Mohon tunggu...
Ben Baharuddin Nur
Ben Baharuddin Nur Mohon Tunggu... Profesional -

Menulis untuk berbagi, membaca untuk memahami dan bekerja untuk ibadah, Insya Allah. | email: ben.bnur@gmail.com | twitter :@bens_369

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Menyoal Logat dan Dialek Debt Collector

1 April 2014   18:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:13 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memahami Fenomena Linguistic Prejudice | Ilustrasi: time4teablog.wordpress.com

[caption id="" align="aligncenter" width="638" caption="Memahami Fenomena Linguistic Prejudice | Ilustrasi: time4teablog.wordpress.com"][/caption]

Kawan saya terlihat kuyu dan sedikit agak pucat setelah meletakkan telpon genggamnya di meja. Bunyi casing handphone yang beradu dengan meja berlapis kaca agak berderik mengisyaratkan pemilik handphone sedang galau atau mungkin memendam marah yang tak terluapkan.

“Masa saya baru terlambat dua bulan ngomongnya sekasar itu,” rungut kawan saya entah kepada siapa. Terus terang saya tidak tega mengangkat kepala. Tanpa ia perlu beritahu, saya yakin 80 persen ia baru saja ditelpon oleh penagih hutang alias debt collector.

“Kenapa sih orang-orang di Timur kasar-kasar gitu bang Ben? Apa di kampungnya memang begitu bang? Celoteh teman saya dengan raut wajah berubah dari pucat kini memerah memendam kemarahan yang tampak mengalami eskalasi.

“Tahu dari mana mas itu orang Timur?” Tanya saya agak pelan untuk tidak terkesan saya sedang mendebatnya.

“Ya orang mana lagi yang dialeknya kayak gitu bang, itu pasti orang ****** deh!”  Kawan saya menimpali masih dengan nada tinggi. Untung kami cuma berdua di ruangan, konsultan lain sudah pada pulang. Bayu, sebut saja namanya begitu, staf administrasi kami. barusan menyebut satu nama suku di negeri ini dengan nada terkesan benci.

“Tenang mas, saya tahu itu tidak enak, saya juga pernah mengalaminya koq. Mas Bayu boleh tanya ke teman-teman di ruangan ini besok, bagaimana saya tahun lalu dimaki-maki dengan kalimat kasar hanya karena urusan uang Rp. 280.000,-“

“Oh ya? Koq bisa bang? Tanya Bayu mulai lebih tenang merasa bukan dia saja yang pernah mendapatkan perlakuan kasar seperti itu.

Saya lalu menceritakan bagaimana saya dituduh berhutang pada salah satu bank karena kelalaian saya berhenti menggunakan  ATM salah satu bank besar di negeri ini. Rupanya sepanjang waktu itu saya masih dikenakan biaya administrasi dan macam-macam. Dan setelah dua tahun sejak rekening saya diblokir saya terutang Rp.280.000,- dan ternyata oleh manajemen bank itu dialihkan ke debt collector bersama dengan penunggak kelas kakap lainnya.

Saya masih ingat suara perempuan itu dengan dialek khas daerah tertentu dengan nada suara tinggi. Ia sampai mengancam akan datang ke kantor saya untuk mempermalukan saya karena katanya saya sengaja menghindar. Saya menanyakan apa duduk masalahnya, dia cuma bilang saya berutang di bank kliennya dan minta saya ke kantornya di bilangan Jakarta Selatan untuk menyelesaikan pembayaran paling lambat besok pagi.

Ketika keesokan paginya saya ke alamat kantor yang disebutkan, saya memilih bertemu langsung dengan pimpinannya. Rupanya itu perusahaan debt collector. Setelah berkas saya dia buka, ia juga sempat terperanjat mengetahui betapa tidak seimbangnya perlakuan yang saya terima dengan utang yang saya harus bayar.

Setelah memberi pengantar menggunakan form dari perusahaan debt collector itu, saya ke Bank tempat saya pernah menabung dan mengisi form resmi penutupan rekening. Dari bank itu, saya harus kembali ke kantor debt collector untuk memastikan penutupan kasus saya.

Selain minta maaf, si Bos perusahaan itu berjanji akan menegur stafnya yang katanya sudah dua hari tidak masuk kantor. Saya tahu itu cuma dalih karena saya melakukan crosscheck ke sekuriti dan dia ada. Satu hal yang kemudian saya adalah bahwa perempuan itu bukan orang dari Timur sebagaimana yang awal saya sangkakan berdasar dialeknya saat berbicara di telpon. Ternyata ia salah satu suku di negeri ini yang saya tahu persis suku ini dikenal luas sangat halus dalam bertutur kata, apalagi kaum perempuannya. Namanyapun yang dimirip-miripkan dengan nama perempuan dari Timur ternyata hanya nama pamnggilan, bukan nama sebenarnya.

Linguistic Prejudice

Dari kejadian itu saya akhirnya mengenal fenomena yang disebut linguistic prejudice.Ternyata fenomena ini terjadi di hampir semua negara. Karena orang Timur terlanjur disangkakan sebagai suku yang relatif “keras” maka ketika dia menelpon saya dalam posisinya sebagai penagih, dialek atau logatnya dibuat sedemikian rupa untuk memberi kesan dia dari suku tertentu di kawasan Timur. Kalau saya teryakinkan dengan sangkaan saya, maka harapan si penelpon agar saya memaklumi bahwa dia keras, bisa memaksa dan berani melakukan apa saja kepada saya.

Lingustic prejudice menurut ensiklopedia Wikipedia adalah asosiasi antara dialek atau logat (linguistic) yang digunakan seseorang atau kelompok orang dengan sangkaan (prejudice)  atau persepsi tertentu, misalnya sangkaan yang berkaitan dengan intelektualitas, status sosial, sifat, pembawaan, karakter dan sebagainya.

Di antara penutur bahasa Inggris di Amerika juga terdapat sejumlah dialeg. Yang paling umum dikenal adalah dialeg orang Selatan Amerika (Southeners) dan dialek orang Utara Amerika (Northeners). Orang-orang berdialek Selatan banyak dipersepsikan sebagai orang-orang yang kurang intelek.

Sementara orang yang berdialek Utara dipersepsikan memiliki karakter yang kurang baik. Makanya orang Amerika terbiasa dengan sadar menghilangkan dialek agar tidak dipersepsikan pada salah satu kelompok yang terlanjur diasosiasikan atau dipersepsikan memiliki kecenderungan tertentu yang bersifat negatif.

Linguistic Prejudice ini juga sering dikaitkan dengan prestise. Ada dialek atau logat tertentu di negeri ini yang dipersepsikan sebagai ciri orang-orang metropolis. Peranan televisi melalui tayangan sinetron yang secara terus-menerus, entah disengaja atau tidak, membentuk persepsi terhadap suatu logat sebagai milik kaum metropolis.

Fenonema ini bisa menjelaskan mengapa hampir semua sinetron di negeri ini dibuat di ibukota atau paling banter di pulau Jawa. Sementara sinetron dari daerah, terutama dari kawasan Timur Indonesia tidak bisa berkembang akibat kegamangan linguistik yang belum ditemukan solusinya hingga sekarang.

Bisa dibayangkan bila sinetron daerah harus tayang di layar kaca TV nasional dan harus menggunakan logat kalangan remaja metropolis agar tidak terkesan kampungan, pasti sinetron itu akan disebut sinetron “sok logat”. Kalau produser mengatakan tidak berani menayangkan sinteron daerah yang berlogat lokal di tivi nasional karena takut disebut sinteron “kampungan” yang berpotensi tidak laku, ini bukan lagi disebut Lingustic Prejudice.

Bila sampai karena urusan logat dan dialek sehingga masyarakat bahkan pelaku dunia persinetronan melakukan pemilahan, ini biasanya disebut sebagai fenomena Linguistic Discrimination. Diskriminasi yang dilakukan dengan sengaja maupun tidak dikarenakan pertimbangan dialek atau logat. Fenomena ini akan saya bahas dalam artikel berikutnya.

Pembelajarannya

Kita harus belajar untuk tidak buru-buru menyangkakan atau menstempel jidat seseorang hanya karena soal dialek dan logatnya. Kita sedapat mungkin lebih bijak menilai bahwa soal keras, kasar dan sebagainya itu masalah karakter individu.

Di kawasan Timur Indonesia yang dialeknya khas juga banyak orang yang baik, lembut dan berhati salju. Sebaliknya di Barat Indonesia, tidak sedikit juga yang wataknya kasar, keras dan sewaktu-waktu bisa berperilaku sadis. So do not judge the book from its cover!

-------------------- @ben369 --------------------

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun