Mohon tunggu...
Wulan Setyawati Hermawan
Wulan Setyawati Hermawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

choose to grow, self. 🌼

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dialek Ngapak Sebagai Subkultur Budaya Jawa

22 Maret 2021   22:08 Diperbarui: 22 Maret 2021   22:14 1232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.ciptaloka.com

Keragaman suku bangsa dan bahasa di Indonesia merupakan salah satu kelebihan dan kekayaan yang tak ternilai harganya. Dilansir dari kemlu.go.id, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.508 pulau dan memiliki lebih dari 360 suku bangsa. Tak heran, sejaka zaman Majapahit, Indonesia dikenal dengan nama Nusantara. 

Dengan keragaman suku bangsa yang ada di Indonesia, hal ini juga menunjukan keragaman budaya, tradisi, dan bahasa. Ethnologue Language of the World mengungkap bahwa Indonesia memiliki kurang lebih 710 bahasa. Meskipun demikian, suku dan populasi terbanyak di Indonesia merupakan suku Jawa, yang berjumlah 40% dari total populasi yang ada di Indonesia. (BPS, 2018). Dari hal ini, kita juga dapat menyimpulkan bahwa mayoritas orang Indonesia mampu berbahasa Jawa.

Sekilas Tentang Budaya Populer

Ada begitu banyak cara dan perspektif untuk memahami budaya populer, dalam Storey (2015 : 5-13) dijelaskan terdapat enam definisi berbeda mengenai budaya populer. Pertama, budaya populer adalah budaya yang disuka oleh banyak. Kedua, budaya populer adalah budaya yang tersisa dari  high culture. Ketiga, budaya populer adalah budaya massa, karena diproduksi secara massal untuk dikonsumsi. Keempat, budaya populer adalah budaya yang diciptakan oleh masyarakat, definisi ini hanya berlaku bagi budaya asli dari masyarakat, karena budaya populer adalah budaya rakyat. Kelima, sebagai analisis politik dalam konsep hegemoni. Keenam, budaya populer adalah pemikiran terkini mengenai postmodern. 

Dari berbagai definisi tersebut, kita dapat melihat bahwa Suku Jawa dapat dikategorikan sebagai budaya populer. Hal ini berhubungan dengan definisi keempat di mana budaya populer yakni budaya yang diciptakan dan budaya asli masyarakat, serta definisi kelima budaya populer sebagai suatu hegemoni. Hegemoni sendiri berarti dominasi terhadap kelompok lain sehingga nilai-nilainya diterima oleh kelompok terkait. Suku Jawa merupakan salah satu suku dengan jumlah banyak dan cukup menghegemoni dalam masyarakat. Hegemoni yang dilakukan tidak dalam bentuk kekerasan, melainkan dalam bentuk dominasi di berbagai sektor, seperti ekonomi, sosial, politik, hingga hiburan. Contohnya adalah adanya acara Opera Van Java yang ditayangkan di televisi nasional dan mengangkat budaya dari Suku Jawa.

Suku Jawa

Sebagai suku yang paling dominan, Suku Jawa tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Mayoritas Suku Jawa tentunya menempati wilayah di Pulau Jawa, dengan berbagai provinsi seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, dll. Secara umum, Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa yang memiliki tingkatan. Tingkatan ini didasari pada perbedaan usia, status, hubungan, dll. Bahasa dengan tingkatan yang dimaksud adalah Bahasa Jawa Krama dan Bahasa Jawa Ngoko. Tidak hanya itu, Suku Jawa juga memiliki berbagai keragaman budaya di setiap daerahnya, yang disebut sebagai sub-budaya atau subkultur.  Beberapa hal yang dapat membedakannya dengan yang lain adalah penggunaan bahasa, pemilihan kata, hingga dialek dan logat yang dimiliki. 

Dialek merupakan salah satu cara untuk memberikan penanda atau identitas budaya kepada subkuktur. Dialek masing-masing daerah berbeda, walaupun berada di satu pulau dan satu suku. Hal ini juga berlaku bagi Suku Jawa yang memiliki cara atau sistem masing-masing dalam berbahasa. Berbagai dialek yang ada di dalam Bahasa Jawa, antara lain: Dialek Pesisir, Dialek Banyumasan (Ngapak), Dialek Jawa Timur, Dialek Surakarta, dan berbagai dialek serta sub-dialek lainnya. Dalam hal ini, dialek yang akan dibahas lebih dalam adalah Dialek Banyumasan (Ngapak).

Dialek Ngapak

Dialek Banyumasan atau yang lebih dikenal sebagai Dialek Ngapak merupakan salah satu subkultur dari Budaya Jawa. Daerah yang menggunakan dialek ini tidak hanya daerah Banyumas saja, secara spesifiknya yakni Karesidenan Banyumas yang terdiri dari Banyumas, Purbalingga, Cilacap, dan Banjarnegara. Lokasi daerah yang memiliki Dialek Ngapak ini dulunya merupakan daerah yang jauh dari pusat kekuasaan, sehingga masyarakatnya sangat jarang dipengaruhi oleh budaya ningrat atau bangsawan. Dialek ini merupakan kultur bahasa yang dibentuk sendiri oleh masyarakat dan masih eksis dan digunakan hingga saat ini. Dilansir dari Herusatoto dalam Pawestri (2019 : 257), dialek ini disebut sebagai Jawa Ngapak karena memiliki pengucapan vokal a dan o, serta konsonan b, d, k, g, h, y, k, l, dan w yang sangat tegas dan mantap disertai penekanan yang khas. Dengan ciri khasnya, Dialek Ngapak ini sangat terkenal dan merupakan salah satu dialek Jawa yang paling mudah dikenal oleh masyarakat.

Identitas Politik

Suku Jawa merupakan suku yang cukup populer dan mendominasi, namun dengan adanya dialek kita dapat membedakan berbagai subkultur lain yang dimiliki oleh budaya dan suku tersebut.  Melihat realitas yang ada, Dialek Ngapak memiliki stereotype tertentu dalam masyarakat. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Susomono, didapatkan bahwa banyak masyarakat yang beranggapan Dialek Ngapak berasal dari kelompok marginal atau desa yang terpinggirkan. Hal ini dikarenakan bahasa yang digunakan dianggap kasar dan cukup inferior dibandingkan bahasa Jawa Surakarta yang dianggap sebagai karakter Budaya Jawa. Di sisi lain, banyak dari masyarakat yang menganggap bahwa Dialek Ngapak merupakan suatu bahasa yang lucu. Karena kekhasan yang dimilikinya dibandingkan Dialek Jawa lainnya. 

Menurut pengalaman saya pribadi, sebagai salah satu pengguna Dialek Ngapak, cara bicara saya dianggap lucu oleh teman-teman yang berasal dari daerah lain. Hal ini dikarenakan pelafalan dan kekhasan Dialek Ngapak yang cenderung mantap. Dari hal ini, muncullah istilah "ora ngapak, ora kepenak", yang berarti tidak ngapak, tidak enak. Namun dari hal tersebut menjadikan dialek yang saya miliki sebagai identitas diri saya yang membedakan dengan orang lain, khususnya orang yang berbeda daerah. Dialek ini dianggap unik dan menarik, salah satu contoh yang pernah saya alami adalah sering kali saya mengucapkan "inyong kencot", yang berarti "saya lapar". Ketika saya mengucapkan kata-kata tersebut tidak sedikit dari teman saya yang tertawa dan mengikuti apa yang saya katakan. Banyak pula dari mereka yang meminta untuk diajarkan bagaimana Dialek Ngapak itu. Dialek Ngapak sebagai subkultur Budaya Jawa terkadang dipandang sebelah mata, namun memiliki karakter dan identitas yang kuat.

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik. (2018). Mengulik data suku di Indonesia. diakses dari: https://www.bps.go.id/news/2015/11/18/127/mengulik-data-suku-diindonesia.html+&cd=3&hl=en&ct=cl nk&gl=id 

Ethnologue Language of the World. (2021). Indonesian. diakses dari https://www.ethnologue.com/language/IND 

Kementerian Republik Indonesia. (2018). Indonesia. diakses dari https://kemlu.go.id/canberra/id/read/indonesia/2186/etc-menu#:~:text=Indonesia%20merupakan%20negara%20kepulauan%20terbesar,aneka%20kulinari%20yang%20menggugah%20selera.\

Pawestri, A. G. (2019). Membangun identitas budaya banyumasan melalui dialek ngapak di media sosial. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra. 19(2). diakses dari  https://ejournal.upi.edu/index.php/BS_JPBSP/article/view/24791

Storey, J. (2015). Cultural theory and popular culture (7th ed.). Oxon: Routledge.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun