Mohon tunggu...
Benediktus Jonas
Benediktus Jonas Mohon Tunggu... Guru - GURU

Writing is a call to serve others and love God. Because everything I have comes from God

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Upacara Mendas Dayak Tamambaloh dan Maknanya bagi Hidup Kita

10 September 2021   23:53 Diperbarui: 10 September 2021   23:53 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Hari masih pagi saat aku dan Pastor Rafael meninggalkan Kota Putussibau menuju Banua Martinus. Ini adalah perjalanan pertamaku ke tempat ini setelah sebelumnya banyak mendengar cerita dari teman-teman yang pernah berkunjung.

Perjalanan dengan jarak tempuh sekitar 111,4 KM itu, terasa sangat menyenangkan. Kami disuguhi pemandangan yang indah dengan alam yang masih terawat. Hutan lebat, sungai yang lebar, bukit, lembah dan rumah panggung para penduduk memberi kesan tersendiri bagiku.

Setelah melewati hutan, kami masuk di perkampungan terus masuk hutan lagi. Begitulah seterusnya. Namun, lintasan yang kami lewati cukup menantang dan menguji nyali. Tidak jarang ditemui belokan yang tajam, lalu turun dan naik bukit. Di sini kami harus mengurangi kecepatan karena belum menguasai medan.

Setelah dua jam perjalanan, akhirnya kami tiba di Banua Martinus. Di sana kami di sambut oleh Pastor Markus, Pr. yang menjabat sebagai kepala paroki St Martinus. Kami juga berkesempatan mengunjungi Gereja Katolik St Martinus yang usianya sudah satu abad lebih.

Upacara Mendas Dayak Tamambaloh

Tujuan kunjungan kami ke Banua Martinus ialah mengikuti upacara mendas Baki (Kakek) Marius. Baki Marius ialah seorang tokoh gereja yang sangat berjasa dalam pembangunan iman umat Katolik di Banua Martinus hingga Badau. 

Umat di sana mengenal beliau sebagai pelayan yang setia. Sebab, sejak masa muda, ia mengikuti Para pastor dari Serikat Maria Montfortan (SMM) dalam pelayanan mereka mewartakan injil.

Kesetiaan Baki Marius juga, di tunjukkannya dengan pengabdian yang tulus hingga ajal menjemput. Seperti para pastor Katolik, beliau tidak menikah demi pelayanan kepada gereja, setia membawa barang para pastor, hingga menghibahkan tanahnya untuk membangun gereja.

Sebagai orang yang berjasa bagi umat dan gereja, penghormatan yang dalam bahasa di sana mendas penting dilaksanakan. Mendas adalah upacara penghormatan terakhir bagi orang yang sudah meninggal dunia.

Upacara mendas cukup rumit dan tidak bisa saya jelaskan semuanya. Dari rangkaian wawancara singkat dengan umat dan tokoh adat, mendas itu adalah budaya masyarakat Dayak Tamambaloh dalam penghormatan terakhir bagi yang meninggal dunia. Tradisi itu turun temurun.

Bagi saya, Mendas itu unik dan penuh muatan filosofi. Rangkaian acaranya memberi pesan tersendiri tentang hidup kita manusia. Pertama, tentang waktu. Upacaranya berlangsung selama dua malam, dimulai pada malam hari, berakhir malam hari berikutnya.

Di sini perhitungan waktu amat penting. Malam yang dimulai dari matahari terbenam melambangkan keabadian. Orang yang meninggal dunia adalah orang yang tenggelam lalu menghilang di kegelapan, seperti mentari ditelan bumi.

Kedua, bunyi. Bunyi memberi arti sendiri bagi kepercayaan Suku Dayak Tamambaloh. Selama mendas berlangsung, gong dan gendang dibunyikan secara bergantian oleh para petugas. 

Bunyi yang dihasilkan sangat khas. Bagi mereka, bunyi demikian adalah bunyi untuk memanggil para arwah. Setiap bunyian, disambut tarian adat dengan segala perlengkapannya.

Ketiga, simbol angka tujuh. Angka tujuh boleh dibilang angka keramat bagi Suku Dayak Tamambaloh. Angka 7 adalah lambang kematian dan diperuntukan bagi orang para arwah atau orang mati. Sedangkan angka 8 bagi orang hidup.

Orang yang sudah meninggal dunia diberi sajian yang dimasukan dalam manalayong. Sesajian yang diberikan itu adalah bekal mereka selama perjalanan ke dunia seberang. 

Manalayong itu  berbentuk persegi empat. Di luarnya terdapat lukisan khas dayak dan ditutup  dengan kain merah lalu digantung pada tiang dan menjadi pusat perhatian semua yang mengikuti mendas.

Manalayong berubah sebutan ketika sudah dimasukkan sesajian. Namanya berubah menjadi talayong. Sesajian yang diisi ialah kepala babi dan beragam sesajian berupa pulut, sumanan kalame, daun sirih, biji-bijian, dan nasi. Yang menyiapkan sesajian itu ialah mereka yang berusia di atas 60 tahun dan setiap sesajian harus berjumlah tujuh (7).

Setelah sesajian terisi, orang tua yang mengisi sesajian menari mengelilingi talayong sebanyak tujuh kali. Saat putaran ke delapan mereka cepat-cepat keluar dari tempat mereka menari lalu semua orang bersorak. Mengapa mereka cepat-cepat meninggalkan talayong? "Para arwah sudah siap menyantap sesajian di talayong, dan saat mereka hendak makan, orang hidup harus menjauh," jawab seorang ibu.

Upacara mendas itu berakhir dengan mengantar talayong ke kuburan. Keluarga almarhum dan sahabatnya diminta menghantar sesajian ke kuburan dengan berjalan kaki.

Itulah ceritaku mengikuti mendas suku Dayak Tamambaloh. Ada rasa bangga dan kagum, akan kekhasan budaya nusantara. Tetapi juga prihatin mendengar cerita sesepuh di suku  itu, " banyak orang muda tidak memiliki perhatian pada budaya. Mereka lebih senang budaya luar dibandingkan mempertahankan budaya sukunya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun