabar jual beli tanahnya. Ia yang berharap dapat segera mendapatkan uang untuk membayar hutang-hutangnya tak kunjung mendapat khabar baik dari sang tetangga. Setiap kali sang tetangga mampir kerumah si yatim, selalu saja belum memberi kabar baik. Ada satu dua orang kaya yang katanya berminat membeli tanah itu, namun selalu saja ada kendala yang menyebabkanya tidak jadi membeli.

Hari berganti, minggu berselang, bulanpun berbilang, jual beli tanah itu belum ada perkembangan. Namun tak lama kemudian sang tetangga menyampaikan bahwa telah terjadi polemik terkait tanah itu, pihak kelurahan ingin mengambil alih tanah itu, karena tanah itu kosong dan rumahnyapun terlihat kumuh tak terurus, begitu katanya.
Bahkan sang tetangga sempat mengancam, jika pihak keluarga yatim berani mengurus tanah itu akan banyak urusan dengan pihak kepala desa dan bisa dipenjara.

Si yatim menjadi bingung, ia tak mampu mengadu kepada siapapun, tetangga-tentangganya tak banyak membantu apapun. Si yatim merenung sejenak, dalam hatinya ia berkata, "aku tak melakukan keburukan, niatku adalah kebaikan, apakah ada orang lain yang hendak mencelakakan?" Kemudian ia teringat tentang jamaah masjid di lingkungan pasar yang kabarnya membutuhkan tanah untuk dibangun lokasi mushola.
Iapun sampaikan kepada sang tetangga bahwa tanahnya yang separuh akan diwakafkan saja untuk mushola, separuhnya lagi tetap saja dijual karena ia membutuhkan uang untuk membayarkan hutang-hutangnya.

Singkat cerita, separuh tanahnya diwakafkan untuk pembangunan mushola, namun yang separuhnya lagi berhasil dijual sang tetangga dan si yatim hanya diberi sebagian kecil dari harga jual tanahnya, lebih dari 75% diembat sang tetangga. Si yatim diam saja, meski perasaan dongkol mengganjal di hatinya ia tak berbuat apapa. Dan ia tetap tak mampu membayarkan hutangnya.

Suatu hari ia mencoba menyelidik kemungkinan mengurus penipuan kepada dirinya dengan maksud mencari keadilan dan berharap uangnya yang lebih besar didapatkan, namun apa yang ia temukan? Ternyata ia menemukan tetangganya yang broker ini tidak sendirian, jaringan preman di kampungnya sudah siap melakukan perlawanan, mereka mudah saja untuk melakukan tindakan apapun jika si yatim melakukan pengusutan atau perlawanan. Jaringan dan backing para preman ini sudah bisa disebut mafia, karena telah sampai pada pejabat pemerintahan dan anggota dewan, karena menurut cerita ada anggota dewan yang duduk di kursi goyang disebabkan usaha mereka (preman) berjuang.

Akhirnya si yatim berkata, "Gusti Allah ara sare" (Tuhan tidak tidur).  Ia pasrah kepada Tuhan saja.

Kondisi seperti ini mungkin tidak saja terjadi pada satu kampung, masih banyak kampung-kampung di berbagai daerah memiliki jaringan mafia atau preman yang menghegemoni kehidupan masyarakat di desa-desa. Mereka tidak begitu kentara dalam melakukan aksinya, namun kejadian yang menimpa si yatim setidaknya memberikan pelajaran bagi kita tentang terkonsolidasikannya kebatilan berikut orang-orangnya.
Para pendukung kebatilan telah mengakar dari level pemerintahan sampai pada akar rumput ditengah masyarakat.

Tentu tidak asing bagi kita tentang budaya suap, korupsi, dan kolusi di pemerintahan kita. Orang-orang awampun di desa-desa telah terbiasa dengan budaya ini. Jika anak mereka ingin masuk polisi misalnya, mereka sudah mafhum harus menyediakan beratus juta untuk meloloskanya, itulah diantara keyakinan mereka berdasarkan pengalaman dan fakta yang ada. Rakyat kecil belum merdeka dari tekanan para mafia dan preman kampungan serta pejabat korup disetiap levelnya.

Kapankah kemerdekaan sejati bisa dirasakan rakyat kecil dan orang-orang yang terpinggirkan? Kebatilan telah terkonsolidasi, dari level tertinggi di pemerintahan sampai di kampung-kampung, mereka berpadu walaupun tak benar-benar menyatu. Kepentinganlah yang memadukan mereka disaat-saat tertentu. Keuntungan materi dan harta yang memadukan mereka dikala ada mangsa bersama-sama. Sikap sombong dan hawa nafsu yang memadukan mereka berbuat angkara. Tidak hanya dikota tapi juga di desa-desa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun