Mohon tunggu...
Ben Sadhana
Ben Sadhana Mohon Tunggu... Pengecer Kata -

Penikmat malam yang selalu merindukan pagi IG : @ben_sadhana Twitter : @BenSadhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Salon

3 Juli 2018   12:34 Diperbarui: 3 Juli 2018   12:35 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kembali lagi nanti ya," Ucapnya yang kubalas dengan senyum, "Pastinya." Dengan riang Anne mengiringiku ke pintu. Ini adalah kali kedua aku ke salon-nya. Setelah berpindah-pindah berganti salon, akhirnya aku menemukan salon yang sesuai juga batinku.Sebenarnya bukan salon istimewa sih, selain tempatnya yang di dalam gang kecil dan salonnya sendiri tidak begitu luas, mungkin malah lebih pas dibilang sempit. Dari spion scooter-ku tampak wajahnya masih menyembul dari balik pintu salon dengan seulas senyumnya.

Di kantor, kawan-kawan serumpiku memuji penampilanku kali ini. Tak kurang Roby, cowok yang biasanya dingin selalu memasang wajah cuek, kali ini wajahnya tiga kali tertangkap mencuri pandang ke arahku. Ah, akhirnya meleleh juga kamu, kata hatiku. Risma yang baru datang dengan serempong bawaannya menatapku lekat-lekat.

"Amboy bidadari baru dari mana yeee ?" yang langsung disambut geerr para punggawa rumpi.

"Bidadari dari rawapening," kataku cuek sambil mengudap cakwee.

"Boleh juga nih, tumben kamu mau ke salon kelas wahid," katanya dengan tangannya membelai rambutku. "Biasanya kamu pelit buat penampilan," imbuhnya.

"Bolehlah sekali-kali," Jawabku.

Di kantin kulihat Roby di tempat kesukaannya, spot pojok dekat jendela. Entah apa menariknya tempat itu, dekat dengan toilet dan wastafel; yang bagiku pasti tidak nyaman karena akan banyak orang mondar-mandir di sekitarnya, belum lagi bila kecripratan air cucian tangan dari wastafel. Aku pun sebenarnya punya tempat favorit di kantin ini, tapi kali ini sudah kalah cepat ketika kulihat sudah ada dua orang duduk di tempat biasa aku duduk buat makan.

"Di sana aja," kata Rosa, telunjuknya mengarah ke meja yang masih longgar cukup buat empat orang.

Kulihat Roby tetap tenang ketika aku melaluinya, tapi sudut matanya tidak bisa berbohong ketika kutangkap diam-diam dia melirik ke arah kami.

"Duh, kayanya ada yang kena pelet si manusia es nih," suara Risma mengagetkanku, diiringi cekikikan gankrumpi lainnya.

"Siapa juga," kataku berusaha menghindar -- Tidak nyaman juga arah mataku tidak luput dari perhatian anak-anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun