Mohon tunggu...
Ben Baharuddin Nur
Ben Baharuddin Nur Mohon Tunggu... Profesional -

Menulis untuk berbagi, membaca untuk memahami dan bekerja untuk ibadah, Insya Allah. | email: ben.bnur@gmail.com | twitter :@bens_369

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Menikmati Syahdunya Ibadah Ramadhan Tanpa Lonjakan Harga

16 Juli 2014   11:35 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:11 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_333856" align="aligncenter" width="638" caption="Penyelenggaraan Pasar Murah, salah satu upaya membantu mengurangi beban masyarakat kurang mampu dari akibat inflasi, terutama pada hari-hari raya keagamaan | Foto: www.tribunnews.com"][/caption]

Seakan menjadi sebuah keharusan, bahwa setiap Ramadhan dan hari raya Idul Fitri, harga sembilan bahan pokok harus naik dan diterima sebagai suatu realitas. lalu biaya angkutan mudik juga boleh menyesuaikan untuk naik. “Ya kapan lagi bisa dapat untung lebih, sekali setahun lah,” Ujar Baim sopir bus antar propinsi di Terminal Kalideres.

Rupanya si Baim juga punya tradisi meminta kenaikan tunjangan hari raya dari Bosnya. Si Bos tentu saja tidak mau rugi sehingga membebankan kenaikan itu kepada penumpang. Penumpang yang kebetulan kebanyakan adalah pekerja dan buruh sepertinya sadar bahwa bahan pokok dan angkutan naik, maka bersama teman-temannya juga menuntut kenaikan tunjangan hari raya.

Pedagang yang mendengar dari bisik-bisik tetangga kalau si Baim, Udin, Bona yang pegawai negeri sipil (PNS) bahkan mendapatkan gaji ke-13 menyerupai THR ikut-ikutan menaikkan harga dagangannya jauh hari, berharap untung lebih dari bulan-bulan biasanya.

Begitulah tradisi lebaran dan hari raya keagamaan di negeri ini. Hampir semua berharap lebih dan memang mendapatakan lebih. Untung lebih, gaji lebih, tapi harga-harga juga lebih tinggi. Yang kerepotan adalah rakyat kecil kebanyakan yang tak berurusan dengan kenaikan upah, THR, Gaji Bulan ke-13 dan sebagainya tetapi harus ikut memikul kenaikan harga kebutuhan bahan pokok yang tidak bisa dihindari.

Itulah yang disebut inflasi. Suatu istilah keuangan atau moneter sebenarnya untuk menyebut peningkatan jumlah uang yang beredar yang menyebabkan peningkatan daya beli masyarakat, kini menjadi istilah umum bila terjadi kenaikan harga karena sebab apapun. Jadi sebenarnya inflasi adalah sesuatu yang pasti terjadi dalam perekonomian yang dinamis.

Menjadi penting untuk mempertanyakan apakah inflasi itu suatu kondisi yang baik atau buruk? Sekarang ini, cenderung inflasi itu diartikan sebagai hal yang buruk. Bila inflasi terjadi seakan orang-orang akan susah. Padahal sejatinya tidak demikian. Inflasi itu ibarat situasi pertumbuhan pada tubuh manusia. Apakahbaik kalau tubuh tidak pernah bertumbuh? Kulit tidak berganti, rambut begitu-begitu saja sampai menjadi gimbal? Tentu saja tidak baik. Semua organ tubuh perlu bertumbuh agar terjadi penyegaran dan penguatan.

Sebaliknya kalau tubuh tumbuh tidak terkendali alias terlalu cepat, juga pasti tidak baik. Bayangkan bila berat badan seseorang tumbuh lebih cepat dari kemampuan tulang untuk menopangnya, pasti seseorang itu akan mengalami kelumpuhan.

Maka pertumbuhan yang disebut baik adalah yang proporsional. Organ tubuh bertumbuh sesuai daya dukung gizi dan asupan yang tersedia. Artinya inflasi atau kenaikan harga naik secara proporsional sesuai kemanfaatan yang bisa diterima masyarakat dan kemampuan untuk menopangnya. Itulah yang disebut inflasi yang ideal, inflasi yang istilahnya stabil, bukan berhenti alias stagnant.

Cobalah anda pada posisi pengusaha atau pedagang yang menghadapi realitas barang dagangan atau jasa yang anda jual tidak pernah sedikitpun mengalami kenaikan. Pada saat yang sama bahan baku yang anda perlukan yang kebetulan anda impor sudah dua atau tiga kali mengalami kenaikan. Saat yang bersamaan karyawan juga meminta kenaikan gaji yang bila tidak dipenuhi kemungkinan berhenti bekerja. Maka inflasi yang wajar bisa jadi menjadi faktor penyelamat usaha anda.

Jadi bila selama Ramadhan ini harga-harga mengalami kenaikan dibanding bulan biasanya, jangan lantas dituduh Pemerintah gagal mengendalikan inflasi. Sejauh kenaikannya proporsional, pengusaha atau pedagang mengambil keuntungan yang wajar, daya beli masyarakat menjangkau dan kalangan kurang mampu terayomi dengan kegiatan operasi pasar, pasar murah serta subsidi yang tepat sasaran, maka inflasi seharusnya diterima sebagai bagian dari dinamika perekonomian.

Dari bulan Januari hingga Juni 2014 ini menurut data terakhir Bank Indonesia, inflasi mengalami penurunan yang signifikan dimana pada bulan Januari 2014 inflasi tercatat 8,22% dan terus menurun hingga Juni dimana kini hanya mencapai 6,70%. Artinya bila dihubungkan dengan target inflasi Indonesia tahun 2014 yang diharapkan berada pada angka 4,5% plus minus 1%, sepertinya trend penurunan tersebut memberikan optimisme.

Untuk dimaklumi, inflasi pada awal-awal kuartal pertama 2014 ini terutama dipicu oleh kelangkaan pasokan kebutuhan pokok di daerah akibat bencana alam banjir yang memutus rantai pasokan ke sejumlah daerah. Lonjakan harga yang terjadi meski sifatnya temporer namun telah menyebabkan kenaikan harga yang cukup membebani konsumen.

Melihat kecenderungan penurunan inflasi hingga memasuki Ramadhan, pemerintah dan masyarakat boleh optimis bahwa inflasi selama Ramadhan dan Idul Fitri dapat terkendali. Artinya masyarakat bisa berpuasa dan berlebaran dengan khusyu karena pangan dan sandang tersedia dengan volume yang cukup dan harga yang terjangkau.

Optimisme ini diperkuat dengan kenyataan betapa gonjang-ganjing Pemilu Legislatif dan Presiden yang terkadang diselingi kabar akan terjadinya kerusuhan dan semacamnya, ternyata tidak membuat masyarakat panik dan buru-buru (rush) dalam berbelanja kebutuhan pangan dalam jumlah melebihi kewajaran. Kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan ketahanan nasional Indonesia dalam berbagai aspek kiranya patut disyukuri dan dipelihara.

Itulah sebahagian isu yang diobrolkan dalam acara Ngobrol Ramadhandan Lebaran serta buka puasa Kompasiana bareng Bank Indonesia bertema “Ramadhan Harga Stabil” yang diselenggarakan pada Jumat sore (11/07) di Ruang Konferensi Pers, Gedung Thamrin Lantai 1 kompleks Kantor Pusat Bank Indonesia.

Gak Naik, Gak Seru !

Selain dihadiri oleh sekitar 120 Kompasianer, juga sejumlah Petinggi dari Bank Indonesia sendiri, Kementerian Keuangan, Kementerian Koordinator Perekonomian dan Kementerian Dalam Negeri turut hadir sebagai narasumber.

Pihak Kompasiana yang diwakili Pepih Nugraha tentu saja sangat mengapresiasi kegiatan Ngobrol Bareng sambil menunggu buka puasa dengan Bank Indonesia ini yang menurutnya sudah merupakan tradisi Kompasiana.

Kepala Divisi Strategi Komunikasi, Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Hestu Wibowo yang memberikan sambuatan mewakili BI, dengan nada bercanda mengaku sempat bepikir beberapa saat sebelum memutuskan mengambil topik inflasi sebagai pokok pembicaraan dan diskusi dengan para Kompasianer, mengingat pengertian inflasi ini diakuinya mungkin belum banyak diketahui masyarakat umum.

“Tapi kita akan coba lihat nanti apakah pembicaraan tentang inflasi ini nyambung nggak dengan para kompasianer,” gurau Hestu. “Kita berharap topik inflasi ini bisa menjadi trending topic pembahasan di kalangan kompasianer.”

Menurut Hestu Wibowo, Ramdhan dan lebaran adalah peristiwa yang sudah berulang sehingga sebenarnya kenaikan kebutuhan sudah bisa diperkirakan dan dipasok oleh pedagang jauh hari. Tetapi faktanya, selalu saja pangan, sandang dan kebutuhan lainnya menjelang dan selama Ramdhan naik.

“Kalau minjem istilah yang biasa disebut di iklan, kalau gak naik gak seru, gitu!” seloroh Hestu. Makanya, lanjut Hestu, Bank Indonesia sengaja mengundang sejumlah narasumber untuk membicarakan fenomena yang tidak lagi sebatas urusan moneter ini agar Kompasianer dapat memahami fenomena inflasi ini secara lebih komprehensif untuk ke depannya dapat menjelaskan masalah terjadinya inflasi dalam tulisan-tulisan mereka secara lebih lengkap.

Spekulasi Pedagang dan Inflasi

Obrolan tentang inflasi yang dimoderatori oleh Wakil Dekatur Pelaksana Kompas.com, Heru Margianto yang dikalangan sejawatnya lebih akrab dipanggil “Mbonk”. Ia mengaku sudah capek menjelaskan darimana asal kata “Mbonk” sehingga mempersilahkan siapa saja yang penasaran untuk mencari tahu melalui mesin pencari google. Suasana cair dan akrab membuat diskusi yang seharusnya rada berat, apalagi menjelang buka puasa menjadi lebih ringan berkat kepiawaian Mbonk menyelipkan joke diantara penjelasan-penjelasan para pembicara.

Deputi Direktur Kebijakan Moneter Bank Indonesia, Arief Hartawan yang didaulat sebagai pembicara pertama mengakui kalau inflasi tahun ini lebih baik dibanding pada periode yang sama tahun sebelumnya. “Inflasi kita hanya berada pada kisaran 1,0 hingga 1,99 persen sejak Januari hingga sekarang ini,” jelas Arief.

Kondisi yang baik ini dikarenakan selama periode 2014 ini praktis tidak ada pemicu inflasi yang cukup berarti. Pemicu yang oleh Arief Hartawan disebut sebagai shocker atau ‘pengejut’ yang biasanya memicu kenaikan harga barang atau komoditas lainnya misalnya terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik (TDL) dan lain-lain.

Faktor cuaca yang dapat menyebabkan bencana alam, gagal panen, hambatan distribusi dan pengolahan juga adalah pemicu inflasi yang patut diwaspadai. Bila kemungkinan kemarau tahun ini lebih cepat datangnya atau gangguan musim tanam akibat cuaca ekstrim sebangsa El Nino berpengaruh signifikan, itu bisa mempengaruhi inflasi hingga akhir 2014.

Kalau yang disebutkan tadi pada akhirnya memicu inflasi, mungkin masih dianggap hal yang wajar. Namun bila kenaikan harga akibat sesuatu perilaku manusia, sebutlah kenaikan sebelum dan selama Ramadhan bahlan hingga lebaran. “Karena ulah pengusaha yang berusaha meraup untung lebih dengan memanfaatkan suasana psikologi masyarakat yang selalu memaklumi bila harga-harga naik di bulan Ramadhan, itu yang sering kita sesalkan.” Tegas Arief.

Agar dipahami bahwa yang namanya pedagang atau pengusaha dimana-mana di seluruh dunia pasti tujuannya adalah mengejar keuntungan sebesar mungkin (maximum profit).Itu adalah motif atau hukum ekonomi yang berlaku universal. Makanya, kata Arief Hartawan, pemerintah juga harus kompak dan mengembangkan kiat-kiat khusus, terutama di daerah untuk mengurangi dampak dari inflasi semacam itu.

“Padahal pasokan cukup. Kalaupun meningkat, tentunya sudah diantisipasi sebagaimana tahun-tahun sebelumnya,” jelas Arief mengisyaratkan spekulasi pengusaha sebagai faktor yang paling memungkinkan lonjakan harga sebelum dan selama Ramdhan bahkan hingga lebaran.

Ia mencontohkan bagaimana kota seperti Bekasi, Depok dan Tangerang yang seharusnya tidak mengalami lonjakan harga pangan karena kota-kota tersebut adalah daerah transit perdagangan produk pangan dari daerah-daerah pulau Jawa lainnya. Faktanya, kata Arief, mereka harus memikul harga lebih tinggi karena kekurangan pasokan kebutuhan pokok.

“Jadi produk pangan itu oleh pedagang ditumpuk di Jakarta dari berbagai daerah lalu dikirim lagi ke daerah termasuk Depok, Tangerang dan Bekasi itu,” urai Arief Hartawan menggambarkan bagaimana perilaku pengusaha bisa mempengaruhi inflasi selain faktor-faktor moneter yang selama ini sudah diketahui dan berhasil dikendalikan dengan baik oleh Bank Indonesia.

Lonjakan harga akibat spekulasi pengusaha ini tidak hanya terjadi di Jawa bahkan terjadi merata di luar pulau Jawa seperti di Kalimantan, Sumatera, Papua, Sulawesi, Maluku dan kawawasan Timur Indonesia lainnya.

Spekulasi pengusaha memang merupakan permasalahan perekonomian yang bisa terjadi di berbagai sektor dan komoditas. Di sinilah Bank Indonesia melihat pentingnya keterlibatan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dalam urusan pengendalian inflasi ini.

[caption id="attachment_333857" align="aligncenter" width="638" caption="Berbeda dengan Pasar Murah, Operasi Pasar dilakukan pemerintah bekerjasama BUMN/ BUMD Pemerintah untuk memasok barang dalam jumlah besar seperti gula, beras, minyak goreng dan sebagainya untuk tujuan menstabilkan harga atau menurunkan inflasi yang biasanya dipermainkan oleh pedagang | Foto: www.kanalsatu.com"]

14054558611842383439
14054558611842383439
[/caption]

Pasar Murah dan Operasi Pasar

Bila anda pernah melihat atau ikut membeli barang kebutuhan pokok di bawah harga normal yang digelar oleh berbagai lembaga, baik pemerintah maupun swasta, biasanya juga dikaitkan dengan kegiatan tanggungjawab sosial korporasi (CSR), sebenarnya itu adalah salah satu kiat yang bisa ditempuh untuk mengurangi beban masyarakat akibat dampak inflasi.

Semua orang pasti butuh makan nasi, butuh menggoreng lauk dan tentu saja minum kopi atau teh manis. Bisa dibayangkan betapa menyakitkannya bila uang yang terbatas jumlahnya tidak bisa menjangkau sekedar untuk membeli beras, minyak goreng atau gula karena harganya yang melambung tinggi. Maka kegiatan ekonomi dipadukan dengan sosial menjadi katup pengaman sementara.

Kalau anda melihat ada upaya untuk menggelontorkan beras, gula, minyak goreng dan lain-lain kepada penjual atau pengecer dengan harga di bawah harga yang sedang berlaku, itu bukan pasar murah, itu yang namanya operasi pasar. Ini salah satu kiat untuk membuat jera pengusaha yang sengaja menumpuk barang, mencari untung yang tak wajar dan berspekulasi.

Kalau pemerintah menunjukkan kekuatannya bahwa mereka memiliki stock yang banyak di gudang-gudang Perum Bulog atau BUMN lainnya, yang siap setiap saat digelontorkan bila ada pelaku usaha yang mencoba berspekulasi harga, maka bisa dipastikan inflasi dapat ditekan.

Hal yang diuraikan tadi adalah bagian dari kewenangan koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian secara nasional di tingkat pusat dan di daerah diperankan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan masing-masing Propinsi, Kota dan Kabupaten.

“Jadi masalah inflasi ini memang penyebabnya banyak, dari sisi demand atau kebutuhan swastanya, ada Bank Indonesia yang bisa menanganinya, sementara kami dari Kemenko Perekonomian menangani dari sisi penawaran atau pasokannya,” jelas Sartono,Asisten Deputi Urusan Ekonomi dan Keuangan Daerah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang menjadi pembicara kedua pada acara ngobrol soal inflasi sore itu.

Sartono juga mengakui bahwa inflasi tahun ini jauh lebik dibanding tahun lalu, termasuk dalam hal durasinya. “Kalau tahun lalu kenaikan minyak goreng itu lama sekali periodenya, sekarang ini sebentar saja, jelas Sartono. Pernyataan ini sekaligus menyiratkan bahwa bila tidak sesuatu peristiwa signifikan yang bisa memicu inflasi dalam Ramadhan ini, maka setelah lebaran diperkirakan harga-harga akan kembali normal.

Menyinggung soal pasokan, Sartono memastikan berada dalam kondisi aman. “Pemerintah bahkan telah memberikan izin impor beras kepada sejumlah pngusaha untuk mengimpor sekitar limaratus ribu ton beras bila sewaktu-waktu terjadi lonjakan,” tambah Sartono.

Untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri terutama menjelang lebaran, Sartono juga memastikan bahwa impor tetap harus dilakukan dan mekanismenya kembali seperti sebelumnya langsung dari negara pengekspor ke Jakarta mengingat kendala distribusi dari Samarinda ke sejumlah kota belum sepenuhnya bisa diatasi.

Akan halnya mengapa Kementerian Dalam Negeri dilibatkan, selain Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Bank Indonesia, tak lain karena mengacu pada kenyataan bahwa inflasi terjadi bukan semata karena kebijakan di tingkat pusat, tetapi di daerah pun banyak faktor pemicunya kata Widodo Sigit Pudjianto, Direktur Pengembangan Ekonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri yang tampil sebagai pembicara ketiga.

Ketiga lembaga nasional itulah, yakni Bank Indonesia, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Dalam Negeri yangbekerjasama membentuk Kelompok Kerja Nasional Tim Pengendali Inflasi Daerah (Pokjanas TPID). Dengan mengkoordinasikan dan mendorong daerah propinsi, kabupaten dan kota di seluruh Indonesia untuk turut aktif mengendalikan inflasi di daerah masing-masing, diharapkan inflasi lebih mudah dicegah dan dikendalikan.

[caption id="attachment_333858" align="aligncenter" width="638" caption="Ngobrolin inflasi sambil menunggu buka puasa - Narasumber dari kiri: Arief Hartawan, Deputi Direktur Kebijakan Moneter Bank Indonesia, Sartono, Asisten Deputi Urusan Ekonomi dan Keuangan Daerah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Heru Margianto (Mbonk), Wakil Redaktur Pelaksana Kompas.com bertindak selaku moderator, Widodo Sigit Pudjianto, Direktur Pengembangan Ekonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, dan Ferry Irawan, Kepala Bidang Analisis Moneter dan Lembaga Keuangan, Kementerian Keuangan. | Foto: Ben"]

14054579371743976477
14054579371743976477
[/caption]

Peran dan Kiprah TPID

Sebagaimana telah dipahami bahwa inflasi sebenarnya adalah fenomena moneter atau keuangan yang kalau pertumbuhannya tidak normal akan menjadi masalah. Olehnya Pemerintah Pusat memegang kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan moneter dalam rangka pengendalian inflasi.

“Namun karena masalah inflasi ini bisa terpicu oleh hal-hal yang sifatnya urusan atau kebijakan daerah, bahkan pemicu inflasi sebenarnya terbesar di daerah hingga mencapai 70-80 %,” jelas Sigit.

Ia mencontohkan seorang Bupati yang membiarkan suatu ruas jalan rusak sehingga yang seharusnya ditempuh satu jam menjadi tiga jam sehingga otomatis biaya pengangkutan meningkat, lalu oleh pedagang, barang yang diangkut dinaikkan harganya untuk menutup tambahan biaya transport, dan seterusnya. ”Begitulah inflasi bisa terjadi di daerah,” jelas Sigit.

Contoh lain, lanjut Sigit, ada kepala daerah yang sudah tahu bakal datang ombak tinggi yang menyulitkan transportasi laut ke daerahnya, tetapi tidak mengambil tindakan untuk meminta stock beras ke Jakarta, maka ketika ombak datang, pasokan terhenti dan tentu saja kebutuhan yang sebenarnya normal saja namun karena pasokan tidak ada inflasi melonjak.

“Itu dulu, makanya kami bertiga berkumpul membuat MoU dan membentuk Tim Pengendali Inflasi Daerah,” jelas Sigit. Awalnya, lanjut Sigit, Bank Indonesia ingin agar inflasi dihitung hanya di 82 kota saja sebagai sampel, tetapi Mendagri meminta agar semua daerah dilibatkan dan pimpinan daerah diberikan pemahaman mengenai inflasi.

Selanjutnya Mendagi menginstruksikan kepada seluruh Kepala Daerah untuk masing-masing membentuk Tim Pengendali Inflasi Daerah. Kalau kepala daerah paham inflasi, maka dia akan mencari data. “Dengan data mereka akan berhitung bila ada sesuatu hal yang akan menyebabkan harga naik, mereka dapat melakukan antisipasi mencegah inflasi,” jelas Sigit antusias.

“Menteri saya ini mau setiap ada kepala daerah yang baru ditatar, diberikan pembekalan. Mereka harus diberikan pemahaman mengenai inflasi sedikitnya di diklat selama dua minggu,” urai Sigit.

Inisiatif pembentukan TPID sebenarnya telah dimulai sejak tahun 2008, namun pembentukan secara resmi baru dimulai pada tahun 2011 didasarkan pada MoU ketiga lembaga tersebut sebagai upaya merespon kebutuhan daerah yang tampaknya cukup antusias membentuk TPID. Nanti setelah Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil) TPID Jakarta-Jabar-Banten tanggal 14 Juli 2011, ditandatangani Perjanjian Kerjasama (PKS) antara BI, Kemenko Perekonomian dan Kemendagri yang menandai terbentuknya Pokjanas TPID. Sampai saat ini menurut Sigit sudah terbentuk 287 TPID di seluruh Indonesia yang terdiri atas 33 Propinsi, 77 Kota dan 177 Kabupaten. Tugas Kepala Daerah adalah menjaga stabilitas ketersediaan pangan. Artinya setiap hari setiap kepala daerah harus tahu kondisi kebutuhan pokok dan mewaspadai hal-hal yang bisa memicu inflasi, termasuk dalam hal distribusinya.

“Jadi setiap kepala daerah harus tahu kondisi iklim dan kendala-kendala distribusi di daerahnya.Sehingga bila akan ada ombak besar misalnya tiga bulan kemudian, dia sudah melakukan antisipasi kapan harus mendatangkan pasokan pangan agar selama musim ombak kebutuhan pangan tetap terpenuhi dengan harga terjangkau,”

Kepala daerah yang cerdas, jelas Sigit juga banyak yang melakukan upaya-upaya kreatif untuk mengurangi dampak inflasi akibat kebijakan-kebijakan nasional yang tidak bisa dihindari, sebutlah kenaikan bahan bakar minyak misalnya. Ada Bupati yang mengaktifkan pasar rakyat, mendorong usaha kecil berkembang sehingga masyarakatnya memiliki penghasilan tambahan sehingga kenaikan harga yang dipicu oleh kenaikan tarif dasar listrik tidak terasa.

Berbagai praktek-praktek cerdas(best practices) itu dihimpun dan dipelajari oleh Pokja Nasional TPID untuk selanjutnya ditularkan kepada pemerintah daerah lainnya sehingga ketahanan sejumlah daerah dalam menghadapi inflasi secara kumulatif akhirnya dapat menjadi ketahanan nasional.

Subsidi dan Inflasi

Di dalam membicarakan perekonomian dan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ada dua indikator penting yang selalu menjadi perhatian atau asumsi-asumsi. Pertama adalah pertumbuhan ekonomi dan kedua adalah inflasi. Pertumbuhan ekonomi sebagai indikator makro, mewakili sejumlah kinerja mikro perekenomian suatu negara.

Sementara inflasi adalah salah satu indikator mikro dari ekonomi kita yang bisa diobservasi atau diamati setiap saat untuk mengetahui tingkat stabilitas perekonomian secara nasional pada tahun anggaran yang sedang berjalan. “Inflasi ini sebenarnya juga dapat ditanggulangi dengan pendekatan perencanaan belanja negara, bagian yang menjadi kewenangan Kementerian Keuangan di negeri ini,” jelas Ferry Irawan, Kepala Bidang Analisis Moneter dan Lembaga Keuangan, Kementerian Keuangan yang tampil sebagai pembicara keempat.

Ferry mencontohkan pengalokasian dana subsidi di dalam struktur APBN setiap tahun diperhitungkan sedemikian rupa dengan mendasarkan pada asumsi pertumbuhan ekonomi yang akan dicapai dan berapa target inflasi yang sebaiknya dipenuhi. “Inilah yang mendorong Kementerian Keuangan turut mengambil bagian bersama Bank Indonesia dan kementerian lain untuk memastikan inflasi berada pada batas yang diasumsikan saat penyusunan APBN.

“Untuk tahun anggaran 2014 ini, APBN mengasumsikan inflasi hanya pada kisaran 5,3 %. Bila inflasi melewati asumsi tersebut,tentu saja APBN kita akan bermasalah karena sejumlah belanja tidak dapat dilakukan atau kemungkinan tidak mencapai hasil yang optimal. Sementara dari sisi pertimbangan stabilitas perekonomian dalam negeri, pemerintah menargetkan inflasi pada tahun ini tidak melampaui asumsi atau pada angka 4,5% plus minus 1%.

Dengan memahami kaitan antara inflasi dengan berbagai hal yang mempengaruhi kualitas hidup baik pada skala individu, masyarakat maupun negara, setidaknya masyarakat dapat lebih bijak menilai dan bersikap saat terjadi inflasi. Gaya hidup efisien dan tidak mudah terprovokasi melakukan aksi membeli borong saat ada isu kekurangan pasokan adalah contoh perilaku masyarakat yang dapat ikut membantu terkendalinya inflasi secara lebih baik.

Berbagai isu provokatif yang berseliweran belakangan ini, terutama menjelang pengumuman hasil perhitungan realKomisi Pemilhan Umum (KPU) bahwa kemungkinan akan terjadi kekacauan hendaknya dapat dilihat juga sebagai bagian dari upaya oknum pedagang mendorong aksi membeli kebutuhan pokok konsumen secara berlebihan.

Bila itu dilakukan, bisa dipastikan inflasi akan terjadi, meski kenyataannya nanti kekacauan itu tidak pernah terjadi. Jadi setelah membaca artikel ini, kiranya dapat lebih bijak menyikapi hal-hal yang dapat memicu inflasi yang dapat merugikan diri kita dan orang lain sesama konsumen. [follow: @bens_369]

[caption id="attachment_333859" align="aligncenter" width="638" caption="Suasana Ngobrol Kompasiana dengan para narasumber yang berkaitan dengan inflasi di negeri ini yang difasilitasi oleh Bank Indonesia di Ruang Press Confrence BI Thamrin, Jumat (11/07) 2014. Berharap semoga Ramadhan dan lebaran ini harga-harga tetap stabil | Foto: Ben"]

1405459388658117266
1405459388658117266
[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun